Beranda > Keilmuan Islam > SERTIFIKASI PERNIKAHAN; MANFAAT DAN MADARAT

SERTIFIKASI PERNIKAHAN; MANFAAT DAN MADARAT

Bagian dari fitrah yang selalu melekat pada diri setiap manusia adalah terjaminnya kebahagiaan dengan berdampingan dengan sesama manusia yang dicintainya. Satu sama lain manusia memiliki sebuah keterikatan batin yang sulit untuk dijelaskan secara lisan, ikatan itu yang akan terus membawa manusia untuk selalu membutuhkan kepada yang lain, terkadang bukan karena keterpaksaan, tetapi karena memang naluri yang menghantarkan manusia, bahwa hidup berdampingan bersama teman atau sanak kerabat adalah hal yang sangat nyaman, terlebih kepada orang yang dicintainya. Fitrah ini akan terus membawa siapapun untuk membimbing jalan hidupnya, setidaknya jalan hidup agar merasa tetap nyaman dan bahagia, entah dimanapun tempatnya. Dan pada dasarnya pula, Islam selalu memiliki sisi dimana dia akan selalu selaras dengan naluri manusia. Salah satu ajaran Islam yang tidak bertentangan dengan naluri manusia adalah menikah.

Menikah dalam Islam

Islam sebagai agama yang penuh rahmat, memiliki shari’at yang mengurusi persoalan ini. Bahkan Islam sangat menganjurkan bagi seseorang yang sudah siap untuk menikah, sebaiknya menikah saja, selagi segala keperluan yang dibutuhkan sudah terpenuhi. Salah satu alasan mengapa Islam sangat menganjurkan pernikahan adalah untuk mencegah terjadinya perbuatan asusila, zina. Perbuatan yang sangat dikecam oleh agama Islam ini, – bahkan bagi hampir seluruh etika sosial manusia – memiliki dampak negatif yang sangat merugikan bagi pelakunya. Bagian dari dampak negatif yang timbul dari zina adalah rusaknya silkus nasab dan merosotnya martabat seseorang sebagai manusia berakal dalam lingkungan hidupnya.

Dalam agama Islam, menikah menjadi salah satu hal yang paling dierhatikan, sehingga dalam literatur-litratur buku Fiqh, terdapat satu bab khusus yang membahas persoalan menikah. Hal demikian tidaklah mengherankan, karena memang dari al-Qur’an maupun hadith, jauh jauh hari sudah banyak membicarakan persoalan menikah, lihat semisal pada QS. An-Nisa’ : 3, QS. An-Nur : 32. Begitu pula dalam literatur hadith, seperti yang ada pada hadith yang dikeluarkan oleh al-Bayhaqi dalam sunannya, kurang lebih memiliki arti, “barang siapa yang mencintai fitrahku, maka jalankanlah sunnahku. Diantara sunnah ku adalah menikah”. Dengan begitu nikah memiliki makna sakral tersendiri dalam agama Islam.

Nikah memiliki nilai hukum asli sunnah, artinya dia baik untuk dilakukan, dengan tidak mengikat orang lain untuk harus melakukannya. Hal ini dikarenakan karena nikah memiliki fitrah yang dimiliki oleh semua orang. Namun nikah bisa memiliki hukum makruh, jika seseorang tidak mampu untuk menjalaninya meskipun dia sudah menginginkan untuk menikah. Atau nikah bahkan bisa mejadi wajib, jika si calon mempelai dikhawatirkan kalau tidak menikah dia akan melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, zina contohnya. Sehingga hukum mengenai menikah menjadi beraneka ragam, mengikuti situasi yang mengitarinya.

Karena nikah memiliki unsur sosial yang cukup melekat, negara Indonesia sebagai negara kesatuan dan persatuan sangat memperhatikan persoalan menikah. Sehingga banyak keputusan-keputusan yang diluncurkan demi mengawal pernikahan ini menjadi lebih baik dan kedepannya menciptakan generasi dan kerukunan Negara Indonesia.

Munculnya Sertifikasi Nikah dan Pertimbangan Manfaaatnya

Indonesia sebagai negara yang sangat memperhatikan kesatuan dan persatuan, sekaligus sangta peduli pada kasih sayang satu sama lain, memiliki sejumlah aturan yang dengan itu diharapkan rakyatnya hidup dalam ketentraman dan kenyamanan. Berbagai kebijakan dari pemerintah terus diperbarui dan disesuaikan dengan konteks masyarakat seiring berjalannya pola kehidupan dari hari ke hari. Salah satu kebijakan yang akan diluncurkan diantaranya adalah mengenai sertifikasi menikah. Berdasarkan beberapa data terkait, progam ini sudah direncanakan dan akan diterapkan pada tahun 2020.

