Oleh : Edi Sapoetra (kamar 11)
Saat matahari mulai meredup, perut si Oni terasa ada yang aneh, eh, ternyata dia sedang lapar. Dengan otomatis kaki berjalan dengan langkah yang santai, persiapan keluar dari kamar tidur untuk mencari sesuap nasi. Saat itu dia sedang berdiri di depan lemari sandalnya, saat membukanya, dia memandang dengan pandangan yang dalam dengan mengerutkan dahinya. Ternyata apa? sandal kesayangannya tidak ada, yang ada hanya butir-butir kenangan bersamanya.
Dia berjalan meninggalkan lemari sandalnya dengan wajah polos seperti kertas putih. Dalam hatinya dia ingin mencari sandalnya sampai ketemu, akan tetapi saat dia melewati kumpulan sandal teman-temannya, seketika itu niatnya berubah 91% di tambaah 9%. Dengan sengaja dia memilih dan memakai sandal yang bermerek Swallow, bukan Ardila ataupun Eiger. Karena dia beranggapan bahwa sandal pilihannya itu kalau diambilnya pasti orang yang punya sandal tersebut di jamin ikhlas dengan alaasan karena harganya yang murah. Dengan berpegang anggapan tersebut dia mengambil dan memakai sandal tersbut seperti tanpa dosa.
Sesampainya di warung makan, dia terpaksa melepas sandal pilihannya tadi, karena warungnya berlantaikan keramik. Bersama teman-teman satu kompleknya dia makan dengan berlaukan telur dan tempe dan tidak lupa sambal terong kesukaannya. Setelah dia membayar makan, dia berjalan keluar sambil memasukkan uang kembaliannya kedalam saku bajunya. Dan tidak disangka-sangka sandal pilihannya pun hilang tanpa jejak. Hal ini membuat dia resah, di dalam hatinya ia berkata “sandal milik pribadi yang jelas tidak berdosa saja hilang, apa lagi sandal hasil curian”.
Karena statusnya dia seorang santri, akhirnya dia berfikir, berarti tidak ada bedanya antara dia dan seorang pencuri yang tidak pernah ngaji dengan kiai. Sedangkan dia adalah seorang santri yang sering ngaji bersama kiai. Dengan mengembalikan statusnya bahwa dia santri, dengan sendirinya dia sadar karena dia ingat dengan salah satu hadis “LA DHARARA WALA DHIRARA” (tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain).
Dengan terjadinya peristiwa “Sandal Yang Tercolong” itu, bisa menjadikan dia pribadi yang lebih dewasa dan tidak mudah memutuskan perkara tanpa dasar yang benar. Pada saat itulah dia kembali membeli sandal yang baru, dengan merek Swallow, berwarna hijau dengan ukiran karyanya. Dengan hati yang paling dalam, dia berharap bahwa sandal yang baru dia beli itu, tidak diambil orang lagi. Dan dia juga berharap semoga orang yang mengambil sandalnya diberi hidayah (petunjuk) agar sadar seperti kala dia ketika mengambil sandal orang lain. Kafa Bi Hadza…
Sarang, sabtu 23/03/19’