AINAYYA

Oleh: Uwaiz Shidqy

Kau tau ia memanggul keranda paling depan itu? Ia mengembalikan. Kau tau yang turun dan menerima mustaka di liang lahat itu? Ia juga. Dia yang menyucikannya, dia yang mengafaninya, dia yang menguruk lemah -nya, dia yang menancapkan batu nisannya, dia yang menabur bunga pertama kali dan pergi terakhir kali dari tanah pemakaman? Semua itu berbicara dengan diam, tanpa suara dan suara.

***

Dia duduk bertafakur di teras rumah mertuanya. Teras yang menjadi saksi pertama ia melihat dalam bulatan gaun pengantin 10 tahun yang lalu. Sejenak ia lupa pada malam malam di luar kota yang memberitahunya mengatakan telah tiada. Yang mengingatnya adalah saat pertemuan terakhir denganya. Di malam hari yang indah kompilasi ia mereguk segala yang ingin Anda ketahui. Menapaki segala jengkal kehidupan yang telah disatukan. Denganya, kompilasi alam sedang menari cinta yang berarti kematian. Untuk jiwa-jiwa yang hidup untuk meminta tolong diri dalam moksa yang sama lalu hilang segala wujud dan bersatu bagai udara.

Burung-burung berkicauan. Air hujan masih menetes dari dedaunan. Dan bau tanah menyajikan masa lalu. Dia menarik nafas kemudian berkata lirih,

“Wahai Kekasih, aku mengunjungi hari menikah , kidung-kidung kerinduan kunyanyikan dengan penuh kepedihan”

***

Tujuh hari ia mengadakan tahlilan di Perumahan. Begitu usai, ia memohonkan dirimu untuk pamit pulang dari rumah untuk kembali ke rumah orang tuanya. Dia ingin menyendiri sebentar. Terlalu berat memegang godam yang meremukkanya manakala ia melihat wajah diundang ada di mana-mana. Saat di ruang makan ia melihat dia mengambilkan lauk untuk mereka semua. Saat di dapur ia akan meminta celemek dan memanggilnya untuk satu suapan uji sajian yang akan dihidangkanya untuk mereka. Dan kompilasi di kamar, ia melihat disiapkan tersenyum malu di depan cermin. kompilasi ia menyandarkan dagu di pundakinkan dan memohon untuk menunaikan kehendaknya.

Anak-anak akan dititipkan pada nenek mereka dari pihak ibu. Dia akan beristirahat untuk rencana-rencana menyongsong hari berikutnya. Tentu saja dengan tanpanya. Tanpa diundang.

Sesampainya di rumah berhari-hari dia kembali pada kehidupanya sebelum menikah. Dia tidur di malam hari dan tidur di siang hari. Dia sedikit keluar kamar, tak banyak makan dan selalu ingin diam. Sekarang ia tau, arti di mana diam adalah emas.

“Ma, tau kan keadaan Alima saat ini? Menyedihkan sekali. Dia harus punya istri lagi. Sawiyya tau Alima punya rasa cinta yang mengambil alih dirinya. Kalau dia punya istri lagi dan mencintainya, dia akan sanggup mengingat peristiwa yang menimpanya saat ini ”

Sayup-sayup ia mendengar bisikan kakak perempuanya kompilasi menuruni anak tangga. Mereka memandanginya gelisah dan ia membalasnya dengan tersenyum. Kemudian mengambil nasi di atas meja lalu kembali ke kamarnya tanpa raut wajah dan tanpa suara.

BACA JUGA :  Hakikat dan Kaidah Untuk Menentukan Malam Lailah al-Qadr

Sebentar kemudian pintu kamarnya diketuk. Dia membukanya dan mempersilahkan kakak perempuanya untuk masuk. Baru sebentar,

“Kakak tau apa yang menimpamu adalah ujian yang maha besar. Namun ujian butuh jawaban. Dan ujian yang harus kamu jawab ini tentang masa depanmu, masa depan anak-anakmu, dan keyakinan untuk terus berjuang dalam kehidupan. Anak-anakmu masih kecil, mereka butuh figur ibu yang akan selalu menaungi mereka dalam kasih sayang. Ehm, begini, Kakak kenal kamu sejak kecil, kamu selalu percaya rasa cinta. Untuk itu, tunggu pending yang baru dan baru saja datang. Kamu akan menyelesaikan ujian ini dengan tanpa pemecahan ”

Dia diam. Tidak lagi ini seniornya berbicara tentang menikah lagi. Pergi hari ini sudah berbicara sudah. Beberapa menit tidak ada yang berubah darinya menepuk-nepuk pundaknya kemudian pergi meninggalkan kamar. Dia mengantarnya sampai pintu dan ikut menyaksikan gelengan kepala kakaknya pada Mama yang masih setia menunggu di bawah.

Di atas bayangnya dia melamun, apa Kakak benar-benar tidak tahu apa arti sebelum menikah dan sesudah menikah yang kuyakini? Mencintai sebelum menikah adalah merawat rasa cinta, karena pada akhirnya entah dia yang menikah, aku yang menikah, atau aku yang menikahinya. Sementara itu, ingatlah. Merawat dirinya dalam rasa cinta. Kehilangannya berarti kehilangan rasa cinta.

Dia kemudian malah teringat masa-masa pacaran sebelum menikah. Sejak yakin itu dia akan menjadi bicara, ia mulai ditumbuhi rasa takut. Dia takut kehilanganya. Di setiap petikan gitar yang ia perdengarkan untuknya, selalu diiringi lagu “Aku Takut kalahmu.” Sejak dulu membayangka ‘dia’ dilewati terlebih dahulu sebagai keniscayaan siksa. Dan kini terjadi yang terjadi. Lagi, ia kembali sedih dan ia masih teguh meminta bibirnya agar tetap terkatup.

