Beranda > Keilmuan Islam > Menanggapi Perbedaan Penetapan Ramaḍān: Review Kitab Nuṣūṣ Al-Akhyār fī al-Ṣawm wa al-Ifṭār

Menanggapi Perbedaan Penetapan Ramaḍān: Review Kitab Nuṣūṣ Al-Akhyār fī al-Ṣawm wa al-Ifṭār

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Hal ini berarti bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari (baca: wajar). Perbedaan menjadi masalah apabila telah bercampur dengan hawa nafsu, sehingga melahirkan sikap saling membenci, menghina dan menjatuhkan. Sangat dibutuhkan sekali titik temu dari sebuah perbedaan yang membawa pada semangat persatuan, persaudaraan dan kepentingan bersama.

Kitab ini Nuṣūṣ Al-Akhyār disusun oleh KH Maimoen Zubair untuk menanggapi masalah perbedaan yang terjadi ketika penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal pada tahun 1418 H/ 1998 M. Kitab ini juga diduga sebagai wujud respon atas kekhawatiran KH Maimoen Zubair terhadap perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan, berbeda jauh dari makna yang diharapkan oleh hadis nabi “Ikhtilāfu ummatī rahmat”.[1]

Kala itu terjadi perbedaan dari kalangan umat Islam Indonesia yang menggunakan metode hisab dan rukyatul hilal. Sebagian kelompok melakukan puasa sebanyak 29 hari sehingga lebaran jatuh hari Kamis, sebagian yang lain menyempurnakan 30 hari dan berlebaran hari Jum’at. Dari hal tersebut, perpecahan terlihat lebih menonjol dimana banyak masjid-masjid yang menyuarakan takbir dengan pengeras suara, sedangkan sebagian kelompok masih menunaikan ibadah puasa. Perpecahan yang terjadi nampak berdasarkan pada hawa nafsu dan kepentingan pribadi, sehingga antar golongan menyeru mereka paling benar.[2]

Kitab ini disusun dengan skematik teks umum, yaitu: pembukaan, isi (berisi depalan fasal), dan penutup.

BACA JUGA :  Kesulitan Mendatangkan Pelajaran

Pembukaan

Pada bagian pembukaan penulis menggambarkan bagaimana perbedaan yang terjadi di zaman sekarang berbeda dengan perbadaan di zaman dahulu. Penulis memaparkan dua contoh. Pertama, perbedaan di masa sahabat memahami hadis : لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة. Sebagian sahabat memahami secara tekstual dan sebagian mentakwil dari perkataan nabi tersebut. Nabi tidak mempermasalahkan perbedaan pemahaman para sahabat.

Kedua, perbedaan empat ulama mazhab tentang waktu dan tata cara sholat, sehingga dibangun empat mihrab sholat di Masjid al-Ḥarām, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsā. Ditinjau dari segi sosial, perbedaan ini tidak menjadi masalah. Setiap orang menjalankan ibadah sesuai mazhab masing-masing dan para imam dapat saling bertemu.

Berbeda dari dua peristiwa tersebut, saat ini perbedaan cenderung membuat manusia terpecah. Masing-masing kelompok merasa paling unggul disertai rasa sombong dan riya’. Penulis mencontohkan fenomena perbedaan penetapan awal syawal tahun 1418 H/1998 M.

 

Isi Kitab

Kitab ini disusun atas delapan fasal, dimana setiap fasalnya dikupas menggunakan dalil-dalil pilihan dari al-Qur’an dan hadis serta dirujuk dari kitab-kitab karya ulama salaf. Pembahasan secara umum yaitu; fasal satu tentang penafsiran dalil penetapan puasa dan hari raya dari al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 185), fasal dua tentang dalil penetapan berdasarkan hadis:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن أغمي عليكم فاقدروا له

fasal tiga tentang penjelasan isbat (dari pihak pemerintahan), fasal empat tentang pembahasan ketika muncul permasalahan seputar penetapan, fasal lima tentang sikap-sikap yang harus dilakukan ketika seseorang telah melihat hilal namun hakim belum memberi keputusan, fasal enam sebagai penyempurna pembahasan atau takmiliyah, fasal tujuh membahas tentang rukyatul hilal dan fasal delapan tentang anjuran untuk menjaga persatuan.

BACA JUGA :  Ngemong Santri ala KH. Maimoen Zubair; Sebuah Refleksi Guru Bangsa

 

Penutup

Pada bagian penutup, penulis menceritakan sejarah penanggalan hijriyah sejak masa Nabi, kemudian menuliskan tentang metode perhitungan hijriyah dengan menggunakan huruf hijaiyah yang didapat dari guru-gurunya. Penulis juga menuliskan pesan dari kakeknya terkait anjuran untuk menaati ketetapan hakim (baca:pemerintah).

Meskipun tergolong kitab yang ringkas, penulisan kitab cukup mewakili cita-cita dan tujuan penulis yaitu mengajak untuk kembali menjaga persatuan. Perbedaan dalam penetapan awal puasa dan hari raya ini dapat diatasi dengan mengikuti keputusan hakim atau pemerintah. Adapun pesan dari kakek penulis, Kyai Ahmad bin Syuaib: “Berpuasa dan berhari rayalah kamu sesuai waktu yang telah ditetapkan oleh hakim (pemerintah) selagi keputusannya sesuai dengan koridor syariat Islam. Jika keputusannya tidak sesuai dengan syariat, maka berpuasa dan berhari rayalah (sesuai dengan syariat) dengan cara sembunyi-sembunyi.”[3]

Review ditulis Ika Wahyuningsih, Santri asal Ponorogo.

  1. Al-Syaikh Maimoen Zubair Dahlan , Nusūs al-Akhyar fi al-shoum wa al-Ifthar, (Rembang: Lajnah Ta’lif Wa al-Nasr Pondok Pesantren al-Anwar), 1-3.
  2. Ibid., 3.
  3. Al-Syaikh Maimoen Zubair Dahlan , Nusūs al-Akhyar fi al-shoum wa al-Ifthar, (Rembang: Lajnah Ta’lif Wa al-Nasr Pondok Pesantren al-Anwar), 18.
Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *