Beranda > Senggang > Cerpen Santri > SEBUNGKUS KENANGAN ATAMBUA

SEBUNGKUS KENANGAN ATAMBUA

Oleh: Mu’allim

Atambua, daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini terletak sekitar 6-7 jam dari Kota Kupang. Terletak di antara daratan dan memiliki banyak tanah yang masih belum tersentuh; hijau. Aku Siti Nur Fajaryah sarjana pendidikan dari salah satu universitas swasta di Jawa Tengah yang menapakkan kaki di tanah Uskup Katholik salah satu yang tertinggi di Indonesia yang berhiaskan lukisan tuhan kecoklatan. Pijakan pertama terasa indah saat hangat menenangkan suasana; Inilah Atambua, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

12 Januari 2017  tepatnya dua tahun silam aku menjadi bagian dari Indonesia Mengajar. Rasa bangga, haru, dan bahagia bercampur menjadi satu tak terlukis kata.  Menempuh perjalanan darat hampir 7 jam dari bandar udara Kupang membuat ku lelah dan dehidrasi ringan.

Perjalanan yang melelahkan namun terbayar lunas dengan keramahtamahan masyarakatnya yang melakukan sambutan dengan menyajikan begitu banyak sejenis gulali yang bernama Gula Hela. Meski kita  berbeda agama dan ras, sisi lembut Atambua dengan segala pesonanya disuguhkan padaku layaknya ratu. Menangis? ya, itu adalah hal pertama yang ku lakukan. Mengapa? Kurasa kalian tau jawabnya. Aku menangis karena merasa bahwa inilah Indonesiaku, Indonesiamu, dan Indonesia-kita. Terbalut apik dalam satu bingkai Bhineka Tunggal Ika. Ah, Indonesiaku kau selalu buatku menangis dan tersenyum.

Hari pertama di Atambua Dusun Derok tepat pukul 05:30 WITA, aku disuguhi pemandangan yang tak biasa saat para bocah-bocah kecil tersenyum ikhlas berseragam dengan membawa wadah air dari lontar ditangan kanan kirinya. Saat ku tanya mereka :

Ada buat apa kau orang bawa ini ko? (Tanyaku sembari menunjuk wadah air di tangan mereka). Bahasa ini sebelumnya telah kupelajari satu bulan lamanya sebelum keberangkatan ku di Atambua.

“Ibu guru, ini beta bawa buat ambil air, nanti ko pulang sekolah,” jawab salah satu dari 15 bocah yang menenteng wadah yang sama.

Kembali Netra ku berkaca, semangat belajar dari si kecil bermata indah layaknya menjemput fajar di ujung lengkungan lontar menjadi pemantik untuk ku lebih semangat mengajar dan melakukan pengabdian tanpa batas. Pukul 06:00 WITA aku dan anak-anak berangkat ke sekolah karena harus menunggu. Kubersiap untuk menyesuaikan cara mandi, makan, dan berkemas. Jarak 3,5 km yang kita tempuh tak surutkan semangat mereka tuk belajar mengejar cita sembari bernyanyi “Maumere”. Keceriaan, senyum mengembang, langkah yang mantap meski tanpa alas adalah kebahagian luar biasa bagi mereka bisa kembali ke sekolah, setelah hampir setengah tahun tiada kegiatan belajar mengajar, karena tak ada yang mau ditempatkan di Atambua.

BACA JUGA :  Burhan dan Anak Kecil Yang Mencari Selimut

Setibanya di sekolah aku tercekat hanya ada satu ruangan berukuran 3×4 m, cukup luas memang namun itu dipergunakan untuk dua kelas, kelas 5 dan 6. Berkali-kali aku disuguhkan pemandangan memilukan di tanah Kupang dan pasti airmata menetes. Di ruangan itu ada 1 meja guru, se-pack kapur tulis, satu buah papan tulis bolong disana sini, satu almari reot dengan kaca plastik, beberapa buah meja dan kursi. Aku sempat ingin benar-benar teriak, dan menyerah kemudian kembali ke Jawa. Namun beberapa pasang mata kecil di depanku simpan sejuta harapan untuk tetap bisa belajar, dan mereka melihat mimpi-mimpinya di mataku, aku menyeka bulir bening yang menetes, dan memulai pelajaran dengan memantapakan hati.

Pelajaran pertama yang kuajarkan hanya seputar pengetahuan tentang Indonesia, dan keberagamannya; tentang Jawa dengan budayanya, tentang Jakarta dengan ondel-ondelnya dan, tentang Kupang dengan Komodo dan toleransi beragamanya. Terkesan, satu kata pertama yang hanya bisa kuucapkan melihat mereka, antusias mereka adalah pemantik bagiku, tak henti-hentinya air mata menetes karena pengorbananku meninggalkan tanah kelahiran tak sia-sia. Mereka melihat keanehan dariku kemudian bertanya: “Apa hal yang terjadi dengan Bu Ria ko, mengapa menangis terus?” tanya Santo Hurek.

“Ibu baik-baik sayang,” ucapku sembari tersenyum.

 

Pelajaran kumulai, dan anehnya mata-mata indah itu selalu menatapku dengan ribuan tanya, tatapan kagum, senang, dan takjub mungkin. Ahh, aku tak tau pasti tatapan mereka simpan jutaan tanya yang tak bisa kujawab.

Disela-sela penjelasanku Carloz si manis dengan rambut ikal dan sedikit tambun bandanya bertanya;

“Ibu guru Ria suka ko dengan kita orang, meski kita beda agama dan warna kulit?”

“Mengapa beta harus benci, jika kalian baik dan menyenangkan. Ibu guru bahagia bisa kenal dengan kalian semua, baik hati, dan sopan,” jawabku lagi-lagi terseyum.

“Nanti jika kita orang sudah besar, pengenlah macam Bu Ria,” diwarnai sorak ramai kelas yang atapnya hendak roboh karena tak terawat; potret negeriku dari sisi timur berhiaskan berlian hitam penuh harapan.

Di akhir pelajaran Lambertus berkata, “Kau Bunda Maria bu guru, kau malaikat, kau baik dengan kita orang, kau bukan teroris, kau baik, baik, dan baik,” diiringi sorak-sorai, dan mereka berhamburan menghampiri dan memelukku. Pelajaranku akhiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan berdo’a sesuai keyakinan masing-masing.

BACA JUGA :  Buku Tua

Di tengah perjalanan pulang kita menyempatkan diri mengambil air bersih untuk keperluan sehari-hari dengan panas cuaca Atambua kala itu. Setiap hari hampir 2 tahun aku berkutat dengan aktivitas yang sama, kebahagian sederhana, mengajar, berburu, dan cengkrama ringan dengan para ibu dan ayah serta bocah-bocah kecil bermata indah.

Tak terasa penghujung 2018. Aku menghiasi hari-hari dengan senyum manis bocah-bocah kecil Atambua. Waktu berjalan lebih cepat, secepat lari kuda liar Sumba yang terkenal itu. Tepat tanggal 30 Desember 2018 aku mendapatkan kabar bahwa harus kembali ke Jawa dengan alasan yang tak bisa kuberitahu di kisahku kali ini.

Kepala Dusun Derok Thomas Isco melepaskanku dengan memberi ku topi Ti’i Langga Rote, sehelai syal tenun hasil karya Ibu Maria istrinya, dan hadiah yang paling berharga adalah sebungkus kenangan ku bersama bocah-bocah kecil bermata indah di “TANAH ATAMBUA” yang menangisi, memeluk, dan memberiku sebuah kotak berisi kerudung berwarna coklat dengan supucuk surat yang ditulis kala senja di Atambua.

Teruntuk Ibu Ria Tercinta

Bu ria, kita orang sayang, kita orang tak mau ibu pergi tinggalkan Atambua dan kembali ke Jawa.

Bu Ria ,selepas kau orang dari sini apakah kau akan mengingat anak-anak mu ini??

Kita orang tak punya uang untuk membelikan tiket pesawat untuk ibu kembali ke Jawa

Kita orang hanya punya ini : Kerudung coklat untuk Bu Ria, kerudung ini kami beli di pasar perbatasan Indonesia–Timor Leste, kita orang kira kerudung ini milik orang-orang muslim, bukan seperti kerudung-kerudung yang dipakai para biarawati di gereja-gereja.

Ibu salam cinta, kasih, dan sayang dari Tanah Atambua

Terimakasih atas semuanya, waktu, cinta, sayang, dan gajimu yang kau beri untuk kesejahteraan kami

Dari kau orang punya murid, Atambua 2018

Cinta mereka ku bawa serta ke Jawa dengan berhias airmata dan rasa rindu yang kutinggal di Dusun Derok. Atambua masih dengan kisah-kisahnya, masih dengan keindahan panorama hijau dan coklatnya, dan masih dengan senyuman manis bocah-bocah kecil bermata indah yang berharap bahwa akan ada Bu Ria lain yang siap untuk membantu mereka wujudkan mimpi.

Sarang, April 2019

 

Penulis bernama Muallimah,bertempat tinggal di Ds.Kampungbaru Rt.02/Rw.01- Karangmangu-Sarang (59274)-Rembang. Sedang menempuh semester 7 di Sekolah Tinggi Agama Islam Al Anwar Sarang, jurusan PGMI.

 

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *