Beranda > Seputar Pondok > Tantangan Pesantren dan Nasionalisme

Tantangan Pesantren dan Nasionalisme

tantangan pesantren dan nasionalisme

Santri tidak lepas dari pesantren. Hal ikhwal kemakmuran pesantren terpenuhi. Itu tertuang dalam Undang-Undang Pesantren. Harapanya, santri dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dalam menyambut kabar gembira tersebut. Pernyataan ini diungkapkan Bupati Rembang H. Abdul Hafidz dalam menyambut narasumber acara Sarasehan dan Dialog dengan tema Santri milenial nasionalis dan religius yang digelar di Pondok Al-Anwar 3 Sarang (21/10).

Materi disampaikan lengkap dari pemerintah, pihak keamanan negara, dan pengasuh pondok. Tokoh-tokoh tersebut yakni Wakil Gubernur Jawa Tengah H. Taj Yasin, Kombes Pol Jateng Budi Utomo, dan Penasuh Pondok Al-Anwar 3 KH. Abdul Ghofur. Dua poin utama yang disampaikan narasumber; tantangan pesantren dalam menjawab arus zaman dan nasionalisme.

Dalam sesi keywords, Gus Yasin membuka dengan esensi tantangan pondok pesantren. Itu terlihat dari zaman yang menuntut keterbukaan informasi. Seperti kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dimulai dari keterbukaan pemerintah. Membuka diri agar tidak merasa dirinya paling top atau eksklusif. Sehingga pesantren benar-benar belajar, tidak belajar dari Google dan You Tube.

Setelah membuka diri, pesantren diharapkan tidak dipandang sebelah mata. Sehingga jerih payah ulama dan santri yang berada di jenjang pemerintah berupa Undang-Undang Pesantren dapat dijadikan momentum yang baik. Secara langsung maupun tidak, masyarakat dapat merasa nyaman, nyaman, damai dan tenang. Dengan begitu, tidak ada anggapan radikal yang melekat di pesantren. Seperti anekdot kalau sudah memakai jubah melemparkan tas membuat takut masyarakat.

Hal yang dapat dilakukan menampik faham radikal adalah kerja sama. Menampik oknum yang tidak bertanggung jawab mengukuhkan diri eksklusif sehingga mendengar pesantren, masyarakat takut. Bahkan lebih dari itu, mendengar agama juga takut. Dari itu, TNI dan Polri hari ini lebih serius dalam pengawasan tempat ibadah. karena agama merupakan sebagai penyelesai masalah. Seperti tertuang dalam ayat Wa’tasimu bihablillahi wala tafarraqu yang menganjurkan untuk bersatu dan tidak tercerai-berai. Hal ini menjadi tantangan karena memang hari in agama seakan-akan saling dihadapkan.

Seakan membuat miris, beberapa waktu lalu salah satu universitas di Jawa Tengah mendeklarasikan mahasiswa barunya untuk mendukung khilafah. Dulu ada satu pasal yang diangap bahwa rohis harus lulus universitas. Ternyata tidak, santri dapat masuk disini. “Ke depan, bekerja sama merubah metode rohis (yang ada di) SMA, termasuk dari mahasiswa. Saya titip untuk diberikan kepada pondok pesantren yang memang faham NKRI.” Ujar Gus Yasin sambil menengok Bupati Hafidz.

BACA JUGA :  Sholat Jumat di Desa Konoha

Akhir pembicraan, Gus Yasin berpesan agar belajar lebih rajin. Bahwa santri dapat mewarnai dan santri memiliki inovasi yang diterima masyarakat.

tantangan pesantren dan nasionalisme
Para santri ketika hadir dalam acara Sarasehan dan Dialog Santri Generasi Milenial, Nasionalis, dan Religius.

Pesantren dan Nasionalisme

Mewakili Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel, Dir Binmas Polda Jateng Drs . Budi Utomo, SH mengisi materi nasionalisme dalam bernegara. Materi dimulai dari pengertian milenial. Dikatakan milenial yakni orang yang lahir dalam kurun 1980 hingga tahun 2000-an. Kemudian mengenal teknologi, tidak peka social, dan memiliki sifat hedonis.

Kedaulatan Indonesia tidak diterima begitu saja. Bangsa Indonesia, kata Kombes Pol Budi dikonyo-konyo (yang memiliki arti rela dibuat sakit, tersiksa dan tidak merdeka) oleh penjajah. Kemudian di tahun 1908, muncul kesadaran untuk berdaulat berupa badan organisasi bernama Budi Utomo oleh 7. Wahidin susilo Husodo. Kemudian tahun 1928 muncul deklarasi semangat persatuan yang berwujud Sumpah Pemuda. Titik kulminasinya terjadi pada 17 Agustus 45 berupa kemerdekaan.

 

Ibarat membuat rumah, harus memiliki pondasi, tiang, isi, dan pengatur. Disepakati 4 konsesnsus; Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Empat konsesus harus dikembangkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Konsesus tersebut semuanya sudah lengkap. Diantanya cita-cita Negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 alenia 2, hidup dalam kemakmuran dan alenia 4.

Adapun langkah dalam berbangsa dan bernegarayakni bersatu, senyum-sapa, saling menghormati golongan tua-muda, bekerja sama, dan gotong royong. Hal ini tidak berarti apa-apa mengingat musuh sekarang jauh lebih berbahaya daripada zaman dulu. Sebut saja narkoba, diganggu radikalisme, terorisme, sparatis, dam cyber dari dunia maya.

Terkait radikalisme, hari ini sudah masuk di berbagai lini. Hal ini yang menganggu ideology bangsa. Tantangannya yakni pemahaman konsesus masih rendah, rasa memiliki juga rendah, hedonis, individualism, matrealistik, dan pembelaan terhadap Negara belum optimal.

BACA JUGA :  Bangunan Pesantren Turut Memberikan Tarbiyah: Sejarah Singkat Bangunan Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Puteri

Maka dari itu sebagai santri harus faham. Yang membuat pusing, kata Kombes Budi, jika sesame Islam saling berantem dalam perbedaan, kemudian menjelek-jelekan. Dari persoalan tersebut diharapkan generasi milenial religis benar-benar membawa Islam yang rahmat lil-Alamin.

Eksistensi Santri

Babah memaparkan eksistensi santri di berbagai sector. Mulai sejarah, nasionalisme, hingga ekonomi. Dimulai jauh sebelum kemerdekaan,eksistensi santri sudah ada. Hal ini ditunjukkan saat generasi Walisongo, sebut saja Sunan Ampel yang sudah berdakwah. Dari muridnya, muncul Mataram yang mendirikan pemerintahan berupa kerajaan. Sedikit bercanda, mendirikan kerajaan dibantu Nyi Roro Kidul. Oleh Gus Dur kemudian dikerudungi. Para hadirin tersenyum.

Di zaman kemerdekaan, ada tokoh Imam Bonjol. Hingga sampai pada masa Soekarno merasa sebagai presiden. Namun saat itu belum ada pengakuan dari Negara-negara. Mesir muncul sebagai Negara yang mengakui Indonesia.

 

Kemudian Soekarno meminta wejangan pada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Kata Mbah Hasyim, “Kamu presiden. Siapa yang menggulingkan, kami bela.” Hal ini masih bersifat pribadi, kemudian dideklarasikan resolusi jihad di Kantor Anshor NU.

Eksistensi santri salanjutnya yakni batik dan rokok. Dahulu batik dan rokok milik santri. Namun sekarang, hampir jarang ditemui hal tersebut. Termasuk merk jamu seperti Nyonya Menir juga mengalami hal yang sama.

Di era milenial, geliat kekuasaan santri terlihat di berbagai sector. Seperti gubernur Jatim, Wagub Jateng, hingga Wakil Presiden. Bila presiden sekarang tidak santri, yang terpenting banyak kebijakan yang pro terhadap santri. Babah optimis, satu sampai dua priode ke depan presiden akan diduduki oleh santri.

Masuk dalam pembahasan khilafah, Babah menjelaskan bahwa khilafah berhenti di tahun 1924. Sebelum itu, Turki yang memiliki bentuk pemerintahan parlemen yang dianggap modern, juga dibubarkan. Tahun 1954, Kerajaan Mesir juga memiliki system parlemen. Juga ada pemilihan umum dilaksankan. Maka tidak heran romantisme pada khilafah ini masih terasa awet. Pertanyaan-pertanyaan imbas positif system selain khilafah akan untuk Islam, selalu muncul. Seperti tokoh Tengku Zulkarnain dan Felix Siaw.

Lagi, terkait pengaruh santri juga diharapkan dapat masuk dalam segi ekonomi. Sehingga muncul ekonom-ekonom yang berpengaruh besar terhadap Negara. Presiden Jokowi tidak akan terpilih jika taka da suara santri. (*)

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *