يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (البقرة: 183 )
Kewajiban puasa telah dapat diketahui dari ayat di atas. Pada kata tersebut ulama’ sepakat bahwasannya lafad “Kutiba” bermakna wajib. Pendapat tersebut juga banyak dikuatkan oleh hadis-hadis Nabi. Namun terdapat sesuatu yang menarik untuk dikaji dalam ayat tersebut, yakni lafad “kutiba ‘alalladzina min qoblikum”. Sekilas dalam ayat tersebut disebutkan bahwasannya sebelum puasa wajib bagi umat Islam, ternyata Allah juga mewajibkan puasa bagi umat-umat terdahulu. Siapa kaum-kaum tersebut? Penasaran, mari diperhatikan seksama. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dari ulama’ tentang umat-umat tersebut.
Pertama, pendapat dari para Sufi bahwasannya ketika Nabi Adam memakan pohon (khuldi), kemudian bertaubat, Allah mengakhirkan taubat Nabi Adam dikarenakan tubuhnya memakan buah tersebut selama tiga puluh hari, maka ketika tubuhnya telah jernih dan menjadi wangi, kemudian Nabi Adam mewajibkan kepada keturunannya untuk berpuasa selama tiga puluh hari.[1] Puasa yang dilakukan oleh Nabi Adam ini dikenal dengan puasa baidha.[2]
Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwasanya kaum selanjutnya yang melaksanakan puasa adalah kaum Nasrani, terdapat banyak pendapat mengenai puasa yang ada pada kaum Nasrani ini; ketika musim panas kaum Nasrani berpuasa selama tiga puluh hari, kemudian datang beberapa orang yang yang menambah sehari sebelum dan satu hari setelah tiga puluh hari tersebut. Hal ini tidak berhenti hingga terakhir mereka berpuasa selama lima puluh hari.
Kemudian, bahwsannya Nasrani tidak makan tidak pula minum setelah bangun tidur, juga tidak menikah pada saat Ramadhan. Puasa mereka menjadi suatu keharusan bagi mereka. Kemudian mereka berubah-ubah mengenai kegiatan puasa pada saat musim panas dan dingin. Maka ketika mereka melihat dan menetapkan berpuasa pada pertengahan kedua musim tersebut. Pendapat lain mengatakan mereka berpuasa dua puluh hari, kemudian mereka mengingkarinya, lalu menjadikannya lima puluh hari. Selanjutnya, berpendapat bahwa kaum Nasrani berpuasa akhir dari waktu isya’ hingga waktu isya’ lagi. [1]
Ketiga, bahwasannya yang dimaksud ayat tersebut adalah Ahlul Kitab, dalam beberapa ayat tersebut yang dimaksud adalah ahli kitab dari Nabi Ibrahim alihi salam. Sedangkan Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai imam bagi manusia, sehingga seorang setelahnya diperinthkan mengikuti Nabi Ibrahim (sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah).
Keempat, bahwasannya kaum Nabi Musa berpuasa pada hari Asyura,[2] sedangkan dalam sejarahnya hari asyura adalah hari ketika Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran musuh-musuhnya, maka untuk memperingati dan mensyukuri hari tersebut Bani Israil atau yang sekarang disebut dengan Yahudi melakukakan puasa yakni bertepatan dengan tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah.
Itulah kaum-kaum sebelum Islam yang juga melaksanakan puasa baik melaksanakan pada bulan ramadhan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani ataupun puasa Asyura yang dilakukakan oleh pengikut Nabi Musa Alaihi Salam; Kaum Yahudi atau Bani Israil. Untuk itu sebagai orang Islam sudah selayaknya pada bulan suci Ramadan berpuasa dengan hati yang ikhlas dan lapang, karena umat terdahulu telah melaksanakannya sebagai rasa syukur. Kita sebagai penyempurna dan sebagai agama terakhir yang disyariatkan oleh Allah sudah selayaknya juga merasa bersyukur dan bergembira dengan hadirnya bulan suci Ramadhan. Jangan sampai kita termasuk dari golongan yang disebut oleh Nabi: “Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari puasa mereka, kecuali rasa lapar dan haus”. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita selama bulan suci ini dan digolongkan sebagai orang-orang ahlul jannah. Amin.
Fathul Bari, 103. ↑
Umdatul Qari, juz 10, 254. ↑
Tafsir Thabari, juz 3, 411. ↑
Umdatul Qari, juz 10, 254. ↑
*Inung
Santri Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang