Sejenis kemarahan. Akulah penampungan serumpun kisah dari beberapa saudaraku yang seringkali mengisahkan keluh setiap harinya. Takdir kami mata saksi yang setiap harinya menyimpan kebodohan manusia. Lebih tepat nasib menjadi sebuah buku yang jarang dilumat manusia. Seringkali aku membayangkan perihal bangsa yang rakyatnya suka membaca, bertamasya dengan buku-buku di sampingnya, setiap hari, setiap waktu. Lebih baik tentu, jika di taman-taman, di sebuah ruangan dan bahkan dalam kamar mandi pun ada buku di sampingnya. Lebih indah tentunya, jika manusia melepaskan seluruh waktunya untuk membaca.
Betapa majunya suatu bangsa, betapa harmonisnya manusia-manusia di dalamnya, dan betapa riangnya kami yang berguna kepada mereka. Tapi ini cuma bayangan yang sudah ditiadakan, atau cuma suatu harap yang pernah menyala dan saat ini padam ditiup oleh kebodohan manusia. Bangsa yang mujur dengan penduduk warga yang nasibnya sekarat. Dengan alasan ini tulisanku barangkali lebih banyak mengutuk manusia. Maka jangan heran, jika ke depannya beberapa makian yang disuratkan untuk manusia banyak kau temui. Cukup nikmati, tanpa harus melibatkan kemarahan dan konflik antara buku dan manusia. Apalagi kau bukan seorang pelakunya.
Hanya sebagian, tapi inilah kenyataan yang kami temukan setiap harinya. Kau mungkin bertanya jenis buku yang sedang berbicara denganmu ini? Atau bagaimana aku bisa membuka suara dan merangkum kisah dari segala nasib yang menimpa saudaraku? Jawabannya ada di antara bengisnya manusia. Mereka yang bernasib sama adalah saudaraku, meski tidak lahir dari tangan dan kepala yang sama.
Puji syukur Tuhan mempertemukan kami di dalam sebuah ruangan. Ruangan yang luas dengan buku-buku beraneka ragam judul. Mulai dari seni membidik koruptor, menangani kasus kriminal sampai petunjuk jalan menuju surga ada dalam ruangan ini. Tapi pernak-pernik judul dari buku-buku yang ada dalam ruangan ini jarang disentuh manusia. Lebih tepat hanya sebagai koleksi saja, atau tata hias yang memaripurna keindahannya ketika kami berderet rapi. Pun juga aku, lebih banyak bekerja sebagai tatanan ruangan. Kurang lebih begitu. Sebab akulah yang paling lama menerima penderitaan ini.
Di depanku manusia cuma berlalu lalang, mengintip judul di antara saudara-saudaraku yang berbaris, seperti gaya seekor serigala yang mengincar domba. Ada juga yang menyentuh sebagai rasa penasaran saja dan ada yang sok serius memilah buku. Mungkin biar mempunyai kesan serius saja, sebagai penutup rasa malu pada petugas perpustakaan. Mirisnya, petugas perpustakaan pun tidak begitu tau buku apa saja yang ada dalam ruangan ini. Duh, sungguh lucu antara pengunjung dan petugas perpustakaan.
Jika dipikir, apa yang membuat mereka malas membaca? Katanya; “Dengan membaca satu buku berarti kita telah membuka satu jendela dunia.” Bukankah merakuskan diri terhadap buku adalah hal yang benar? Oh, aku terlalu tinggi berharap. Tapi setidaknya setelah membaca ceritaku banyak manusia tersadar akan buku yang banyak melahirkan amunisi.
Tidak ada yang dirugikan antara manusia dan buku, mereka memang seharusnya bekerja sama. Apalagi tuan buku adalah manusia juga. Ini cuma perihal bagaimana manusia bisa menghargai karya manusia lainnya yang dijembatani oleh sebuah karya. Sebagai jalan seorang penulis, menghasilkan karya adalah cita-cita yang mengagungkan. Dulu, aku masih ingat ketika tuanku memulai tulisannya. Dalam tubuhku, ia semaksimal mungkin berusaha mempercantik segala kata-katanya, memberi polesan pada kalimat yang ia tulis dengan hati-hati, takut sesuatu yang ia tulis nantinya cuma menyakiti hati manusia lainnya.
Tantangan lebih banyak datang kepada tuanku. Ia seringkali terhenti dalam melanjutkan tulisannya. Pernah aku mendengar ketika sabarnya menunggu sebuah ilham tinggal sejengkal tangan. Nafasnya berubah menjadi keluh yang panjang. Sebab ia tak bisa merumuskan masalah tulisannya. Aku juga pernah melihat matanya sampai bernanar, tapi tidak bisa menghasilkan sepatah kata pun. Kehilangan ungkapan saat menulis lebih menyakitkan dari patah hati karena asmara. Itu yang aku temukan dari tuanku.
Langit tidak selamanya akan bergemuruh dan hujan pasti menyusul di belakangnya. Sama ketika tuanku baru menyelesaikan tulisannya di antara dua musim kemarau dan penghujan. Dua musim bukanlah waktu yang dekat. Dua musim juga ia melewati pasang-surut dalam prosesnya. Tapi itu tidak ada apa-apanya dibanding kisah setelahnya, ia harus menebalkan mentalnya, menegakkan kakinya lagi, sebab di depannya jalan lebih dipenuhi belokan tajam. Setajam kalimat makianku padamu. Keringat mungkin akan lebih deras terkuras. Hati juga mungkin lebih ditabahkan, karena inilah memang jalan seorang penulis, penuh dengan adegan menakutkan.
Tuanku banyak menerima penolakan dari berbagai media cetak. Baik penolakannya terbingkis dengan halus, atau bahkan lebih dari semacam itu. Hingga suatu hari ia memberanikan diri mengirim naskahnya terhadap media luar negeri. Lima hari setelah ia mengirim naskahnya, ia bahagia mendapat respon positif.
Pohon telah berbuah. Itulah aku kepada tuanku. Dari orang-orang yang mencintai buku, tuanku menemukan jawaban dari sangkar kemurungannya. Mudahnya, ia mulai menikmati hasil usahanya dari orang-orang yang mencintai buku. Jika sebelumnya tuanku yang berharap media menerima karyanya, sekarang malah terbalik. Para penerbit mulai mencari perhatian terhadap karya tuanku. Bahkan menunggu karya-karya selanjutnya.
Menulis adalah cara manusia mengenang peristiwa. Tapi penulis yang tidak membaca adalah kebodohan yang mengibakan. Ada yang lebih mengibakan, yakni orang-orang yang tidak memiliki keinginan keduanya. Sayangnya, iba semacam ini sudah menjadi hal lumrah. Akibatnya, ketika manusia tidak suka menulis apalagi membaca, maka mustahil baginya menghargai sebuah karya.
###
Pernah aku mendengar iringan tangis dari buku baru di ruangan ini. Sebelumnya, aku tidak begitu mempersoalkannya, sebab mungkin ini rekayasa dia saja-yang tujuannya hanya untuk berkenalan dengan buku-buku yang lainnya.
Buku yang menangis ini berjenis sekumpulan puisi. Dengan memakai judul serenade pepohonan. Sedang muasal tangisan itu lahir dari salah satu anggota tubuhnya saja. Tidak keseluruhan, karena memang mereka cuma sekumpulan puisi yang disatukan oleh sebuah penerbit, dengan tuan yang berbeda.
Tangisan itu lahir dari ketakutannya menjadi sebuah karya. Sebab sebelumnya, ia pernah dipublikasi di media cetak. Nasibnya di sana berakhir di tangan penjual nasi, yang selanjutnya berpindah tangan pada manusia yang pekerjaannya mengurus sampah. Lumatlah ia menjadi abu.
Cerita ini kemudian aku ceritakan pada saudara-saudaraku yang lain. Kau tau bagaimana saudara-saudaraku ketika mendengarkan ceritaku? Air mata mereka tumpah secara perlahan dan cerita-cerita tragis semacam ini juga terus tumbuh dari yang lain, kemudian menyubur di ruangan ini. Rupanya, hidup sebagai karya tidak selamanya mendapatkan sanjungan, ada saja sesuatu yang di luar nalar terjadi.
###
“Buku tua, aku juga pernah menelan nasib buruk. Bahkan mungkin paling terburuk di antara pengalaman buruk yang kalian punya, jika bisa kuceritakan,,,” Suaranya terputus, air mata kesedihan tumpah membentuk genangan. Dari air matanya aku melihat sebuah koran digerubungi manusia. Pemandangan indah untuk mata yang melihatnya. Bahkan mereka rela berdesakan di bawah cahaya matahari, hanya untuk tidak melewatkan koran mingguan yang nuansanya memang sebuah karya sastra.
Aku menyapu pandangan di sekeliling koran itu, ada senyum melintas di antara gerubungan manusia pada koran. Barangkali itulah tuannya, merasa puas dengan capaiannya. Dan puisi yang terpampang di koran itu juga tersenyum manis membalas kepada tuannya. Seperti gula bagi semut, seperti bunga bagi kumbang, dan seperti dorongan bagi yang lainnya untuk menciptakan karya sejenis dia.
Tapi, di manakah kesedihan yang ia bawakan dalam kisahnya? Kembali aku menyapu pandangan di antara gerubungan manusia. Tak ada tanda-tanda, tak ada juga manusia yang mencurigakan. Semuanya sesuai dengan jalan pengharapannya sebagai karya yang dipublikasi. Lama aku menunggu, bahkan sampai aku berencana keluar dari air matanya yang membawaku ke sini.
Keadaan mulai berubah menjadi sepi, manusia yang tadinya meramaikan keadaan, kini sudah mulai berubah suara desir angin yang terdengar kasar, diselingi kunang-kunang yang melingkari koran itu. Barangkali kunang-kunang itu yang akan mengantarkan pada nasib buruknya. Kecurigaanku mulai tumbuh. Baru ketika bulan sedikit bergeser dari atas rumah manusia, saat itu juga aku mendengar langkah kaki yang berat. Kira kira yang datang adalah manusia dengan perut buncitnya.
Benar, ia menghampiri koran mingguan itu, sebuah koran yang di dalamnya dipenuhi oleh sebuah karya. Tiba-tiba tirai koran dibuka, dilepas, kemudian dibawa ke suatu ruangan. Tetap kuikuti kisahnya, malah lebih serius. Jawaban masih dikaburkan oleh pekatnya dalam ruangan. Tapi rasa penasaranku seakan meraba sendiri, mencari jawab. Hingga sedikit demi sedikit mulai mencair, hingga tertuang menyatakan sebuah jawaban.
Kesimpulan akhirnya bisa aku temukan. Besoknya, pagi-pagi sekali ia membawa tumpukan koran mingguan itu ke jalanan kecil, mirip trotoar di samping jalan raya. Banyak mobil yang berlalu lalang di jalan ini, banyak juga pedagang kaki lima. Hanya saja sempit, sesempit pikiran manusia berperut buncit yang aku temukan dalam kisah ini. Kulihat ia sedang melakukan transaksi dengan pedagang kacang, atau mungkin ia akan menukar dengan sebungkus kacang.
“Buku tua…” ia kembali berdesis, barangkali memastikan aku tetap berada dalam kisahnya. Tiba-tiba, aku mendengar suara parau. Dan dua anak kecil berlari menuju suara itu. Sedikit mengganjil kisahnya. Tiba-tiba saja ada tontonan lain di depanku. Tapi sepertinya kisah yang tadinya sempat terhenti memang ada hubungannya dengan secuil kisah ini.
Benar, orang tua itu sedang mengacung-ngacungkan sebilah kertas koran. Koran yang di dalamnya tempat saudaraku mengabdikan diri. Rupanya dialah tangan terakhirnya. Nampak saudaraku sudah bisa mendaur ulang kebahagiaannya. Tak peduli yang memungutnya adalah seorang anak kecil-yang untuk membaca pun masih terbata-bata. Tapi tidak apa-apa, itu lebih baik, dibanding manusia yang pandai membaca namun tak bisa menghargai sebuah karya.
Puisi itu sudah menemukan rumahnya. Air mata kesedihan sebelumnya juga telah berganti kehangatan bagi jiwa-jiwa yang memasuki kisahnya. Memang perjalanan yang penuh teka-teki pasti akan dialami oleh selembar karya yang mengabdikan dirinya di media cetak. Syukur-syukur, jika tangan terakhirnya bisa memahami sulitnya membuat karya. Atau paling tidak, nasib terakhirnya jatuh ke pangkuan anak kecil. Karena anak kecil yang bernasib demikian lebih bisa memahami tujuan hidup kami.
Tunggu-tunggu, sepertinya aku berada di atas kapal, ini bukan kisah puisi tadi, ini aku, ya tubuhku seperti sedang dimainkan oleh gelombang lautan. Oh tidak, aku salah. Rupanya aku berada di tangan manusia. Manusia yang sedang berjalan menuju petugas perpustakaan.
*Ach. Qayyim Basyir, santri aktif PP Al-Anwar
Sarang Rembang Jawa Tengah