Beranda > Senggang > Cerpen Santri > Halaqah Iman

Halaqah Iman

IMAN

“Hei, apa yang akan engkau jawab ketika ditanya tentang kepada siapa engkau mencinta?.” Tanya Kosong.

“Aku mencintai Tuhanku.” Jawab Penuh.

“Kenapa engkau jawab seperti itu?.” Kosong Kembali bertanya.

“Baiklah, aku ceritakan sebuah kisah, lalu kita ambil ibrahnya bersama.” Ucap Penuh seraya bersiap untuk menceritakan suatu kisah.

Malam itu, Penuh menceritakan apa yang pernah ia ketahui. Ia menceritakan apa yang telah mengubah hidup, mengubah makna cinta dan mengubah kata paksa menjadi rida.

Hari itu, saat langit memancarkan cahaya jingga, pertanda bahwa gelap akan menerpa. Sore itu, Hamba sangat bersemangat, ia terlihat sangat serius menyimak apa yang disampaikan oleh Kyainya. “Bahasa al-Qur`an sangat bermajaz dan inilah yang membuat pembaca menjadi lebih tersentuh,” Ungkap sang Kyai.

“Wow, betapa indahnya al-Qur`an, ia menyentuh tanpa menyentuh, mengungkap tanpa mengungkap.” Ucap Hamba di sela-sela ngaji.

Sang Kyai menerangkan bahwa orang kafir tidak memahami cinta dengan baik. Mereka menyembah berhala dengan alasan bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Pemahaman ini tidaklah benar, lalu turunlah ayat 30 ini, yang menjelaskan bahwa untuk mencintai Tuhan maka ikutilah aku (Muhammad) dan Allah akan mencintai kalian.

BACA JUGA :  ANTARA KHUSYU’ DAN JAMA’AH

Kemudian Kyai memberikan pengertian dari kata cinta. Menurutnya, cinta merupakan satu emosi yang timbul dari hati seseorang sebab menemukan sesuatu yang baik darinya. Ketika cinta tumbuh dalam diri maka akan menimbulkan keterikatan. Ia akan melakukan apapun demi yang dicintainya. Dan ia juga akan merasakan kebahagiaan yang besar ketika bertemu dengan yang dicinta.

Contoh saja, bayangkan engkau yang menjadi subjek yaitu si pecinta. Ketika kamu bertemu dengan seseorang yang kamu cintai maka sudah pasti rasa bahagia menjalar dalam dirimu dan senyum akan selalu terpancar pada wajahmu. Begitu juga ketika kamu mencintai Tuhanmu, kamu akan merasakan kenikmatan dan kesenangan ketika bertemu dengan-Nya. Namun, walaupun banyak yang mengaku sudah mencintai Tuhan, mereka belum merasakan manisnya pertemuan.

“Lantas, apa maksud dari bertemu dengan-Nya? dan bagaimana agar dapat merasakan rasa manis tersebut?,” Hamba bertanya-tanya dalam pikirannya.

Penjelasan masih berlanjut, dan jawaban pertanyaan Hamba datang di keterangan selanjutnya. Mungkin, ia tidak bersabar untuk tahu, atau itu hanya pikiran yang mengalir secara tiba-tiba (spontanitas).

Ada banyak sekali jalan yang bisa ditempuh untuk bertemu dengan Tuhan. Di antaranya, sering mensyukuri diri, rihlah dan tadabbur alam. Kita diharuskan untuk mensyukuri diri dalam setiap kondisi. Ketika kita sedang berada dalam kesusahan, maka lihatlah berapa banyak kebaikan yang telah Allah berikan. Ketika kita sedang tidak sehat, maka ingatlah bahwa sakitmu lebih sedikit dari sehat yang Allah berikan.

BACA JUGA :  Istighfar, Resep Mujarab Menjadi Generasi Bangsa Berakhlaqul Karimah

Kedua, rihlah dan tadabbur alam. Lihatlah alam sekitarmu, apa yang ada di atasmu, apa yang ada di sisi kananmu dan sisi kirimu lalu berpikir bahwa Tuhanlah yang menciptakan semua itu. Maka, ketika kamu sudah mengerti bahwa alam adalah manifestasi Tuhan, kamu akan menemukan Allah di sana dan kamu akan merasakan kenikmatan iman yang luar biasa.

Subhanallah, subhanallah, subhanallah”, puji Hamba kepada Allah. Ia tak pernah mendengar penjelasan ini sebelumnya. Ia berjanji akan menyimpannya di dalam hati hingga seseorang membutuhkannya, lalu berbagi.

“Kala itu aku berpikir jika aku tidak bertembu Hamba, hati akan kosong selamanya. Hingga suatu hari, saat aku merasa putus asa mencari Tuhan, ia datang, ia datang dengan kalimat indah, kalimat yang sangat menyentuh. Kalimat yang berhasil mengubah kepercayanku akan Tuhan. Kau, jika engkau bertemu dengan Hamba, sampaikan salamku padanya bahwa “terimakasih, engkau telah membuatku ada”. Ucap Penuh kepada Kosong.

Kosong terdiam seraya mengangguk, mengiyakan bahwa ia akan menyampaikan salam itu kepada Hamba, entah kapan.

R. Afsheen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *