Era industri 4.0 telah membelenggu dan menjerat generasi milenial pada kehidupan yang serba praktis dan instan. Persaingan sengit dalam memajukan segala bidang tidak dapat terelakkan, sehingga masyarakat mau tidak mau harus ikut merasakan pahit dan manis, susah dan senangnya alur dari perkembangan zaman ini. “Saat-saat paling menyeramkan adalah saat di mana anda belum memulai sesuatu”, ungkapan Stephen King ini bisa menjadi ancaman tegas bagi masyarakat yang menyukai budaya praktis dan serba instan, mereka memang dituntut untuk berani memulai apapun yang dihadapi, termasuk kecanggihan teknologi yang tidak pernah berhenti dalam berinovasi dan melejitkan penemuan yang hebat.
Kecanggihan teknologi tersebut telah menjerumuskan masyarakatnya pada kecanduan media sosial yang berlebihan, hal ini dikuatkan dengan penelitian yang menginformasikan bahwa hampir setengah penduduk bumi sudah ‘melek’ media sosial. Tercatat dari laporan We Are Social dan Hootsuite tahun 2019 bahwa lebih dari 3,5 miliar manusia di bumi telah bergabung ke media sosial. Jumlah ini telah mengalami kenaikan dari data dua tahun sebelumnya bahwa total pengguna media sosial di dunia mencapai 3 miliar, artinya 46 % atau hampir setengah dari total populasi manusia di dunia adalah pengguna aktif media sosial. Sedangkan di Indonesia sendiri, dari data statista 2019 menunjukkan bahwa pengguna internet pada tahun 2018 sebanyak 95,2 juta yang mengalami kenaikan 13,3 % pada tahun 2017 sebanyak 84 juta pengguna. Pada tahun selanjutnya pengguna internet di Indonesia akan semakin meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 10,2 % pada periode 2018-2023. Pada 2019 jumlah pengguna internet di Indonesia diproyeksikan tumbuh 12,6 % dibandingkan 2018, yaitu menjadi 107,2 juta pengguna. Data tersebut menunjukkan besarnya daya minat pengguna media sosial atas perkembangan teknologi.
Dewasa ini, melahirkan beberapa hal negatif yang mengganggu mental dan daya pikir masyarakat, salah satunya adalah digital amnesia, yang merupakan suatu sindrom yang menyebabkan perubahan besar pada perilaku dan daya ingat kaum melek teknologi, terutama generasi milenial, yaitu generasi yang tercatat lahir pada tahun 1980-2000. Kecanduan terhadap media sosial dan internet menjadikan sindrom ini menjadi marak diidap oleh masyarakat zaman now. Digital amnesia ini terjadi saat masyarakat terlalu menggantungkan diri pada kecanggihan teknologi untuk mengingat berbagai macam informasi, mulai dari yang sepele hingga yang sangat penting dan sensitif seperti data pribadi. Para pengidap sindrom ini menggantungkan internet sebagai tempat pertama untuk mencari jawaban atas apapun yang ingin diketahui, biasanya mereka tidak terlebih dahulu untuk berusaha mengingat-ngingat dari memori otak. Efek dari digital amnesia ini biasanya akan dengan mudah melupakan hal-hal begitu saja setelah selesai menggunaknnya. Inilah yang membedakan generasi zaman dahulu yang cenderung hafal segala hal mekipun sepele, seperti nomor telepon, tanggal lahir teman, arah jalan, dan lainnya. Sebaliknya, generasi milenial sekarang bahkan nyaris tidak hafal dengan nomor telepon orang yang sering dihubungi sekalipun.
Adanya sindrom digital amnesia ini menjadi hal yang patut menjadi perhatian dan fokus utama kita, generasi milenial tidak akan mengecualikan siapapun yang melek teknologi, termasuk santri yang katanya konservatif sekalipun, karena budaya yang menjadi candu ini telah merambah di seluruh lapisan masyarakat. Sebagai santri yang berdomisili di pesantren yang turut memanfaatkan teknologi tentunya hal ini bisa menjadi salah satu tantangan buat kita. Dalam upaya pemanfaatan teknologi, terlebih dalam upaya pemenuhan sumber informasi tentunya tidak sedikit yang mengambil konten-konten dan referensi dari internet dan situs jaringan tertentu dengan mudah, tinggal search langsung download. Fenomenena yang terjadi di lingkungan pesantren kita menunjukkan bahwa santri-santrinya termasuk dalam kategori pengguna dan penikmat internet yang cukup signifikan, hal ini ada dua kemungkinan, pertama kebutuhan internet yang memang penting untuk digunakan, seperti atas dasar kepentingan komunikasi dan interaksi sosial maupun kepentingan akademik di perkuliahan. Kedua memang rasa candu internet yang sudah menjangkiti mereka. Kedua alasan ini sebenarnya tidak menjadi masalah yang serius apabila dihadapi dengan sikap yang bijak oleh masing-masing pribadi. Yang menjadi pertanyaan apakah kemudian kita menyadari tentang sindrom yang semakin mewabah ini juga ikut menjangkiti kita yang hampir 8 jam per harinya berkutat di depan layar laptop?
Pertanyaan di atas tentunya bisa menggugah kesadaran masing-masing orang, di samping mengukur seberapa tergantungnya terhadap internet dan media sosial sebagai rujukan atas jawaban-jawaban informasi yang penting maupun sepele. Tanpa kita sadari potensi dan benih sindrom ini sudah mulai masuk dalam diri kita. Seperti halnya peringatan hari kelahiran teman yang tidak kita ingat, sehingga dengan mudahnya kita bisa langsung melihat di profil facebook misalnya atau justru menunggu facebook memberikan pemberitahuannya. Adanya google map yang lebih sering dipilih daripada harus menghafal jalan atau bertanya pada orang lai akan menjadikan otak kita pincang dalam berpikir dan mengingat sesuatu lebih dalam. Contoh kecil seperti ini memang tampak sepele, namun justru inilah yang menjadi awal dari sesuatu yang pada suatu saat nanti akan menjadi bumerang untuk kita sendiri. Hal ini penting sekali untuk diketahui bahwa internet telah menggerus dan merenggut kualitas memori otak pecandunya, disamping banyak manfaat yang dihasilkan juga.
Sebagai warganet dan pengguna medsos yang bijak seharusnya kita tetap berpegangan pada apa yang pernah didawuhkan oleh guru kita, KH. Maimoen Zubair “’ala al-āqil an yakūna ‘ārifan bi zamānihi” bahwa setiap orang yang berakal yang paham dengan segala hal hendaknya bisa menyesuaikan dengan zaman yang dihadapinya, bukannya malah ikut terbawa arus tanpa bersikap arif dengan keadaan. Adanya fenomena digital amnesia tersebut sehingga bisa menjadi alat agar kualitas diri kita tidak sampai terkuasai oleh kecanggihan teknologi, dengan tidak memiliki sikap ketergantungan terhadapnya serta senantiasa mengasah otak dengan memanfaatkan apapun yang dinilai baik. Akhir tulisan ini mengutip kalimat dari Cak Nun “Hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga, untuk itu diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari.” Semoga bermanfaat.
Oleh: Hafidzatul Hilmi*