Peringatan 100 hari wafatnya KH. Maimoen Zubair dihelat di PP. Al-Anwar Sarang (13/11). Acara dilaksanakan untuk mengenang dan meneruskan perjuangan dan nilai-nilai akhlak pribadi beliau.
Acara dihadiri para Ulama’, Habaib, Perwakilan organisasi NU, dinas pemerintahan, dan para muhibbin Mbah Maimoen. Pembacaan yasin dipimpin K.H. Ainul Yaqin, tahlil oleh Habib Abu Bakar As-Segaf, dan Doa dipimpin Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad Malang.
Sementara sambutan diisi KH. Musthafa Aqil mewakili keluarga, KH. Miftakhul Akhyar sebagai Ra’is PBNU, dan Zainut Tauhid sebagai wakil menteri Agama Republik Indonesia. Adapun mauidhah hasanah diisi KH. Toifur Mawardi dan KH Musthafa Bisri.
Seperti yang telah kita ketahui Mbah Moen telah membuat teladan sebagai kiai, negarawan, dan pemilik ilmu. Salah satunya keutamaan Mbah Moen yang menurut Wakil Menag Zainut Tauhid, yakni menerima beliau sebagai santri. Selama kurang lebih 10 tahun menjadi sekretaris beliau di struktur organisasi NU. Zainut Tauhid mengaku meski tidak secara zahir tidak pernah nyantri di Sarang, tetapi kedekatan kepada Mbah Moen dirasakan banyak barokah di dalamnya.
Selanjutnya dalam Mauidhahnya, KH. Toifur Mawardi menyampaikan bahwa keberkahan Mbah Moen itu sudah jelas dan beliau mengamini agar semua yang hadir mendapat keberkahan beliau. Semua teladan sudah beliau tampakkan. Kita mengenal Beliau sangat ‘alim, Al-Arif bi Allah.
Salah satu kisah yang dapat diteladani adalah ketika Sayyid Muhammad Alawy dan dua sahabatnya, Syekh Hasan Mas’ad dan Syekh Ahmad Nadlirin sama-sama membuat kesepakatan jika salah satu dari mereka meninggal terlebih dahulu, maka satu yang lain harus mendo’akan.
Kemudian waktu berbicara, Syekh Nadlirin terlebih dahulu meninggal dunia. Kemudian Sayyid Alawy dan Syekh Hasan membacakan yasin dan do’a. Tak disangka malam dalam waktu yang bersamaan, keduanya ditemui di dalam mimpi. Syekh Ahmad Nadlirin berterima kasih.
Seakan kaget, keduanya saling menelpon secara bersamaan karena ingin menanyakan hal yang sama.
Selang berjalan waktu, Sayyid Alawy meninggal dunia. Dan seperti kesepakatan, Syekh Hasan mendoakan beliau dengan membaca yasin. Keberkahan do’a itu selalu ada.
Dalam keteladanan, Mbah Moen sudah mencontohkan dalam berbagai hal. Yarfa’i Allah alladzina Amanu dalam keimanan. Seperti mendidik anak dalam ayat Innama yakhsya Allah min Ibadihi Al-Ulama. Kemudian jarang tidur dalam ayat Waqalilun min Al-Layli Maa Yahja’un. Mendidik santri dalam ayat Wa Ma ya’lamu ta’wilahuu illa Allah wa al-Rasihuuna fi al-Ilmi . dan dermawan sepertri dalam ayat Wa qaliilun min ibaadiya al-Syakur.
Mbah Moen kalau ada tamu, sangat menghormati, bahkan sampai ditahan jika pulang. Siapa saja, kata Gus Mus, diterima. Sampai salah satu momen ada orang China yang sowan. Dia sangat senang dengan Mbah Moen karena menerima dengan baik.
Tidak hanya itu, tamu siapapun dari kalangan partai politik juga tidak luput dari sowan ke Mbah Moen. Mulai PPP, PKB, Golkar hingga PDIP, lanjut Gus Mus.
Tidak mudah menyatukan orang Indonesia yang multi-etnis, agama, suku, ras seperti yang dilakukan Mbah Moen. “Maka saya mengusulkan kepada Pak Wakil Menteri Agama, untuk mengusulkan beliau untuk menjadi pahlawan nasional.” Terangnya.
Gus Mus mengajak para hadirin yang merasa sebagai santri Mbah Moen, untuk mengamalkan nilai ajaran yang telah diajarkan sesuai kapasitas masing-masing. Apabila menjadi da’i, tetap pada keahliannya. Menjadi manusia biasa, juga menjadi manusia seutuhnya.
Di lingkungan politik, Mbah Moen sudah pernah sampai pada puncak pemerintahan, yaitu menjadi anggota MPR. “Maka jika meneladani politik yang beretika, tanyakan kepada Gus Ubab dan Gus Kamil.” Ujarnya. Itu semua hubungan Mbah Maimoen dengan segalanya sudah sangat tinggi. Sudah purna Ukhuwah Nahdhiyyah, Islamiyah, Wathaniyah, dan Basyariyah.
Dalam mengabadikan diri, Mbah Maimoen tidak hanya menulis. Tetapi juga menciptakan generasi. “Coba lihat putera-putera beliau, semuanya alim. Liat Gus Ubab, Gus Yasin, Gus Ghofur. Mereka memiliki kemampuan semua dengan tidak meninggalkan kualitas proibadi masing-masing dari asalnya.” Jelas Pengasuh Pondok Raudatul Talibin Rembang.
Kembali lagi pada nilai-nilai nasionalis yang berdefdinisi tidak njlimet. Kiai desa, ujar Gus Mus mengungkapkan bahwa mereka tidak faham arti nasionalis. Yang ada adalah pemahaman simpel bahwa Indonesia adalah rumah yang harus dijaga. Nilai-nilai memuliakan tamu, baik kepada tetangga sebaiuknya tidak hanya diamalkan di desa. Tetapi juga di kota. Setidaknya harus men-desakan kota. (*)