Salah satu sosok yang memiliki peran besar dari progam ini adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), bapak Muhadjjir Effendy. Dalam gagasannya pada Rabu 13 November 2019, beliau mendorong untuk adanya sertifikasi pernikahan untuk calon pengantin baru yang rencananya – pada saat itu – akan diterapkan pada 2020. Salah satu alasan yang menjadikan beliau yakin mengenai sertifikasi, bahkan mengatakan akan menjadikan hal ini sebagai syarat wajib pernikahan secara masif, adalah untuk meringankan angka perceraian di Indonesia dengan cara memberikan pengajaran mengenai materi pernikahan kepada calon pengantin selama kurang lebih 3 bulan. Meskipun banyak pihak yang mengatakan sertifikasi ini sifatnya tidak wajib, namun bapak Menko PMK sempat mengatakan “jika belum lulus mengikuti pembekalan, maka tidak boleh menikah”. Kalimat ini kemudian yang menimbulkan banyak kontroversi dari berbagai kalangan.

BACA JUGA :  HARI GURU NASIONAL DAN BENTUK PENGHORMATAN PADA ULAMA

Tujuan dari sertifikasi ini, – menurut Menko PMK – adalah untuk membekali pengetahuan secara konprehensif kepada calon mempelai mulai dari kesehatan reproduksi, pencegahan terhadap berbagai macam penyakit, hingga persiapan kehamilan dan cara merawat anak. Semua kebutuhan ini, masih menurut Menko PMK, sangat perlu diketahui oleh setiap orang sebelum dia menikah atau lebih tepatnya yang hendak menikah, sehingga kedepannya diperkirakan akan mampu mengurangi angka perceraian di Indonesia dan juga untuk menjaga manusia Indonesia seutuhnya, bebas dari stunting, cacat, dan seterusnya.

Selain menegaskan berbagai macam manfaat dari sertifikasi pernikahan dan pelatihan – pembekalan pra nikah, pihak terkait yang menangani hal ini mengatakan kalau progam ini akan diberlakukan bagi siapapun orangnya yang hendak menikah, apapun agamanya. Sehingga ini berlaku secara masif, dan bahkan wajib. Samapai-sampai Menko PMK mengatakan jika pelatihan pra nikah ini belum lulus, calon mempelai tidak diperkenankan untuk menikah. Karena bagi beliau, pelatihan pra nikah ini sangat penting dilakukan dan dibekalkan oleh setiap calon mempelai.

Pertimbangan Madharat

Islam sangat menekankan nilai-nilai kemaslahatan bagi setiap pemeluknya. Sehingga dengan maslahat tersebut, setiap muslim akan merasakan kehidupan yang baik dan penuh dengan kemanfaatan di dunia maupun di akhirat. Setiap orang sepakat menganai bahwa hidup dengan kebahagiaan dan tidak diselimuti dengan kesulitan bahkan kesengsaraan adalah hidup yang di idam idamkan oleh siapapun. Seseorang yang terganggu dalam hidupnya, paling tidak merasakan bahwa dirinya dan keluarganya tidak nyaman, akan berusaha dengan segenap usaha menghindari ketidak nyamanan tersebut. Dan dalam prespektif Islam, rasa nyaman ataupun kebahagiaan dapat ditentukan selagi didalamnya tidak mengandung dosa. Oleh karena itu, suatu ketika Nabi dihadapkan dengan dua hal yang berbeda, kemudian Nabi memilih sesuatu yang mudah dilakukan selagi tidak mengandung dosa. Dalam hadith :

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا موسى بن داود قال انا مالك عن بن شهاب عن عروة عن عائشة قالت : ما خير رسول الله صلى الله عليه و سلم بين أمرين الا اختار ايسرهما ما لم يكن إثما فان كان إثما كان ابعد الناس منه. (رواه أحمد بن حنبل في مسنده)

Sayyidah ‘Aisyah pernah berkata : Rasulullah tidaklah disuruh memilih diantara dua hal kacuali beliau memilih mana yang paling ringan untuk dijalankan dari keduanya selagi tidak mengandung dosa. Jika terdapat dosa (dan seseorang tetap menjalankannya), maka dia adalah orang yang sangat jauh dari Rasulullah.

Hadith ini memiliki status sanad yang sahih. Setidaknya mampu memberikan pemahaman kepada kita, betapa hal yang mudah adalah salah satu hal yang begitu ditekankan oleh Islam. Mudah disini dalam artian selama bisa dikerjakan dengan enjoy dan tetap dalam koredor aturan Islam yang telah disepakati oleh para ulama’. Oleh karena itu, hal yang bernilai dosa akan tetap di hindari Rasulullah, untuk tidak membiarkan umatnya menerjang hal yang dinilai mudah sampai-sampai lupa melihat substansi dari hal tersebut yang sebenarnya mengandung dosa jika dilakukan.

BACA JUGA :  Epistemologi Hijrah

Dengan berbagai dalih agama yang menekankan untuk memilih jalan yang mudah agar terciptanya sebuah kemaslahatan manusia, secara tidak langsung pertimbangan-pertimbangan yang dinilai memberatkan bagi manusia akan di akhirkan. karena didalamnya memiliki unsur memberatkan sekaligus kurang efektif dalam menciptakan suasana kondusif.

Jika sertifikasi pernikahan ini memiliki berbagai macam bentuk manfaat sebagai mana yang teah dibahas, bisa dipastikan itu semua adalah perkiran berdasarkan data-data pengalaman yang telah terekam selama ini. Secara perkiraan, manfaat yang ditimbulkan akan cukup baik bagi manusia. Adapun kekhawatiran jika tidak diterapkan sistem sertifikasi secara wajib demikain, adalah timbulnya angka perceraian yang semakin marak di Indonesaia.

Meski demikian, bukan berarti setiap kebijakan tidak memiliki kelemahan. Semua hal, bagaimanapun itu, selama demikian adalah buatan manusia, akan terus mengalami kekurangan dan kelemahan. Begitu juga dengan progam sertifikasi secara wajib tersebut. Dampak yang akan ditimbulkan dari kewajiban mengikuti sertifikasi justru akan semakin berbahaya jika dibanding dengan angka perceraian yang ditimbulkan jika tidak diadakan progam sertifikasi.

Banyak kalangan yang menilai, keharusan sertifikasi ini menciptakan kerumitan dalam pernikahan. Pernikahan yang sebelumnya dinilai sebagai sarana untuk menciptakan keharmonisan, kemudian muncul aturan baru yang banyak menuai kontra, bahkan tidak sedikit yang menyatakan hal tersebut adalah bentuk kerumitan dan hal yang cukup mengganggu dalam perjalanan pernikahan seseorang, karena pernikahan yang seharusnya dapat dijalankan dengan lancar dengan berbagai syarat-syarat kecil, tiba-tiba menjadi timbul semacam dinding besar menghalangi untuk menuju jalan pernikahan.

Jika kerumitan demi kerumitan ini semakin dirasakan oleh banyak kalangan, dampak mengerikan yang akan timbul adalah enggannya mengurusi persyaratan demi persyaratan, seperti sertifikasi dan berbagai pelatihan yang lamanya selama tiga bulan. Jika seseorang sudah enggan mengaitkan diri dengan urusan yang dianggap rumit, dan pernikahan tidak terjalin, perbuatan nekat dari seseorang yang sudah mencapai umur dan waktunya untuk menikah pun sangat mungkin terjadi. Dampak seperti putus asa, perzinaan, hingga bunuh diri akan sangat di mungkinkan terjadi jika benar-benar pernikahan itu dianggap rumit dengan hadirnya berbagai macam persyaratan. Bukankan madharat dari perceraian (perkiraan dampak jika tidak adanya sertifikasi dan pelatihan pra nikah) dan perzinaan (sebagai perkiraan dampak putus asa karena sulitnya persyaratan nikah) lebih besar perzinaan?

Karena terjadinya perkiraan manfaat dan perkiraan madharat dalam progam sertifikasi menikah ini masing-masing bisa dimungkinkan terjadi, tentu yang timbul pertanyaan selanjutnya adalah, mana yang harus didahulukan dari keduanya, mengambil kemanfaatan ataukan mencegah kemadharatan ? jika mendahulukan mengambil manfaat akan mampu menciptakan maslahat, namun kita tidak dapat melupakan madharat yang akan timbul belakangan. Dan jika mendahulukan mencegah kemadharatan, hal yang akan dipetik belakangan adalah manfaat. Maka untuk menjawab pertanyaan ini, kaidah Fiqh mengatakan :

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

Mencegah mafsadat (suatu keburukan) mesti lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.

Salah satu alasan mengapa yang harus didahulukan adalah mecegah terjadinya mafsadat atau madharat dari pada mengambil maslahat, karena jika madharat tersebut sudah teratasi, atau setidaknya diminimalisir, maka kemudian yang akan timbul belakangan adalah maslahat. Jika pertimbangan madharat terbesar adalah perzinaan, maka yang didahulukan adalah mencegah supaya perzinaan tersebut tidak terjadi.

Referensi

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Abbadi, Idhah al-Qaa’id al-Fiqhiyah

Syamsuddin Muhammad bin Khatib as-Shirbini, Mughni al-Muhtaj

Muhammad az-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i

Al-Bayhaqi, Sunan al-Bayhaqi

Wacana Sertifikasi Pernikahan, dalam file:///data/data/com.opera.mini.native/files/savedpages/a7520ad5-dbb3-4cfc-9325-c5c674c13836.mht

Sertifikasi Pernikahan, dalam https://tirto.id/sertifikasi-pernikahan-bukan-syarat-wajib-bagi-calon-pengantin-elX8

Penulis: Bayu Narimo.

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *