Beranda > Keilmuan Islam > Teori Khidmah Nabi Musa Terhadap Ilmu Perspektif Gus Ghofur

Teori Khidmah Nabi Musa Terhadap Ilmu Perspektif Gus Ghofur

Menuntut ilmu bukanlah hal yang mudah. Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh para penuntut ilmu atau santri. Sebagaimana disebutkan Gus Ghofur bahwa menuntut ilmu itu repot. Repotnya santri dalam menimba ilmu ini disebutkan Gus Ghofur seperti repotnya Nabi Musa ketika berguru kepada Nabi Khidir. Para ulama terdahulu seperti Imam Bukhari dan lain sebagainya telah meniru perjalanan Nabi Musa menuju Nabi Khidir yang memakan waktu lama, jauh dan repot dalam menimba ilmu.

Teori Khidmah Nabi Musa

Kisah petualangan Nabi Musa menuju Nabi Khidir banyak ibrah yang bisa diambil. Kisah tersebut diabadikan Allah dalam al-Qur`an tepatnya dalam surah Al-Kahfi Ayat 60-82. Terdapat suatu riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW menceritakan kisah Nabi Musa yang berpidato di hadapan Bani Israil dengan mengatakan bahwa ia adalah orang yang banyak ilmunya. Kala itu Nabi Musa tidak menyandarkan ilmu yang dimilikinya dari Allah. Allah menegur Nabi Musa dengan mewahyukan bahwa terdapat hambaNya yang lebih berilmu dari Nabi Musa. Nabi Musa pun berkeinginan untuk menimba ilmu kepada hamba yang dimaksud Allah. Hamba yang dimaksud Allah adalah Nabi Khidir.

Perjalanan untuk bisa bertemu dengan Nabi Khidir tidaklah gampang. Disebutkan bahwa Nabi Khidir berada di pertemauan dua laut. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Kahfi Ayat 60 bahwa menuju Nabi Khidir sangatlah repot dan membutuhkan waktu yang lama namun hal tersebut tidaklah memadamkan semangat Nabi Musa. Meski dalam Al-Kahfi Ayat 62 menunjukkan Nabi Musa lelah dan letih, namun Rasulullah menjelaskan bahwa karna semangat Nabi Musa yang ingin belajar kepada Nabi Khidir mengalahkan rasa letihnya sehingga pada akhirnya Nabi Musa bertemulah dengan Nabi Khidir.

BACA JUGA :  Masjid Al-Kuu’; Yang Tersisa dari Perjalanan Umrah

Hal inilah yang dianalogikan Gus Ghofur terhadap para pencari ilmu di masa silam hingga kini. Sejauh apapun perjalanannya, serumit apapun prosesnya akan dihadapi para penuntut ilmu. Semangat yang dimiliki penuntut ilmu mengalahkan lelahnya proses.

Selanjutnya sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Kahfi Ayat  69 bahwa Nabi Musa telah berniat sabar dan akan menurut kepada Nabi Khidir sebagai sang guru. Meski dalam perjalanannya hal-hal yang dilakukan Nabi Khidir tidak sesuai dengan Nabi Musa dan membuatnya protes, namun Nabi Musa mencoba sabar dan terus menuruti perkataan Nabi Khidir. Hal ini mengajarkan bahwa seorang guru memiliki maksud tertentu yang tentunya baik  meski dihadapan muridnya terlihat tidak wajar. Sebagai seorang murid ataupun santri diajarkan tetap sabar untuk mengikuti dan melaksanakan perintah sang guru.

Gus Ghofur menyebutkan kalimat yang disampaikan Nabi Musa adalah هَلْ أَتَّبِعُكَ “saya datang ingin berkhidmah”. Belajar dengan khidmah harus beriringan. Gus Ghofur menyebutkan bahwa Nabi Musa khidmahnya yang didahulukan. Khidmah bermacam-macam, bagi santri bisa dengan khidmah kepada pondok, roan, khidmah kepada temannya dan lain sebagainya. Ibrah dari bertemunya Nabi Musa dan Nabi Khidir setidaknya walaupun keilmuan mereka berbeda tetapi mereka bisa saling memahami. Nabi Musa ketika belajar kepada Nabi Khidir pengikutnya (umat) telah banyak. Jika ditilik latar sosial antara Nabi Musa dan Nabi Khidir tentu derajatnya masih tinggi Nabi Musa. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang Nabi Musa untuk belajar kepada orang yang derajatnya lebih rendah. Gus Ghofur menyatakan bahwa orang itu sudah bisa merasakan nikmatnya ilmu jika dia belajar kepada muridnya. Gus Ghofur menjelaskan bahwa untuk menjadi manusia cerdas (intelektual) semua butuh proses, tidak bisa dengan cara instan. Sebagaimana kisah Nabi Musa yang belajar kepada Nabi Khidir banyak tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu.

BACA JUGA :  Keunikan Islam Nusantara dalam Buku “Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan”

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terekam dalam surah Al-Kahfi juga menjelaskan bahwa walaupun ilmu manusia luas paling pintar di antara yang lain, bagi Allah hanyalah layaknya air laut yang berada di paruh burung. Jadi perbandingannya sangat jauh, ilmu manusia tidak seluas ilmu Allah. Ilmu yang dimiliki manusia hanyalah titipan Allah semata. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dilarang sombong atas ilmu yang dimilikinya.

Oleh : Uta Panandang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *