Pada malam bulan Ramadan umat Islam disunnahkan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam untuk memperbanyak ibadah seperti itikaf, membaca al-Qur`an, salat dan berdoa, khususnya pada sepuluh hari yang terakhir (tanggal 20-30 Ramadan). Kenapa?, karena pada malam tersebut terdapat satu malam yang sangat mulia bahkan lebih baik dari pada beribadah seribu bulan, dimana ibadah yang dilakukan seseorang pahalanya akan dilipatgandakan. Tidak heran seluruh umat Islam berlomba-lomba mendapatkannya. Lailah al-Qadr, nama malam tersebut.
Tentang apa yang dimaksud dengan Lailah al-Qadr, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menegaskan secara khusus dalam surah al-Qadr. Ketika menafsirkan surah tersebut Dr. Muḥammad Bakr Ismā’īl menjelaskan:
Makna surah tersebut ialah bahwa Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman, “Dengan kemuliaan dan kebesaran Kami, sungguh Kami menurunkan al-Qur’an pada malam Lailah al-Qadr; yaitu malam kemuliaan. Tahukah engkau Muhammad, apakah Lailah al-Qadr itu?, ia adalah satu malam, di mana beribadah didalamnya satu kali lebih baik daripada beribadah seribu bulan pada selain malam itu. Para Malaikat termasuk Malaikat Jibril turun ke bumi ketika itu dengan membawa kebaikan dan keberkahan. Para Malaikat itu mengucapkan salam kepada orang-orang Islam. Mereka berdoa dan memintakan ampunan bagi orang-orang Islam sampai terbitnya fajar.”
Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah pada malam tersebut. Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam bersabda:
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: ﴿مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.﴾ أخرجه البخاري، رقم: ١٩٠٩ ومسلم ومالك وأحمد وأبو داود والترمذي والنسائي والدارمي.
“Siapa saja yang menghidupkan Lailah al-Qadr (dengan ibadah) dilandasi iman dan ikhlas murni karena mengharapkan rida Allah, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. Dan siapa saja yang melaksanakan puasa Ramadan dengan penuh keimanan dan pengharapan kepada Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Ada beberapa hikmah mengapa malam ini disebut Lailah al-Qadr. Ibn Rusyd, seorang Filsuf muslim yang terkenal menyatakan dalam karyanya:
وسماها الله تعالى ليلة القدر لأنه يُقدر فيها ما يكون فى تلك السنة من أرزاق العباد وآجالهم وجميع أمورهم إلى ليلة القدر من السنة الأُخرى. قال مجاهد: إلا الشَّقَاءَ والسعادة، يَشهد ذلك قوله تعالى: ﴿فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍۙ﴾
“Allah Swt menyebutnya dengan Lailah al-Qadr, karena pada malam itu semua ketentuan dan ketetapan yang akan dijalani oleh manusia pada tahun itu diputuskan; baik berupa rezeki, ajal dan lain sebagainya. Ketentuan ini berlaku hingga Lailah al-Qadr tahun mendatang. Imam al-Mujāhid berkata, ‘(Semua perkara tersebut ditentukan itu) kecuali kesedihan dan kebahagiaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan firman Allah Swt, ‘Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’ (QS. Al-Dukhān [64]: 4)”
Mengenai waktu terjadinya Lailah al-Qadr, al-Ḥāfiz Murtaḍā al-Zabidī membagikan pengalaman para ulama ketika mereka berusaha meneliti untuk menemukan malam Lailah al-Qadr. Beliau mengutip pendapat imam al-Maḥāmilī, bahwa Lailah al-Qadr itu menurut mazhab Syāfi’ī ada pada sepuluh hari yang terakhir bulan Ramadan dan mereka meyakini pada malam ganjilnya, lebih pada malam 21 atau 23 Ramadan. Pendapat tersebut berlandasan dari perkataan imam al-Syāfi’ī yang menyatakan bahwa riwayat tersebut paling kuat. Dan masih ada banyak perbedaan pendapat yang lain mengenai kapan tepatnya malam itu.
Kesimpulannya, ialah sebagaimana pernyataan imam al-Nawawī dalam fatwanya berikut:
مسألة: المشهور في مذهبنا أن ليلة القدر منحصرة في العشر الأواخر من شهر رمضانَ، وأنها ليلة معينة لا تَنتقل، بل تكون كل سنة في تلك الليلة، والمختار أنها تنتقل، فتكون في بعض السنين في ليلة، وفي بعضها في ليلة أخرى، ولكن إِنما تنتقل في العشر الأواخر.
“Satu masalah: Menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab kami, bahwa Lailah al-Qadr itu hanya ada pada sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadan. (Ada pendapat yang mengatakan) bahwa terjadinya Lailah al-Qadr tidak berpindah-pindah, setiap tahun hanya terjadi pada malam itu. Namun menurut pendapat yang dipilih (mukhtār) malam Lailah al-Qadr dapat berpindah. Oleh karena itu, dalam satu tahun terjadi di suatu malam, dan pada tahun berikutnya terjadi di malam yang lain. Namun perpindahan itu tidak akan melewati sepuluh hari yang terakhir bulan Ramadan.”
Pernyataan Imam al-Nawawī tersebut berdasarkan hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَوَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ الْتَمِسُوا وَقَالَ وَكِيعٌ: ﴿تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.﴾ رواه مسلم، رقم: ١١٧١ والبخاري ومالك وأحمد والترمذي.
“Carilah Lailah al-Qadr itu pada sepuluh hari yang terakhir Ramadan”
Kemudian terdapat kaidah yang menarik dari imam al-Ghāzalī untuk menentukan kapan tepatnya malam Lailah al-Qadr itu, sebagaimana yang telah gubah oleh al-Sayyid Abū Bakr Syaṭṭā dalam bentuk syair berikut:
في عشر رمضان الأخير حلت | ۞ | يا سائلي عن ليلة القدر التي |
تعرف من يوم ابتداء الشهر | ۞ | فإنها في مفردات العشر |
وجمعة مع الثلاثا: السابعه | ۞ | فبالأحد والأربعاء: التاسعة |
وإن بدا بالسبت: فالثالثة | ۞ | وإن بدا الخميس: فالخامسة |
هذا عن الصوفية الزهاد | ۞ | وإن بدا الاثنين فهي الحادي |
Wahai orang yang bertanya kepadaku tentang Lailah al-Qadr, yang ada pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Hal itu dapat diketahui dengan permulaaan hari pertama bulan Ramadan:
- Jika awal Ramadan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-29
- Jika awalnya jatuh pada hari Selasa atau Jumat, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-27
- Jika awalnya jatuh pada hari Kamis, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-25
- Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-23
- Jika awalnya jatuh pada hari Senin, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-21
Syaikh Abū al-Ḥasan al-Syāzilī melakukan testimoni pada kaidah imam al-Ghāzalī. Dan beliau berkata, “Semenjak saya menginjak usia dewasa Lailah al-Qadr tidak pernah meleset dari kaidah tersebut.”
Berbeda dengan keterangan yang dikutip oleh Imam Ibrāhīm al-Bājūrī dalam karyanya, sebagaimana berikut:
ففى تاسع العشرين خذ ليلة القدر | ۞ | وإناجميعا إن نصم يوم جمعة |
فحادي وعشرين إعتمده بلاعذر | ۞ | وإن كان يوم السبت أول صومنا |
ففى سابع العشرين مارمت فاستقر | ۞ | وإن هلّ يوم الصوم فى أحد |
يوافيك نيل الوصل فى تاسع العشرى | ۞ | وإن هلّ بالإثنين فاعلم بأنّه |
على خامس العشرين تحظ بها القدر | ۞ | ويوم الثلاثاإن بدا الشهرفاعتمد |
فدونك فاطلب وصلها سابع العشي | ۞ | وفى الأربعاء إن هلّ يامن يرومها |
توافيك بعد العشر فى ليلة الوتر | ۞ | ويوم الخميس إن بدا الشهر فاجتهد |
- Jika awal Ramadan jatuh pada hari Jumat, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-29.
- Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-21.
- Jika awalnya jatuh pada hari Ahad, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-27.
- Jika awalnya jatuh pada hari Senin, maka maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-29.
- Jika awalnya jatuh pada hari Selasa, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-25.
- Jika awalnya jatuh pada hari Rabu, maka Lailah al-Qadr jatuh pada malam ke-27.
- Jika awalnya jatuh pada hari Kamis, maka Lailah al-Qadr jatuh pada sepuluh akhir malam-malam ganjil.
Sedangkan tanda-tanda Lailah al-Qadr, serta bagaimana seseorang dapat mengetahui kedatangannya; Ibn Taimiyyah menjelaskan:
وقد روي في علاماتها أنها ليلة بلجة منيرة وهي ساكنة لا قوية الحر، ولا قوية البرد، وقد يكشفها الله لبعض الناس في المنام أو اليقظة. فيرى أنوارها أو يرى من يقول له هذه ليلة القدر وقد يفتح على قلبه من المشاهدة ما يتبين به الأمر. والله تعالى أعلم.
“Diriwayatkan, bahwa di antara tanda-tanda turunnya Lailah al-Qadr ialah pada malam itu merupakan malam yang terang dan bercahaya. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Terkadang Allah Saw memberitahukan pada sebagian manusia disaat ia tidur ataupun ketika ia terjaga, sehingga seorang hamba dapat melihat sendiri cahaya Lailah al-Qadr itu. Terkadang ada orang memberi kabar kepadanya bahwa saat itu Lailah al-Qadr. dan kadangkala Allah Swt membuka hatinya untuk melihat langsung hakikat Lailah al-Qadr yang sebenarnya.”
Dapat disimpulkan bahwa Lailah al-Qadr merupakan salah satu karunia Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang diberikan kepada umat Islam pada bulan Ramadan. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi siapa saja yang menghiasi malam tersebut dengan beribadah kepada-Nya. Namun Allah Subḥānahu wa Ta’ālā merahasiakan waktunya agar umat Islam lebih giat dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Oleh: Ahfas Maulidy
Referensi:
[1] Al-Mufassir al-Muhaddith ‘Abdullāh Sirājuddīn al-Ḥusainī, al-Ṣiyām; Adābuhu wa Maṭālibuhu, wa Fawā`iduhu wa Faḍāiluhu, (Suriah: Maktabah Dār al-Falāḥ, cetakan pertama, 2004 M)
[2] KH. Muhyiddin Abdusshomad, al-Ḥujjaj al-Qaṭ’iyyah fī Ṣiḥḥat al-Mu’taqidāt wa al-‘Amaliyyāt al-Nahḍiyyah, (Surabaya: Khalista, cetakan keempat, 2013 M.
[3] Dr. Muḥammad Bakr Ismā’īl, al-Fiqh al-Wāḍiḥ; min al-Kitāb wa al-Sunnah ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah,, (Kairo: Dār al-Mannār, cetakan kedua, 2017 M).
[4] Taqī ad-Dīn ʾAḥmad ibn Taimiyyah al-Ḥarrānī, Fatāwīal-Kabīr (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1987 M).
[5] Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad Ibn Rushd al-Andalusī, Muqaddimah Ibn Rushd (Beirut: Dār al-Ṣādir, t.th).
[6] Al-Ḥāfiz Muḥammad ibn Muḥammad al-Ḥusainī al-Zabidī, Itḥāf al-Sādat al-Muttaqīn bi Sharh Iḥyā` ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan keenam, 2017 M).
[7] Abū Zakariyyā Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī al-Dimashqī, Fatāwā al-Imām al-Nawawī al-Musammāt: bi al-Masā`il al-Manthūrah (Beirut: Dār al-Bashā`ir al-Islāmiyyah, cetakan keenam, 1996 M).
[8] Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Naisābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār Ihyā` al-Turāth al-‘Arabī, Taḥqīq: Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqī, t.th.).
[9] Abū Bakr ‘Uthmān ibn Muḥammad Shaṭṭā al-Dimyāṭī, I’ānat al-Ṭālibīn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan kesembilan, 2017 M). [10] Ibrāhīm al-Bājūrī, Ḥāshiyah al-Bājūrī (Riyadh: Dār al-Minhāj, cetakan pertama, 2016 M).