Suatu hari nanti pada tanggal 14 Februari
Kita orang berduyun-duyun melongok ke dalam hati
Barangkali niat baik masih tertutup oleh sepi
Gelombang-gelombang manusia silih berganti
Memandang negeri memandang nasib 270 juta anak pertiwi
Sementara tak ada yang lebih dibutuhkan kecuali nasi
Negeri ini, duhai terbuat dari kenang amis anyir darah
Maupun kasak-kusuk di belakang pintu sejarah
Atau bahkan degup jantung konglomerat serakah
Sedangkan jutaan kanak masih papa akan rumah
Sekedar makan minum ia mengais di tong sampah
Rahim ibu pertiwi melahirkan Indonesia yang lelah
Beberapa hari yang lalu banyak terjadi keramaian
Ada yang mendulang suara, memanggil cenayang sorga
Ada yang ingin menukar ide, memaksakan kepongahannya
Ada yang menjemput doa, mendatangi pemuka agama
Malaikat kalang-kabut mencatat janji-janji sambil ngeri
Rakyat tiktok, instagram, X, dan akar rumput geger sendiri
Tepat malam hari sebelum tanggal 14 Februari
Kepala akan berkutat lagi memandangi gejolak sang politisi
“Tentu tidak semua politisi buruk” celetuk ibu penjual kopi
Tak sampai hati kepala memikirkan derap langkah
Melihat kelakuan pemimpin negeri yang lungkrah dan resah
Bagaimana tahun-tahun akan dikemudikan di atas meja?
Boleh jadi seorang politisi tak dapat menyembuhkan sepi
Mungkin ada sekian juta perihal yang tak sampai di meja kerja
Itu sebabnya seorang politisi perlu mata, tangan, dan kaki tak terhingga
Mata itu terkadang terbuat dari ratapan dan tangisan kolega
Tangan itu terkadang berasal dari dekapan doa kiai dan ulama
Kaki itu kokoh berdiri sebab banyak jiwa yang siap lelah berkali-kali
Akan tetapi, memilihlah agar kelak kau semakin tahu
Bahwa negeri ini terbuat dari doa-doa rakyatnya yang biru!
Oleh: Abdullah Hadani