***

Keesokan harinya, kakaknya pindah ke bersarapan bersama keluarga. Mulanya ia menolak, akhirnya mengiyakan setelah membantah yang menyuruhnya adalah Mama. Dan benar-benar saja, begitu tiba di meja makan, semua saudaranya memandanginya seolah tidak terjadi apa-apa. Namun ia meminta gelegat hal itu lagi. Dia yang diajak lucu dalam membawakan acara-acara lucu di masa lalu. Semua orang tertawa lepas. Sementara ia hanya tersenyum, tidak tahu apa yang mereka tertawakan sejatinya hanyalah menertawakanya. Ketika semua orang yakin ia baik-baik saja dalam tenangnya, satu adik perempuannya menyodorkan foto seorang wanita yang pernah pernah ia cintai mati-matian kompilasi masa sekolah namun cintanya ditolak. Dan kenyataan sampai saat wanita ini di foto itu masih melajang setelah menyadari arti cintanya saat itu.

“Dulu kakak benar-benar suka beneran. Dibela-belain beli hadiah dari Mekah. Sampai 8 tahun setia nggak beralih hati, Ya Allah! Ya itu sebelum ketemu mbak Nayya .. eh .. ”

Mendengar nama itu membelalak lebar, cengkramannya pada kait mengeras.

BACA JUGA :  Rayuan Para Pendengkur

Sesaat tersadar sosok itu telah tiada. Ia menghela nafas kemudian mengerdurkan wajah tegangnya, bergeming, kembali tanpa raut dan suara.

Setelah menyadari hal itu mereka semua membisu. Membuat sang Mama gusar dan mengusir mereka semua.

“Alima” Mama memanggilnya.

Dia diam.

“Alima!” Mama mengulang kedua kalinya.

Dia masih diam.

“Apa saja yang benar dari mendiamkan ibu yang melahirkanmu sendiri !?”

Tersengat dia mendengarnya,

“Ehm, iya Mama?”

“Apa yang terjadi denganmu?”

“Tidak ada, Mama”

“Kenapa kamu berubah? Sejenak meninggalnya istrimu kamu jadi kacau ”Suara Mama terdengar semakin tinggi.

“Tak ada yang berubah ibunda”

“Kenapa kamu menolak menikah lagi?”

“Apa yang tidak terlalu cepat dalam waktu setelah kepergian Ainayya membahas hal itu?”

Kini terasa air bercucuran. Mama terdiam menghela nafas.

“Selamat, tunggu sampai Ibunya Ainayya datang kita membicarakan soal pantas tidaknya kamu menikah lagi waktu-waktu ini”

Dia menunduk, dalam sesenggukan.

“Mama, aku akan menunggu sampai 4 bulan 10 hari”

“Alima, sejak kamu akil, kamu tidak pernah lagi melihat Mama. Untuk saat ini saja, kamu setuju pada kehendak Mama! Mama tidak mau lagi punya menantu yang nisbat bintinya kepada mama! ”

Suara Mama terdengar tegas. Dia kembali ke kamarnya dengan hati bagai tersayat sembilu. Dia tau arti bakti.

“Oh, Ibu, Ya Tuhan” rintihnya.

Akhirnya rahasia yang ia pegang dengan erat dibagikan setelah mereka pulang dari pemakaman. Dia masih tidak mengerti alasan Ainayya berwasiat agar dalam nisanya dituliskan nama izin. Sedang keluarga adalah keluarga. Setelah orang-orang, pandangan mereka terhadap keluarga bisa jadi bermacam-macam. Mamanya adalah sosok yang luar biasa menunggu dalam berbagai hal tabu di dunia. Mama memang tidak bisa menolak masa lalu, namun ia menolak perubahan. Mama ingin menyelamatkanya dan dia bisa memahaminya.

***

Keesokannya lagi, mertuanya datang membawa anak-kambing. Mama dengan terus terang sampai keinginanya agar ia segera menikah lagi. Mertuanya menyetujuinya, sebaliknya mertuanya mengatakan akan menganggap bahwa Ainayya sebagai anak kandungnya pula. Mama memicingkan mata meminta kebersedianya menikah lagi. Hatinya hancur seketika. Dalam diam ia meratap. Mengobrol di saat Ainayya sedang dalam dekapanya.

“Kelak setelah kita tua, siapa yang akan pergi?”

“Ehm, aku nggak tau, Mas. Tapi aku akan selalu menunggu aku pergi ”

“Mengapa begitu?”

Rengkuhan Ainayya semakin erat,

“Mas, aku nggak pernah membayangkan di sini tanpa, Mas. Aku benar-benar nggak sanggup hidup tanpa Mas, sampai kapanpun ”

“Ainayya, seandainya ini yang menimpamu aku yakin kamu akan yakin menolak menikah lagi. Tapi aku .. maafkan aku .. ”

Ainayya. Mataku. Matahariku.

Sore itu ia mengajak anak-anak untuk berziarah. Aini digandengnya, anak anak dengan erat.

“Aba, Aini kangen Mama”

Dia menarik nafas dalam-dalam. Dia menggunakan linangan air mata. Dipeluknya nisan mengajak.

“Hanya kaulah istriku satu-satunya!” Sumpahnya.

Fahrur Razi
Santri aktif pondok pesantren Al Anwar 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *