Beranda > Seputar Pondok > Kajian Fiqh > PERDAGANGAN GINJAL DAN SERANGAN FAJAR DALAM KONTEKS PEMILU

PERDAGANGAN GINJAL DAN SERANGAN FAJAR DALAM KONTEKS PEMILU

ginjal

PERDAGANGAN GINJAL DAN SERANGAN FAJAR DALAM KONTEKS PEMILU

  • Deskripsi masalah

Pak Aripin adalah salah satu calon legislatif (caleg) di Kabupaten Bondowoso. Pria kelahiran 1976 ini, ia memiliki pribadi yang cinta tanah air dan mengabdikan diri kepada masyarakat. Meskipun secara finansial kurang mencukupi, ia tetap antusias diri mencalonkan diri menjadi anggota DPRD di daerahnya. Antusiasmenya ini di buktikan bahwa demi menjadi caleg, ia rela menjual salah satu ginjalnya untuk biaya kampanye pemilu. Ia menuturkan:

“Surat pernyataan jual ginjal ini saya buat nantinya untuk biaya operasional dan biaya logistik kemenangan saya sebagai caleg” diambil dari liputan 6 pada (16/01/2024).

Selain itu ia mengatakan bahwa transaksi ginjal yang ia lakukan juga merupakan bentuk khidmahnya kepada masyarakat luas

  • Pertanyaan
    • Bagaimana hukum transaksi ginjal yang dilakukan Pak Aripin di atas?Bagaimana hukum menerima serangan fajar dari Pak Aripin?
    • Jawaban
      • Jual beli ginjal

Dalam prinsipnya, jual-beli dan transaksi lainnya diperbolehkan dalam Islam. Namun, para ulama menetapkan batasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar transaksi jual-beli sah menurut hukum syariat. Ketika berbicara tentang jual-beli organ tubuh manusia terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini bergantung pada sudut pandang mereka terhadap manfaat dan kerugian dari jual-beli organ tubuh manusia serta kepentingan vital dari organ yang diperjualbelikan.

Sebagian ulama, seperti Muhammad bin Ibrāhīm At-Tuwaijīrī, dengan tegas mengharamkan jual-beli organ tubuh manusia. Menurutnya, tindakan menjual organ tubuh dapat menyebabkan kerusakan fisik pada manusia. Namun, beliau memperbolehkan pemberian organ dalam keadaan darurat dengan imbalan tertentu, namun tidak diperbolehkan menerima pembayaran atas pemberian tersebut. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau memberikan organ tubuhnya kepada orang lain selama hidupnya karena dapat merusak tubuhnya dan mengalihkannya dari kewajiban agama.

«موسوعة الفقه الإسلامي – التويجري» (3/ 441):

«- حكم بيع أعضاء الإنسان:

1 – لا يجوز بيع العضو أو الجزء من الإنسان قبل الموت أو بعده، وإذا لم يحصل عليه المضطر إلا بثمن جاز الدفع للضرورة، وحَرُم على الآخذ.

وإن وهب العضو أو الجزء بعد الموت لأي مضطر، وأُعطي مكافأة عليها قبل الموت جاز له أخذها.

ولا يجوز للإنسان حال الحياة أن يبيع أو يهب عضواً من أعضائه لغيره؛ لما في ذلك من إفساد البدن، وتعطيله عن القيام بما فرض الله عليه، وتصرفه في ملك الغير بغير إذنه»

Dalam konteks permasalahan ini, perspektif lain juga disampaikan oleh seorang cendekiawan Islam kontemporer, al-Syeikh Wahbah al-Zuhaili. Menurut al-Syeikh Wahbah, barang yang dijual harus sesuai dengan syariat, yaitu harus berupa harta, dapat dimiliki, dan bernilai. Dia juga memberikan batasan kategori harta yang boleh dan sah diperjualbelikan, yaitu setiap benda yang memiliki nilai, dimiliki, bisa dikoleksi dan dapat dimanfaatkan dalam keadaan normal. Batasan tersebut mengecualikan sesuatu yang tidak bisa disebut mal (harta), seperti manusia merdeka, bangkai dan darah, dan juga mengecualikan setiap harta yang tidak bernilai, seperti khamr dan babi. Dari penjelasan al-Syeikh Wahbah di atas dapat dipahami bahwa organ-organ tubuh manusia (termasuk ginjal) tidak sah diperdagangkan karena bukan harta yang dimiliki, tidak bernilai (tidak bisa dikoleksi) dan tidak boleh dimanfaatkan secara syariat.

Berikut ini adalah redaksi yang memuat penjelasan al-Syeikh Wahbah al-Zuhaili di atas:

«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (4/ 3024):

«‌‌2 – ‌أن ‌يكون ‌المعقود ‌عليه ‌مشروعا ً:

‌يشترط ‌أن ‌يكون ‌محل ‌العقد ‌قابلاً ‌لحكمه ‌شرعاً، ‌باتفاق ‌الفقهاء (1)، بأن يكون مالاً مملوكاً متقوماً، فإن لم يكن كذلك، كان العقد عليه باطلاً، فبيع غير المال كالميتة والدم (2)، أو هبتها أو رهنها أو وقفها أو الوصية بها باطل؛ لأن غير المال لا يقبل التمليك أصلاً، وذبيحة الوثني والملحد والمجوسي والمرتد كالميتة.

ويبطل بيع غير المملوك أو هبته: وهو المباح للناس غير المحرز كالسمك في الماء والطير في الهواء والكلأ والحطب والتراب والحيوانات البرية أو الشيء المخصص للنفع العام كالطرقات والأنهار والجسور والقناطر العامة؛ لأنها غير مملوكة لشخص أو لا تقبل التملك الشخصي.

والتصرف بغير المتقوم باطل أيضاً: وهو ما لا يمكن ادخاره ولا الانتفاع به شرعاً، كالخمر والخنزير بين المسلمين»

«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (5/ 3321):

«‌‌2 – ‌أن ‌يكون ‌المبيع ‌مالاً ‌متقوماً: ‌والمال ‌عند ‌الحنفية ‌كما ‌عرفنا ‌سابقاً: ‌ما ‌يميل ‌إليه ‌الطبع ‌ويمكن ‌ادخاره ‌لوقت ‌الحاجة. وبعبارة أخرى: هو كل ما يمكن أن يملكه الإنسان وينتفع به على وجه معتاد. والأصح أنه هو كل عين ذات قيمة مادية بين الناس. والمتقوم: ما يمكن ادخاره مع إباحته شرعاً. وبعبارة أخرى: هو ماكان محرزاً فعلاً ويجوز الانتفاع به في حالة الاختيار (1)، فلا ينعقد بيع ما ليس بمال كالإنسان الحر والميتة والدم، ولا بيع مال غير متقوم كالخمر والخنزير في حق مسلم، ويجوز بيع آلات الملاهي عند أبي حنيفة لإمكان الانتفاع بالأدوات المركبة منها، وعند الصاحبين وبقية الأئمة: لا ينعقد بيع هذه الأشياء، لأنها معدة للفساد»

BACA JUGA :  Lemari Kayu

Dalam halaman yang lain, al-Syeikh Wahbah (yang serupa juga disampaikan oleh al-Syeikh Zakariyyā al-Anṣārī) menegaskan kembali keputusannya dengan pernyataan yang intinya melarang (mengharamkan) memanfaatkan organ tubuh manusia, termasuk organ tubuh yang paling remeh sekalipun, seperti rambut. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, sebagaimana disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an, “Sungguh Kami benar-benar telah memuliakan keturunan Adam” (al-Isrā’ [17]: 70.

Dalam pernyataan yang lain, al-Syeikh Wahbah tampaknya tidak memandang pendapatnya yang melarang praktik jual beli organ tubuh manusia sebagai sesuatu yang bersifat absolut. Ini berarti bahwa larangan tersebut hanya berlaku dalam keadaan normal atau biasa. Namun, dalam situasi darurat, al-Syeikh Wahbah mengizinkan praktik tersebut dengan merujuk pada kaidah Fikih “Kondisi darurat dapat melegalkan sesuatu yang pada awalnya dilarang”. Dalam konteks ini, ia menetapkan persyaratan teknis yang ketat, yaitu bahwa manfaat yang diharapkan dari proses tersebut harus lebih besar daripada kerugian yang mungkin timbul. Persyaratan tersebut mencakup penggantian organ yang hilang, pemulihan bentuk atau fungsi organ yang normal, perbaikan cacat, atau penanganan masalah kesehatan yang dapat menyebabkan kerusakan mental atau fisik pada individu. Melalui pandangan ini, al-Syeikh Wahbah secara tidak langsung mendukung pandangan para cendekiawan Fikih dari mazhab Hanabilah.

Berikut ini adalah redaksi yang memuat penjelasan di atas:

«أسنى المطالب في شرح روض الطالب» (1/ 173):

«(فرع وصل الشعر) من الآدمي (بشعر نجس، أو شعر آدمي حرام) مطلقا للخبر السابق وللتغرير وللتعرض للتهمة؛ ولأنه في الأول مستعمل للنجس العيني في بدنه كالإدهان بنجس والامتشاط بعاج مع رطوبة ‌وأما ‌في ‌الثاني ‌فلأنه ‌يحرم ‌الانتفاع ‌به ‌وبسائر ‌أجزاء ‌الآدمي ‌لكرامته»

«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (4/ 2680):

«‌ويحرم ‌كما ‌تقدم‌‌ ‌وصل ‌الشعر ‌بشعر ‌آدمي ‌آخر ‌على ‌الرجال والنساء الأيامى والمتزوجين، للتجمل وغيره، بلا خلاف، سواء كان شعر رجل أو امرأة، وسواء شعر المحرم والزوج وغيرهما بلا خلاف، لعموم الأدلة، ولأنه يحرم الانتفاع بشعر الآدمي وسائر أجزائه لكرامته، بل يدفن شعره وظفره وسائر أجزائه»

«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (7/ 5124):

«أولا: يجوز نقل العضو من مكان من جسم الإنسان إلى مكان آخر من جسمه، مع مراعاة التأكد من أن النفع المتوقع من هذه العملية أرجح من الضرر المترتب عليها، وبشرط أن يكون ذلك لإيجاد عضو مفقود أو لإعادة شكله أو وظيفته المعهودة له، أو لإصلاح عيب أو إزالة دمامة تسبب للشخص أذى نفسيا أو عضويا»

«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (4/ 3024):

«‌وأجاز ‌الحنابلة ‌بيع ‌أعضاء ‌الإنسان ‌كالعين وقطعة الجلد إذا كان ينتفع بها ليرقع بها جسم الآخر لضرورة الإحياء، وبناء عليه يجوز بيع الدم الآن للعمليات الجراحية للضرورة (راجع المغني: 260/ 4)»

Dalam konteks ini, pendapat yang mengharamkan jual-beli ginjal lebih sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika Islam. Hal ini diharapkan dapat mencegah praktik jual-beli gelap yang dapat menimbulkan berbagai masalah medis dan sosial. Oleh karena itu, perlunya regulasi yang ketat dan mengikat dalam mengatur praktik donor organ tubuh manusia untuk mencegah eksploitasi dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam problematika jual beli ginjal terdapat variasi pendapat di antara cendekiawan Fikih. Sebagian dari mereka mengeluarkan fatwa yang mengharamkan praktik tersebut, sementara yang lain mengijinkannya dengan syarat-syarat tertentu. Ulama yang menolak praktik ini beralasan bahwa ginjal tidak termasuk dalam kategori objek yang sah untuk diperdagangkan dan mereka mempertimbangkan kehormatan manusia. Sementara itu, para ulama yang membolehkannya merujuk pada prinsip Fikih bahwa “Dalam keadaan darurat, segala sesuatu yang terlarang dapat dilegalkan.”

  • Serangan Fajar (Money Politic)

“Serangan Fajar” (Money Politic) dalam pemilu di Indonesia adalah praktik yang sering kali muncul dan menjadi perhatian serius dalam proses demokrasi. “Serangan Fajar” dalam pemilu dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian uang tunai langsung kepada pemilih, janji-janji keuntungan atau kebijakan tertentu kepada pemilih atau partai politik, hingga penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik tertentu. Praktik “Serangan Fajar” dalam pemilu dapat merusak integritas proses demokrasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan. Hal ini juga dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam akses politik bagi calon yang tidak mampu memberikan suap atau tidak terlibat dalam praktik korupsi semacam itu.

BACA JUGA :  Kipet

Pemerintah dan lembaga pengawas pemilu di Indonesia, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berupaya untuk mencegah dan mengatasi praktik suap dalam pemilu melalui pengawasan yang ketat, penegakan hukum dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pemilu yang bersih dan jujur. Meskipun demikian, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengurangi dan membasmi praktik suap dalam konteks pemilihan umum di Indonesia.

