Oleh: M. Islahuddin
Sekitar tiga bulan yang lalu, saya bersama 14 teman yang lain melaksanakan KKN di tempat yang sangat jauh dari manapun, yaitu di Desa Konoha. Desa tersebut merupakan radius terjauh dari kampus kami dibanding desa-desa lain yang menjadi tempat KKN. Waktu yang diberikan kampus untuk kami adalah 41 hari, waktu yang sangat sedikit untuk bisa dikatakan ‘Membuat Perubahan’.
Demi mencapai lokasi tersebut kami dari kampus menempuh perjalanan sekitar 2 jam lebih dengan medan yang tidak mulus, kami harus menaiki gunung, melewati jalan bergeronjal, melewati jalan tanpa aspal serta pada puncaknya kami harus melewati jalan Pabrik Semen yang penuh dengan debu (Lahū Ghubārun) karena memang lokasi pabrik berdekatan dengan desa.
Karena lokasinya yang terisolir, roda perekonomian penduduk desa harus bergantung kepada desa lain, yaitu Desa Kirikagure. Karena desa tersebutlah radius terdekat yang dapat dijangkau oleh masyarakat Desa Konoha untuk berniaga, serta ada sebagian penduduk desa yang menyekolahkan anak mereka ke desa tersebut dikarenakan lembaga pendidikan formal yang tersedia di Desa Konoha hanyalah TK dan SD, adapun lembaga formal seperti SMP/MTs, SMA/MA, belum ada sama sekali, maka tak heran bila masyarakat Desa Konoha pendidikan terakhirnya adalah SD.
Mayoritas penduduk Desa Konoha berprofesi sebagai petani, namun ketika kami melaksanakan KKN, desa sedang mengalami musim kemarau, maka kegiatan cocok tanam terpaksa berhenti dan beralih untuk fokus mencari rumput untuk sapi mereka, yang oleh masyarakat sekitar diistilahkan dengan Lembu.
Dalam pengetahuan agama, masyarakat Konoha juga masih sangat awam, dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat desa yang belum faham terkait daging-daging yang halal dan haram untuk dikonsumsi, serta minimnya pemahaman mereka terkait shalat, wudlu, serta fikih ibadah yang lain.
Di Desa Konoha terdapat 3 dukuh: pertama Amegakure; kedua Getsugakure; ketiga Hoshigakure. Kami ber-15 terbagi menjadi 8 orang di dukuh Amegakure, dan 7 orang lagi di dukuh Getsugakure. Adapun dukuh Hoshigakure tidak ditempati KKN karena personil yang minim serta lokasinya yang berada di puncak gunung Hashirama, mengakibatkan kami lebih memilih dukuh Amegakure dan Getsugakure menjadi basecamp karena lokasinya yang berada dilereng gunung sertas aksesnya yang lumayan mudah untuk mencapai desa Kirigakure dan dukuh Getsugakure.
Masyarakat Desa Konoha masyoritas beragama Islam, namun ada pemandangan unik dimana praktek shalat jumat di Dukuh Amegakure dan Getsugakure dilaksakan oleh penduduk desa dengan bilangan kurang dari 40 orang. Sebagian dari kami ada yang memutuskan untuk shalat dzuhur di kamp (tidak ikut shalat jumat karena kurang 40), ada yang memilih untuk shalat jumat namun usai jamaah langsung I’ādah (mengulang shalat) shalat dzuhur di kamp, ada juga yang ikut shalat Jumat namun tidak I’ādah.
Lalu ada salah satu warga juga pernah bertanya kepada kami:
“Mas menurute sampean pas ndelok kondisi koyok ngunu poro jamaah kudu kon mbaleni shalat dzuhur opo ora?” lalu kami jawab: “Semisal di ulang lagi dengan shalat dzuhur (Iādah) ya malah bagus pak, namun bila tidak ya tidak apa-apa”.
Karena dalam dunia Islam pun juga terjadi khilaf diantara Ulama’ terkait bilangan shalat jumat, yang implikasinya dapat dijadikan solusi terkait problematika bilangan shalat Jumat yang kurang dari 40, penulis akan paparkan satu persatu:
- Ibn Ḥazm: Shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 1 orang. (bila mengacu pendapat ini maka tidak disyaratkan berjamaaah).
- Al-Nukhā’ī dan para pengikut madzhab al-Dzāhiriyyah: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 2 orang.
- Abū Yūsuf, Muhammad bin Ḥasan al-Syībāny dan lais bin Sa’d: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh tiga orang (dua orang bersama Imam).
- Abū Ḥanīfah, Sufyan al-Tsawry: Shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 4 orang (3 orang beserta 1 Imam).
- ‘Ikrimah: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 7 orang.
- Rabī’ah: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 9 orang.
- Imām Mālik: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 12 orang.
- Isḥāq: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 12 orang (kecuali Imam).
- Riwayat Ibn Ḥabīb dari Imām Mālik’: shalat jamaah dapat dilaksanakan oleh 20 orang.
- Riwayat lain: shalat jumat dapat dilaksanakan oleh 30 orang.
- Riwayat paling ṣaḥīḥ dari Imam al-Syāfi’ī: shalat jumat sah apabila dilaksanakan minimal 40 orang (termasuk Imam).
- Riwayat lain dari imam al-Syāfi’ī, Umar bin ‘Abd al-‘Azīz: shalat jumat dapat sah apabila memenuhi bilangan minimal 40 orang (tidak termasuk Imam).
- Imām Aḥmad bin Ḥanbal: Shalat jumat sah bilamana memenuhi bilangan minimal 50 orang.
- Al-Māziry: shalat jumat sah bilamana memenuhi bilangan minimal 80 orang.
- Bilangan yang banyak hingga tak terbatas.[1]
Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidīn juga dijelaskan: “Wajib bagi orang alim bila dimintai fatwa terkait legalitas mendirikan shalat jumat namun bilangannya kurang dari 40 untuk menjawab: “Hal tersebut tidak diperkenankan dalam madzhab al-Syāfi’i”, namun bila semisal fatwa dari orang alim tersebut tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan) dan tasāhul (menganggap enteng) maka boleh baginya mengarahkan mustafti (orang yang meminta fatwa) untuk taklid kepada Qawl Qadīm[2]nya al-Imam al-Syafi’i”.[3]
Syaikh Abū Bakr Syaṭā mempunyai tulisan yang fokus membahas permasalahan diatas yang ia beri judul: “Jawāz al-‘Amal bi al-Qawl al-Qadīm li al-Imām al-Syāfiī Fī Ṣiḥḥaḥ al-Jum’ah bi Arba,ah”. Bila dialihbahasakan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini: “Bolehnya mengamalkan Qawl Qadīm al-Imām al-Syāfi’i dalam permasalahan shalat jumat yang sah bila didirikan hanya dengan empat orang”. Di dalam kitab tersebut beliau menjelaskan:
Sesungguhnya shalat jumat hukumnya Fardlu ‘Ain bila telah memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah genapnya bilangan 40 menurut Qawl Jadīd[4] al-Imām al-Syāfī’ī. Namun al-Imām al-Syāfiī’ juga mempunyai dua Qawl Qadīm: Pendapat pertama mengatakan bahwa shalat jumat sah bila dilaksanakan oleh 4 orang; Pendapat yang kedua mengatakan bahwa shalat jumat sah bila lakukan oleh 12 orang. serta diperbolehkan bagi penduduk desa yang bilangan jamaahnya belum memenuhi 40 untuk mengamalkan salah satu dari dua Qawl Qadīm tersebut, terlebih bila mereka mau untuk mengulangi (I’ādah) dengan menunaikan shalat dzuhur karena Iḥtiyāṭ (berhati-hati). Alasan mengapa dua pendapat ini direkomendasikan, karena dua pendapat ini juga dibela oleh para Murid (Aṣḥāb) Imām al-Syāfī’ī sera mereka menguatkan pendapat tersebut. Al-Ḥāfidz al-Suyūṭī berkata: “Para Ulama’ berselisih pedapat terkait bilangan yang menjadikan sahnya shalat jumat hingga mencapai 14 pendapat, namun sebagian para pengikut al-Imām al-Syāfiī lebih mentarjih (menguatkan) Qawl Qadīm yang mengatakan bahwa shalat Jumat sah apabila didirikan oleh 12 orang.[5]
Lalu Syaikh Abū Bakr menegaskan bahwa taklid kepada Qawl Qadīmnya al-Imām al-Syāfiī lebih baik daripada taklid ke madzhab lain, dikarenakan bila seumpama kita taklid ke madzhab lain kita harus menjaga syarat-syarat dari madzhab Muqallad (yang kita ikuti) mulai dari wudlu, mandi dsb. Dan hal tersebut menyulitkan orang yang tidak mengerti, maka berpegang terhadap pendapat al-Imām al-Syāfiī yang bersatus Dha’īf lebih baik daripada harus berpindah ke madzhab lain.[6]
Namun pendapat ini tidak boleh ditentang dengan argument: “Bila ada Qawl Qadīm dan Qawl Jadīd bertemu kan yang hanya boleh diamalkan hanya Qawl Jadīd?”, karena argument tersebut konteksnya adalah bila tidak ada salah satu dari para pengikut al-Imām al-Syāfiī yang mentarjih, apabila ada dari pengikut al-Imām al-Syāfiī yang mentarjih maka pendapat tersebut boleh diikuti.[7]
حاشية إبراهيم البيجوري ص: 408 ج: 1 ط: دار الكتب العلمية
قد اختلف العلماء في العدد الذي تنعقد به الجمعة على خمسة عشر قولا: الأول تنعقد بالواحد وهو قول ابن حزم, وعليه فلا تشترط الجماعة كما هو ظاهر الثاني باثنين كالجماعة وهو قول النخعي الثالث باثنين مع الإمام عند أبي يوسف و محمد و الليث الرابع بثلاثة مع الإمام عند أبي حنيفة و سفيان الثوري الخامس بسبعة عند عكرمة السادس بتسعة عند ربيعة السابع باثني عشر وهو مذهب الإمام مالك الثامن مثله غير الإمام عند إسحاق التاسع بعشرين في رواية ابن حبيب عند الإمام مالك العاشر بثلاثين كذلك الحادي عشر بأربعين ومنهم الإمام وهو أصح القولين عند الإمام الشافعي الثاني عشر بأربعين غير الإمام وهو القول الآخر عند الإمام الشافعي وبه قال عمر بن عبد العزيز وطائفة الثالث عشر بخمسين في رواية عن الإمام أحمد الرابع عشر ثمانون حكاه المارزي الخامس عشر جمع كثير من غير حصر.
بغية المسترشدين ص: 102 ط: دار الكتب العلمية
ويلزم العالم إذا استفتى في إقامة الجمعة مع نقص العدد أن يقول: مذهب الشافعي لا يجوز ثم إن لم يترتب عليه مفسدة ولا تساهل جاز له أن يرشد من أراد العمل بالقول القديم إليه
جواز العمل بالقول القديم للإمام الشافعي في صحة الجمعة بأربعة ص: 6 ط: الفلاح
اعلم أن الجمعة فرض عين عند اجتماع شرائطها ومنها استكمال العدد وهو أربعون في القول الجديد لإمامنا الشافعي المفتي به وله قولان قديمان أيضا أحدهما تنعقد بأربعة وثانيهما باثنى عثر. ويجوز لأهل قرية لم يستكملوا الأربعين العمل بهما تقليدا لهما ولا إنكار عليهم في ذلك خصوصا إذا أعادوها ظهرا احتياطا لأن هذين القولين نصرهما أصحاب الإمام و رجحوها. قال الحافظ السيوطي: اختلف العلماء في العدد الذي تنعقد به الجمعة على أربعة عشر قولا بعد إجماعهم على أنهم لابد من عدد. فبعض أصحاب الإمام رجح قوله القديم أن أقلهم اثنا عشر اه. ثم إن تقليد القول القديم أولى من تقديم المخالف لأنه يحتاج أن يراعي مذهب المقلد (بفتح اللام) في الوضوء والغسل وبقية الشروط, وهذا يعسر على غير العارف. فالتمسك بأقوال الإمام الضعيفة أولى من الخروج إلى المذاهب الأخر. ولا يعارض العمل بالقديم تصريحهم بأنه إذا وجد في المسألة قولان: قول قديم و جديد ف العمل بالجديد ولا يجوز العمل بالقديم لأن محله مالم يرجحه بعض أصحابه لظهور دليله وإلا جاز تقليده.
Penulis menyimpulkan bahwa bagi penduduk desa seperti Desa Konoha yang bilangan jamaah jumatnya kurang dari 40 diperbolehkan bertaklid kepada salah satu Imam yang memperbolehkan Jumatan kurang dari 40, namun akan lebih aman bila hanya bertaklid kepada Qawl Qadīm al-Imām Syāfiī yang memperbolehkan shalat jumat dengan 4 atau 12 orang karena berpindah madzhab dibutuhkan perhatian khusus terkait rukun dan syarat-syaratnya, serta bila mereka mau untuk mengulanginya dengan shalat dzuhur karena Iḥtiyāṭ akan lebih baik.
- Ibrāhīm al-Bayjūry, Ḥāsyiyah al-Bayjūry, (Jakarta: Dār al-Kotob al-Islāmiyyah, 2007), 1, 408. ↑
- Qawl Qadīm merupakan pendapat al-Imām al-Syāfi’i saat masih berada di Baghdād, pendapat tersebut terdokumentasi dalam kitab yang ber judul “al-Ḥujjah”. Diantara para perawi Qawl Qadīm adalah: Ahmad bin Hanbal, Abū Tsūr, al-Za’farāny, al-Karābīsy. Wahbah Zuḥayli, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu’āṣir, 2017), 1, 48. ↑
- Abd al-Raḥmān bin Muḥammad bin Ḥusayn bin ‘Umar, Bughyah al-Mustarsyidīn, (Beirut: Dār al-Kotob al-Ilmiyyah, 2012), 102. ↑
- Qawl Jadīd merupakan pendapat al-Imām al-syāfiī saat sudah menetap di Mesir pada tahun 200 H. diantara karya yang beliau tulis terkait Qawl Jadīd adalah: al-Umm, al-Risālah dll. Beliau juga mempunyai para murid penerus Qawl Jadīd, seperti: al-Muzanny, al-Buwayṭy, al-Rabī’ al-Jīzy, al-Rabī bin Sulaymān al-Marādy. Wahbah Zuḥayli, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu’āṣir, 2017), 1, 48. ↑
- Abū Bakr Syaṭā, Jawāz al-‘Amal bi al-Qawl al-Qadīm li al-Imām al-Syāfiī Fī Ṣiḥḥaḥ al-Jum’ah bi Arbaah, (Tuban: Al-Falāḥ t.tp), 6 – 7. ↑
- Ibid, 7. ↑
- Ibid, 7. ↑