Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan yang memang Allah kehendaki pada ciptaan-Nya. Tak terkecuali pluralitas yang juga melekat pada dinding negara ini sebagai label dari realita Nusantara yang tersusun dari beberapa subtansi. Pluralitas Indonesia tidak hanya mencakup satu hal. Ia terbagi ke beberapa elemen seperti agama, bahasa, budaya, suku dan ras. Di bawah masing-masing elemen itu hidup beragam kelompok secara berdampingan.
Keanekaragaman budaya, misalnya, yang dipadu dengan keterpisahan geografik sebagai ruang hidupnya, menjadikan bangsa ini sebagai satu-satunya bangsa dengan tingkat keunikan tertinggi. Namun sangat disayangkan, realita ini membawa kehidupan bangsa selalu berada di ujung tanduk konflik. Bagaimana pun, sejarah mencatat bahwa sebuah perbedaan sejatinya memang sangat berpotensi melahirkan konflik.
Tepat pada titik ini, sekarang kita memasuki bulan Oktober. Bulan yang dikenal dengan bulan sejuta peristiwa sejarah, terkhusus peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia selama ini. Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia adalah Sumpah Pemuda. Peristiwa ini lahir tepat pada 28 Oktober 1928 silam di Jakarta. Sumpah ini lahir atas semangat jiwa patriotisme para pemuda Indonesia untuk menggugah rasa kebangsaan dan rasa persatuan di tengah tamsil keberagaman yang ada.
Sumpah pemuda lahir juga tidak terlepas dari semangat juang para pemuda untuk membawa Indonesia ke pintu kemerdekaannya. Pemuda-pemuda Indonesia kala itu bersatu-tekad untuk mencapai kemerdekaan, dan hasilnya terbukti ketika 17 tahun lamanya, Indonesia benar-benar sampai di pintu kemerdekaannya dengan tidak menafikan kontribusi pemuda-pemuda kala itu.
Salah satu bukti konkret sejarah terlibatnya pemuda dalam usaha menjemput kemerdekaan Indonesia yaitu ketika terjadinya peristiwa menegangkan 16 Agustus 1945, tepat satu hari sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan. Peristiwa menegangkan ini dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa penculikan kepada dua tokoh penting Indonesia dilakukan oleh tiga orang pemuda bernama Soekarni, Chaerul Saleh dan Wikana. Tiga pemuda inilah yang menjadi dalang atas penculikan yang dilakukan kepada Soekarno dan Hatta waktu itu.
Peristiwa Rengasdengklok atau penculikan yang dilakuan oleh tiga orang pemuda tersebut tidak lain sebagai upaya untuk menjauhkan Soekarno dan Hatta pengaruh-pengaruh Jepang yang mengalami hambatan dan pukulan hebat kala itu. Mereka tiga orang pemuda, kemudian mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera membacakan teks proklamasi kemerdekaan pada keesokan harinya tepat 17 Agustus 1945.
Peristiwa Rengasdengklok menjadi bukti nyata di mana pemuda memiliki peran krusial terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo silam. Ini menunjukkan, betapa semangat patriotisme dan persatuan yang diwujudkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bisa memberikan efek luar biasa dibuktikan dengan keikutsertaan pemuda-pemuda dalam usaha kemerdekaan Indonesia.
Almaghfurlah KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) dalam beberapa kesempatan selalu menegaskan bahwa pemuda harus bisa menjadi pemuda sebagaimana pemuda yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: “Syubban al-Yaum Rijal al-Ghad” (bahwa pemuda hari ini adalah penerus hari esok, atau dalam esensi lain, pemuda hari ini menjadi cermin akan peradaban sebuah bangsa nanti).
Hal ini secara tidak langsung menjadi tantangan tersendiri untuk pemuda-pemuda Indonesia sekarang akan tanggung jawab besar yang harus diemban bersama untuk membentuk sebuah bangsa yang bermartabat. Artinya, masa depan sebuah bangsa akan ditentukan dan tercermin dari para pemuda yang ada di bangsa itu sendiri. Ini juga menunjukkan, betapa pemuda harus menjadi peran utama juga tolok ukur bagi peradaban sebuah bangsa.
Kini, setelah 95 tahun lamanya sumpah itu tertancap kuat di dalam jiwa dan hati sanubari pemuda-pemuda Indonesia, kita semua sebagai pemuda masa kini harus bisa merawat utuh sumpah itu di tengah tamsil keberagaman tanpa menyematkan kata “kalau perlu”. Artinya, Indonesia sebagai negara dengan karakteristik plural menjadi tantangan tersendiri untuk pemuda-pemuda masa kini. Peran dan tantangan inilah yang akan membedakan antara pemuda hari kemarin (masa lalu) dan pemuda hari sekarang (esok).
Indonesia sebagai karakteristiknya yang plural, tak ubahnya sebuah pohon yang memiliki beberapa cabang dan ranting yang indah. Sungguh sangat disayangkan jika salah satu ranting menjalar ke ranting yang lain merusak tatanan yang sebelumnya sudah benar dan elok. Burung pun enggan untuk singgah, apakah ini yang dinamakan bangsa yang sejahtera? Perumpamaan itu tidak lain sebagai upaya untuk merepresentasikan pluraritas atau kemajemukan Indonesia.
Karena itu, melalui momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda bisa dijadikan titik balik bagi pemuda sekarang agar menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan segala problematika yang melanda bangsa ini. Dengan jiwa patriotisme yang tertancap dalam hati, pemuda hari ini harus bisa menciptakan bangsa dengan semangat persatuan yang benar-benar satu: “Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Tanpa memandang agama, bahasa, suku dan ras. Selamat Hari Sumpah Pemuda, Bersama Majukan Indonesia!