Fardhu ‘ain dan fardhu kifayah sama-sama merupakan kewajiban. Itu artinya, keduanya adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Imam al-Ghazali melalui kitabnya Ihya’ Ulumuddin juga memberikan penjelasan khusus terkait letak pembeda antara kedua kewajiban itu. Di mana menurutnya (Imam al-Ghazali)—sangat disayangkan apabila seseorang mendahulukan dan mementingkan fardhu kifayah di atas fardhu ‘ain.
Penjelasan Imam al-Ghazali memang tampak begitu sulit untuk dipraktikkan. Terlebih dalam hal pendidikan—di mana orang-orang biasanya berpikiran bagaimana cara untuk bisa menerapkan kedua-duanya tanpa ada yang ditinggalkan. Tentu, keduanya jelas tidak bisa diselesaikan secara bersamaan.
Menanggapi akan hal itu, Babah Ghofur menggarisbawahi pernyataan atau teori yang dikemukakan Imam al-Ghazali terkait kedua kewajiban itu. Lebih lanjut, Babah Ghofur memberikan contoh ketika bagaimana orang mau masuk sekolah secara otomatis terkena fardhu kifayah. Begitu pun ketika mendapati orang belajar fiqih (yang bisa dipastikan) tidak hanya berbicara seputar solat saja. Belajar fiqih artinya, menunjukkan eksistensi diri untuk hadir dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lahir di tengah-tengah masyarakat.
Lebih jelas Babah Ghofur mencontohkan, bahwa orang belajar Fath al-Qorib dan Safinah an-Najah—yang hanya berbicara ibadah-ibadah mahdhah—itu juga secara otomatis telah melangkah kepada fardhu kifayah. Karena bagaimana pun, tidak semua yang kita baca itu hanya dirasakan dan terjadi pada diri kita, dan itu artinya menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi kepada orang lain. Atas dasar inilah kemudian, secara praktik di kehidupan nyata tidak bisa untuk menyelesaikan secara rigid—teori Imam al-Ghazali—bahwa seseorang bisa melangkah kepada fardhu kifayah ketika telah menyelesaikan fardhu ‘ain, inilah kenyataan yang terjadi namun secara teori (Imam al-Ghazali) ini tetap harus disampaikan bahwa—“orang hanya boleh belajar fardhu kifayah setelah selesai belajar fardhu ‘ain.”
Makna Lain di Balik Teori Imam al-Ghazali
Perlu digarisbawahi, fardhu ‘ain tidak selamanya berkaitan erat dengan persoalan ilmu, tetapi juga persoalan perilaku. Pada titik inilah menurut Babah Ghofur yang seharusnya perlu ditekankan, bahwa fardhu ‘ain di atas fardhu kifayah yang dimaksudkan Imam al-Ghazali tidak hanya menyangkut ilmu, tetapi juga perilaku.
Jika dianalogikan, seseorang yang ingin menjadi guru, maka ia harus terlebih dulu pernah menjadi murid. Sebagaimana penjelasan Babah Ghofur, murid itu artinya ‘semua’ yang harus dilakukan oleh semua orang. Begitu pula guru, ia adalah profesi mengajari orang lain, dan merupakan tindakan fardhu kifayah. Sehingga atas dasar itulah kemudian, seseorang jangan berharap bisa menjadi seorang guru jika ia belum selesai mengajari dirinya sendiri (menjadi seorang murid).
Hal itulah yang dikehendaki Imam al-Ghazali, bahwa selesai fardhu ‘ain sebelum fardhu kifayah tidak hanya dalam konteks ilmu, tetapi juga perilaku. Karena bagaimana pun, analogi berupa ‘keinginan menjadi guru harus pernah menjadi seorang murid’ merupakan contoh sederhana di balik fardhu ‘ain di atas fardhu kifayah dalam konteks perilaku. Dengan kata lain, jika fardhu ‘ain belum selesai tetapi sudah mencoba untuk fardhu kifayah, itu tidak jauh berbeda dengan ingin memperbaiki orang lain tetapi tidak cakap memperbaiki diri sendiri.
Walhasil secara praktik, sebagaimana yang Babah Ghofur terangkan, orang tetap tidak bisa diteorikan dan dipaksa untuk selesai fardhu ‘ain dulu, kemudian fardhu kifayah. Tidak bisa diteorikan bukan berarti tidak bisa dilakukan sama sekali, hal ini tetap bisa dilakukan yakni tidak lain secara serentak dan bersamaan. Oleh karenanya yang lebih penting dari itu semua, penjelasan Imam Ghazali sangat begitu bermanfaat bagi kita untuk dijadikan bahan pertimbangan mengenai kewajiban sebagai fardhu ‘ain dan kewajiban sebagai fardhu kifayah. Bersyukur sekali, Imam al-Ghazali mengingatkan kita melalui kitabnya yang fenomenal, Ihya’ Ulumuddin.
Wallahu A’lam
(Tulisan ini diintisarikan dari Ngaji Ihya’ Ulumuddin Oleh KH. Abdul Ghofur Maimoen #47)
Oleh: Tim Jurnalistik Al-Anwar 3