Dawuh simbah Yai masih melekat erat memeluk ingatanku. Perintah yang selalu mengukung kemanapun langkah kaki berpijak. Lelautan qalbu yang merindukan petuah penyejuk hati yang kini tinggal kenangan. Kendati demikian permintaan dari simbah Yai membuatku terus berjanji untuk melaksanakan sebagai taatku pada guru dan agama. Dua tahun lebih aku memulai melaksanakan perintah dan wasiat simbah yai, pantang bagiku untuk kembali menghadap simbah sebelum perintah beliau terlaksana.
“Tempat itu penuh dengan kemaksiatan, namanya Desa Ngalor Tanjung. Siapa diantara sampean semua seng siap dakwah di sana?!” Dawuh beliau ketika mengaji bakda magrib di surau peninggalan Abah beliau.
Suara itu lantang dengan penuh harapan. Aku yang mengaji di halaman surau dapat merasakan getaran suara dan keinginan beliau. Ingin aku mengacungkan tangan sambil berteriak kencang bahwa aku siap untuk melaksanakan apapun perintah simbah Yai. Tapi kembali aku merenung siapa aku? Hanya santri tidak lebih baru lima tahun nyantri. Dibandingkan dengan usia rata-rata santri yang menyantri di sini, aku terbilang baru.
“Ngapunten Mbah Yai, Maksiatnya seperti apa?” suara seorang senior terdengar di mikrofon. Aku masih mendengarkan.
“Zina sudah menjadi hal biasa, judi, minum arak, bahkan pembunuhan menjadi hal biasa di sana”
Jawab Simbah Yai dengan suara berwibawa. Suara itu juga menjadi tak terbalas. Cukup lama tak ada satupun santri yang mengangkat tangan mengemban perintah dari beliau. Hatiku semakin tak karuan untuk berbuat apa. Tak tega rasanya membayangkan orang yang paling aku hormati harus menunggu demikian lama.
“Kok ndak ada yang jawab?”
“Pangapunten Mbah Yai, Perintah itu rasanya terlalu berat untuk kami pikul” Jawab santri yang mengaji di dalam surau. Serempak aku mendengar semua santri langsung mengiyakan dan membenarkan apa yang dikatakan oleh santri senior itu. Aku menggeleng tak setuju tapi tak juga mampu berucap.
“Peneruse poro Yai asmane opo, Le?”
“Santri Mbah Yai!” Jawab mereka serempak. Akupun ikut menjawab pertanyaan beliau.
“Kiai iku opo?”
“Penerus Dakwah Nabi engkang nyebaraken agomo Mbah Yai!”
“Lah terus kenopo sampean semua tidak ada yang mau menyebarkan agama? Opo toh sampean bukan santri?”
Mulutku tercekat mendengarnya. Suara itu terdengar lirih namun menyayat. Pertanyaan yang harusnya tak pernah terucap oleh simbah Yai, akhirnya terucap.
“Santri ora gelem neruske kewajibane, podo wae karo wedhus nggawe kulite macan. Mbah tanya lagi sopo seng siap dakwah!?”
“Saya Mbah Yai!” Jawabku dengan lantang. Semua pasang mata menataku. Baik yang berada di halaman maupun yang ada di dalam surau. Aku tak lagi ragu mengucapkannya. Aku yakin Simbah Yai pasti tahu kalau santrinya siap dakwah di sana. Aku tak tahu metode apa dan entah dengan cara apa aku dakwah di desa yang ditunjuk simbah Yai, aku hanya taat atas segala perintahnya.
“Seng ngomong Mlebu!” perintah beliau.
Tertatih aku mulai melangkahkan kakiku yang terasa amat berat. Aku tutup kitab tafsir yang semula terbuka. Kujinjing itab itu di dada. Semua mata menatapku bahkan ketika aku memasuki surau dengan berjalan melutut menemui simbah Yai. Beliau menatapku dengan entah bagaimana. Aku tak berani kembaki menatap mata beliau.
“Asmamu sopo, Le”
“Muhammad Mushaib, Mbah Yai” “Awakmu siap tenan, Le” “Insyallah Yai, sama seperti ketika sahabat Mush
aib ibnu Umair diperintahkan Kanjeng Nabi Muhammad untuk mulai dakwah di Madinah, insyallah saya siap Yai”
“Alhamdulillah,,, Alhamdulillah,,, Alhamdulillah” Hanya kalimat itu yang akhirnya terucap oleh beliau. Aku ragu, namun dengan sedikit keberanian aku berani mendongak melirik ke arah beliau yang mulai menitikkan air mata. Entah mengapa aku yang melihat air mata beliau turut meneteskan air mata seakan tahu bagaimana perasaan beliau ketika melihat seseorang siap berdakwah dan berjuang untuk agama Allah dan meneruskan dakwah Nabi Muhammad.
Hari itu adalah hari terkhir kali aku bertemu dengan Simbah Yai. Setelah malam itu aku langsung berangkat ke desa Ngalor Tanjung. Selama disana dalam kurun waktu beberapa bulan aku tinggal dirumah kepala desa yang sebelumnya memang meminta santri mbah Yai untuk sudi berdakwah agama di desa tersebut. Sebenarnya orang-orang di sana jauh dari bayanganku. Mereka memang suka menjalankan kemaksiayatan, tapi mereka bukan orang yang dlolim. Bahkan ketika mabukpun harus berada ditempat yang dikhususkan, hingga tak menimbulkan ancaman untuk orang lain.
Selama aku di sana aku mulai berdagang gorengan, nasi dan berbagai lauk pauk yang kubuat sendiri. Sambil berdagang aku selalu menyelipkan tentang beberapa cerita tentang walisanga dan sejarah kenabian. Ketika beberapa orang mulai tertarik aku menjelaskan tentang tuhan yang semestinya disembah dan setelahnya aku akan mengundang mereka ke sebuah surau yang aku bangun bersama kepala desa di tanah beliau yang sudah diwaqafkan untuk kegiatan keagamaan.
Lamban laut banyak orang tertarik dengan metode dakwahku yang tercampur dengan beberapa kisah nabi, ulama dan wali songo. Hingga aku tertarik dengan metode dakwah yang digunakan oleh Sunan kalijaga yang menggunakan wayang. Rasanya aku ingin menirunya dengan cerita tentang indahnya agama ini. Mulai dari cinta yang mengharuskan untuk menjhui zina, lalu bahayanya minuman keras bahkan judi yang tak ada habisnya. Tapi akan ganjil jika rasanya dakwahku berjalan dengan sesuai rencana. Beberapa orang mulai memblokade kegiatan pengajianku, karena mereka merasa terugikan dan dengan kegiatanku ini. Sebisa mungkin aku bersikap tenang dan sabar.
Lima tahun sudah aku berada di desa Ngalor Tanjung yang kini menjadi desa maju dan damai. Perdagangan yang aku ajari agar bisa menjadi pemasok sumber pertanian terbaik seperti segala macam sayur, buah dan segala bahan pangan ada. Desa yang mulanya tak ada pasar kini menjadi pasar pusat yang di minati oleh semua orang. Tak hanya itu, alhamdulillah surau yang semula terbuat dari anyaman bambu kini telah berubah menjadi masjid yang elok untuk di pandang. Bahkan di sampingnya juga sedang dalam proses pembangunan, sebuah madrasah yang rencananya mulai tingkat ibtidaiyah sanpai stanawiyah.
Dengan jantung masih berdebar kencang, rasa rindu yang amat dalam kepada maha guru membuatku merasa ingin menangis. Doa-doa yang dipanjatkan simbah Yai seakan meringankan segala dakwahku di desa Ngalor Tanjung. Sebuah surat yang ditulis beliau yang memerintahkan aku untuk berkunjung ke pesantren membuatku langsung berangkat. Sekaligus jika beliau tidak ada udzur aku ingin mengundang beliau untuk menghadiri peresmian Masjid yang di beri nama Masjid Tholabul Ilmi, yang artinya santri atau juga bisa dikatakan masjid tempat ibada dan ilmu disebarkan.
“Kiri Pak!” Teriakku. Bus itu berhenti. Hanya butuh waktu 20 menit dengan berjaln kaki aku aan memasuki area pesantren tempat aku belajar untuk selamanya. Kakiku melangkah sambil terus melihat wajah wibawa miliki Simbah Yai yang terus tersenyum. Tetes air hujan mulai membasahi tubuhku. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba hujan. Bukankah ini musim kemarau? dan entah kenapa hatiku terasa pedih.
“Kang Mushaib?” Tanya seorang santri yang berdiri di gerbang pesantren. Aku mengangguk, melihat wajah santri itu yang terlihat resah. “Sudah ditunggu sama simbah Yai” Ia berlari sambil menarik tanganku. Aku merasa ada yang sedang terjadi dengan simbah Yai. Di ndalem aku merasa sungkan dengan pakaianku yang basah, tapi santri itu bilang sudah tak ada waktu lagi. Santri itu sampai di kamar Simbah Yai, di sana sudah ramai keluarga ndalem yang hadir. Tanpa penjelasanpun aku mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. “Masuk Kang!” Perintah Gus Musa melihatku datang. Aku mengangguk. Air mataku menitik begitu saja saat melihat simbah Yai terbaring lemah di ranjang, tabung oksigen berada di sampingnya. Wajah sepuh itu tampah kurus dan lemah. Mbah Yai yang melihatku tersenyum sedikit sambil mengisyaratkan untuk mendekat. Aku duduk di lantai tepat di samping beliau. Aku mencium lama tangan beliau, yang aku rindukan dan hormati. “Piye Dakwahmu anakku, Mush
aib?”
“Alhamdulillah lancar Mbah Yai, sudah ada masjid, sekarang” aku berhenti sejenak terisak dengan beban yang menyesakkan dada. “Sampun wonten pembangunan Madrasah Mbah Yai”
Mbah Yai kembali tersenyum, beliau meletakkan tangan beliau di atas kepalaku yang sedikit menunduk dengan terisak.
“Ojo lali santriku, anakku lan penerusku, nandi ae panggonmu urip-uripo agomo, senajan nyalamu mung sak uplek” semua orang yang hadir menangis mendengar wasiat beliau.
“Anakku Mushaib, ben besok yen wes wayahe menungso di kumpulke marang gusti Allah, dadio saksiku marang perjuanganku kanggo agomo iki lan aku akan dadi saksimu marang perjuanganmu dakwah kanggo agomo” Pada bulan Dzul Qa
Dah akhir beliau Yai Abdullah wafat meninggalkan sejuta pesan untuk keluarga dan santri. Aku masih menangis, bersimpuh di lantai. Saat ini aku merasa malamku memeluk sang rembulan. Bagaikan kebahagian nabi dan seluruh muslim ketika dapat menaklukan kota Makkah pada tanggal 20 Dzul QaDah dan kesedihan Nabi dan seluruh umat Muslim atas wafatnya ibunda tercinta Ummu Salamah pada tanggal 29 Dzul Qa
Dah. Kebahagian dan nestapa yang silih berganti tanpa memberi ruang barang sedikitpun.
By: Fathimatuz Zahri (PWD)