Dalam kegiatan Musyawarah Kubro yang diselenggarakan pada malam Senin, 5 Maret 2024 di Pondok Pesantren Al-Anwar 3 yang dihadiri oleh para santri PP. Al-Anwar 3 dan asatiz PP. Al-Anwar 3 telah diputuskan bahwa praktik “Serangan Fajar” dalam deskripsi tersebut dikategorikan sebagai risywah (suap) yang memiliki konskuensi hukum haram kepada menerimanya. Ada tiga alasan utama di balik larangan praktik “Serangan Fajar”. Pertama, memberi atau menerima uang untuk memengaruhi suara dalam pemilihan umum merupakan bentuk risywah atau suap yang dilarang secara mutlak dalam Islam. Kedua, praktik politik uang, termasuk “Serangan Fajar” melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum yang mengancam sangsi pidana bagi pelanggarnya. Ketiga, politik uang dapat merusak sistem bernegara dan tatanan sosial.

Dalam Islam, risywah (suap) dianggap sebagai tindakan tercela yang bertentangan dengan keadilan. “Serangan Fajar”, sebagai contoh politik uang bertujuan untuk memengaruhi pemilih agar tidak memilih secara objektif. Hal ini merugikan karena pemilihan seharusnya didasarkan pada integritas dan kompetensi pemimpin, bukan pada hadiah atau imbalan yang diberikan saat kampanye. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami dan menghindari praktik serangan fajar serta politik uang lainnya demi menjaga integritas dan keadilan dalam proses demokrasi.

Referensi:


«نهاية الزين» (ص370):

«وَقبُول ‌الرِّشْوَة ‌حرَام ‌وَهِي ‌مَا ‌يبْذل ‌للْقَاضِي ‌ليحكم ‌بِغَيْر ‌الْحق ‌أَو ‌ليمتنع ‌من ‌الحكم ‌بِالْحَقِّ ‌وإعطاؤها كَذَلِك لِأَنَّهُ إِعَانَة على مَعْصِيّة أما لَو رشي ليحكم بِالْحَقِّ جَازَ الدّفع وَإِن كَانَ يحرم على القَاضِي الْأَخْذ على الحكم مُطلقًا أَي سَوَاء أعطي من بَيت المَال أم لَا»

«فتاوى السبكي» (1/ 204):

(الفصل الثاني في كلام العلماء) قال عمر بن عبد العزيز: كانت الهدية في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم هدية واليوم رشوة. وقال مسروق: إذا قبل القاضي الهدية أكل السحت، وإذا قبل الرشوة بلغت به الكفر.

وقال كعب: الرشوة تسفه الحليم وتعمي عين الحكيم.

وقال ابن عبد البر في الاستذكار: «كان النبي صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ويأكلها ويثيب عليها» إلا أن ذلك لا يجوز لغير النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان منه قبولها على جهة الاستبداد بها دون رعيته لأنه إنما أهدي ذلك من أجل أنه أمير رعيته، وليس النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك كغيره لأنه مخصوص بما أفاء الله عليه من غير قتال من أموال الكفر يكون له دون سائر الناس، ومن بعده من الأئمة حكمه في ذلك خلاف حكمه لا يكون له خاصة دون سائر الناس ومن بعده من الأئمة المسلمين بإجماع من العلماء لأنها فيء.

ولهذا قال صلى الله عليه وسلم: «هدايا الأمراء غلول» انتهى الإجماع الذي نقله ابن عبد البر، يرد على من يقول من المتأخرين بأنه يختص بها كما سنحكيه. وملخص كلام العلماء فيما يعطي الحكام الأئمة والأمراء والقضاة والولاة وسائر من ولي أمرا من أمور المسلمين أنه إما رشوة وإما هدية أما الرشوة فحرام بالإجماع على من يأخذها وعلى من يعطيها وسواء كان الأخذ لنفسه أو وكيلا وكذا المعطي سواء أكان عن نفسه أو وكيلا، ويجب ردها على صاحبها ولا تجعل في بيت المال إلا إذا جهل مالكها فتكون كالمال الضائع، وفي احتمال لبعض متأخري الفقهاء أنها تجعل في بيت المال؛ والمراد بالرشوة التي ذكرناها ما يعطى لدفع حق أو لتحصيل باطل وإن أعطيت للتوصل إلى الحكم بحق فالتحريم على من يأخذها كذلك، وأما من لم يعطها فإن لم يقدر على الوصول إلى حقه إلا بذلك جاز وإن قدر إلى الوصول إليه بدونه لم يجز.

وهكذا حكم ما يعطى على الولايات والمناصب يحرم على الآخذ مطلقا ويفصل في الدافع على ما بينا

Autor: Sub. Musyawarah MDT al-Anwar 3

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *