Beranda > Keilmuan Islam > Tauladan Hamba dalam Diri Ummu Mihjan

Tauladan Hamba dalam Diri Ummu Mihjan

Oleh : K.H. Abdul Ghofur Maimoen

Nabi kita adalah sosok nabi yang terus menerus berupaya memposisikan diri sebagai seorang “hamba”. Salah satu alasan utamanya barangkali adalah beliau disebut sebagai seorang hamba, abdun, saat menjadi manusia paripurna, insān kāmil. Yakni saat ia melakukan perjalan ke Baitul Maqdis, lalu melesat ke Sidratul Muntahā memenuhi penggilan Tuhannya.

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله

Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan, Jibril (turun) kepada Nabi Saw. dan duduk bersamanya. Ia (Nabi Muhammad Saw.) lalu melihat ke arah langit, ternyata di sana ada seorang malaikat. Kata Jibril, “Malaikat ini tidak pernah turun sejak hari ia diciptakan.” Ketika telah turun, ia mengatakan, “Wahai Muhammad, Tuhanmu mengutusku kepadamu (untuk menawarkan) apakah Dia menjadikanmu sebagai seorang raja ataukah seorang hamba yang rasul.” Jibril memberi masukan, “Bertawadhuk lah kepada Tuhanmu, wahai Muhammad!” Ia (Nabi Muhammad saw.) pun menjawab, “(saya memilih menjadi) seorang hamba yang rasul.”

Nabi menjalani hidup yang berat, tapi beliau melakoninya dengan riang gembira—sepenuh ridha dan qana’ah. Beliau tampak sangat menikmati hidup bersama kalangan “hamba-hamba.” Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu mengatakan, “Saya letih!” Rasul mengutus (utusan) ke salat satu istrinya. Kata istrinya, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan haqq, saya hanya punya air!” Rasul lalu mengutus ke istrinya yang lain, dan jawabannya sama. Demikian pula jawaban semua istri-istri Rasul: “Tidak (punya apa-apa), demi Dzat yang mengutusmu dengan haqq, saya tidak punya (apa-apa) selain air. Rasul kemudian berkata (kepada para sahabatnya), “Siapa yang bisa menjamu (lelaki) ini di malam ini—semoga Allah merahmatinya?” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berdiri, lalu mengatakan, “Saya, wahai Rasulallah!”.

BACA JUGA :  Ridha dan Qona'ah di Masa Pandemi*

Di Madinah hidup seorang perempuan miskin berkulit hitam. Sangat kelihatan, bahwa ia dari kalangan lemah. Ibn Ḥajar (dalam al-Iṣābah) dan Ibn Aṡīr (dalam Usud al-Ġābah) tak menyebutkan nasabnya. Keduanya hanya menyebut “perempuan berkulit hitam.” Bahkan, namanya pun tak dikenal. Ada sumber yang menyebutnya dengan Miḥjanah atau Ummu Miḥjan. Kesibukannya adalah menyapu dan mengumpulkan sampah-sampah Masjid. Kita barangkali bisa menyimpulkan, ia bukanlah siapa-siapa, juga bukan apa-apa. Akan tetapi, tidak demikan pandangan Rasulullah Saw. kepadanya.

Suatu hari, ia sakit. Rasulullah Saw. menanyakan kabarnya dan berpesan, ”Kalau dia wafat, jangan menguburnya sampai saya menyalatinya.”[1] Beberapa hari tak muncul di Masjid[2], beliau pada suatu pagi menanyakan kembali tentang dia. Para sahabat menjawab, ia telah wafat malam itu. Rasul tampak tak berkenan. Perempuan yang bukan siapa-siapa itu ternyata kelihatan begitu penting bagi beliau. “Mbok yaho .. kamu sekalian mengabariku!” kata Rasulullah Saw. Para sahabat itu menyampaikan, ia telah dikubur di Baqī’ al-Ġarqad. Perempuan yang tinggal di ‘Awālī al-Madīnah itu telah dibawa ke Madinah usai salat ‘Atamah (salat Isyak), saat Baginda Rasul telah istirahat tidur. Mereka segan untuk membangunkan beliau. Mereka menyalatinya lalu menguburkannya di Baqī’ al-Ġarqad.

BACA JUGA :  MENGENAL TAFSIR AL-QUR’AN AL-ADZĪM (TAFSIR JALĀLAYN)

Rasulullah Saw. berangkat ke Al-Baqī’ diikuti oleh para sahabat. Mereka menunjukkan kepada beliau tempat ia dikubur. Rasulullah berdiri di depan. Para sahabat berbaris di belakangnya. Beliau menyalatinya dengan empat takbir.

كم من مغمور في الأرض مشهور في السماء

Banyak orang yang tak dikenal di dunia ini, tapi mereka sangat masyhur di langit sana. Tampaknya, Ummu Miḥjan adalah salah satunya.

==

Semoga kita dan keluarga kita semua terkenal di langit sana.

[1] Lihat riwayat An-Nasā`ī

[2] Lihat riwayat Abū Asy-Syaikh al-Aṣfahāni dalam Ṭabaqat al-Muḥaddiṡīn bi Aṣfahān.

Tulisan ini dinukil dari unggahan facebook K.H. Abdul Ghofur Maimun https://www.facebook.com/photo/?fbid=10223541136057086&set=a.1175377825181

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *