Banyak teori yang mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya jika tidak memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain. Salah satu filsuf terkemuka, Aristoteles secara terang-terangan berpendapat mengenai hal ini, bahwa manusia adalah zon politicon, sebuah makhluk yang memiliki keterkaitan sosial, baik antar manusia sendiri maupun antar lingkungan.
Dengan demikian, hubungan yang ditimbulkan dari hasil interaksi yang dilakukan manusia sebenarnya harus merupakan hubungan yang dapat menjadikan manusia lain di sekelilingnya merasa nyaman, tentram, dan tidak terancam karena sebuah hal. Inilah kemudian manusia memiliki keharusan – dalam strata hidup di permukaan bumi – yang harus dijaga, untuk mewujudkan sebuah perdamaian dan kesejahteraan antar manusia lain. Teori di atas pun – secara garis besar – tidak bertentangan dengan konsep Islam mengenai hubungan antar manusia, yaitu terjalinnya kerukunan sesama saudaranya.
Saudara memiliki arti sangat umum sekali, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menawarkan arti sebagai mereka yang memiliki hubungan segolongan, baik satu keluarga, organisasi, negara, bahkan kemanusiaan. Jika kita mengambil arti – dalam hal ini – saudara sebagai orang-orang yang terikat dalam ikatan darah dalam satu keluarga, ini benar, namun akan menimbulkan pemaknaan yang sangat sempit dalam kancah kemanusiaan. Akhirnya, makna yang kita gunakan untuk memahami arti saudara adalah mereka yang memiliki satu golongan sebagai sesama manusia. Sehingga dengan demikian manusia memiliki ikatan yang cukup kuat dengan sesamanya, yang sama-sama manusia. Karena pada dasarnya, menurut Islam manusia dengan sesamanya adalah satu kesatuan, satu gen sebagai anak keturunan dari orang pertama di dunia, Nabi Adam. Dengan pemaknaan yang luas ini, akan terhubung sebuah pemikiran yang cukup sederhana sebenarnya, yaitu manusia satu dengan yang lainnya adalah saudara, yang masing memiliki hak untuk dijaga kedamaiannya.
Dalam pandangan Islam, semua manusia adalah bersaudara, meskipun dalam perjalanannya mengalami perbedaan suku maupun agama sekalipun. Dahulu, kaum ‘Add, Tsamud dan Madyan sama-sama membangkang terhadap rasul-rasulnya, al-Qur’an tetap saja menamai para rasul yang diutus kepada mereka itu, sebagai sama-sama sebagai persaudaraan, yaitu saudara se-kemanusiaan (baca QS. Al-A’raf (7) : 65, 73, 85. Sehingga, jika dalam lingkup kehidupan sosial ini, sebisa mungkin ikatan persaudaran itu harus tetap terjalin. Dalam konteks beragama, persaudaraan se-agama adalah hal yang harus didahulukan melebihi diri sendiri, namun jika situasi memungkinkan untuk sulit dilakukan, maka alangkah bijak jika kita memperlakukan orang lain sebagai manusia, sebagaimana kita ingin diperlakukan juga dengan baik. Dalam hal ini, menjadikan diri sendiri sebagai neraca untuk menimbang sebagai mana kita ingin memperlakukan orang lain adalah hal yang cukup bijak.
Oleh karena itu pula, hadits pun memberi pemahaman kepada umat Islam mengenai persaudaraan ini, dengan teks yang cukup umum, kurang lebih memiliki arti “tidaklah iman (tidak sempurna imannya) seseorang diantara kalian sehingga kalian dapat mencintai saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dengan penyajian teks yang cukup umum ini, yaitu “persaudaraan”, setidaknya kita memahami bahwa yang dimaksud saudara cakupannya juga sangat luas. Maka dengan pemaknaan “saudara” yang luas ini pula, non-muslim pun – sebagai orang yang berbeda keyakinan dengan Islam – memiliki hak persaudaraan yang harus kita penuhi, yaitu persaudaraan sebagai sesama manusia. Seandainya jika pesan Nabi di atas belum dapat dijalankan dengan sempurna, kita masih perlu mengingat pesan yang lain :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا ». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ». (رواه مسلم في صحيحه)
Jangan saling iri hati, jangan saling memaki, jangan saling membelakangi, jangan menjual atas jualan sabagian dari kalian, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menganiayanya, tidak menyampaikan berita bohong, tidak menghinanya, tidak meningggalkannya tanpa bantuan. Taqwa berada disini, – sambal menunjuk dada beliau tiga kali – cukuplah keburukan bagi seseorang melecehkan saudaranya seagama. Seorang muslim haram (harus dihormati) darah, harta, dan kehormatannya. (HR. Muslim).
Bahkan terhadap non-muslim pun, mereka harus kita perlakukan sebagaimana saudara se-kemanusiaan. Sebagaimana pesan Islam yang dirumuskan oleh Sayyidina Ali r.a : “siapapun yang anda temui, maka dia adalah saudara anda seagama atau saudara anda sekemanusiaan”, pesan lain dari beliau adalah :
واشعر قلبك الرحمة للرعية، والمحبة لهم، وللطف بهم، ولا تكونن عليهم سبعا ضاريا تغتنم أكلهم فإنهم صنفان إما أخ لك في الدين وإما نظير لك في الخلق يفرط منهم الزلل وتعرض لهم العلل ويؤتي على أيديهم في العمد والخطأ. فأعطهم من عفوك وصفحك مثل الذي تحب وترضى ان يعطيك الله من عفوه وصفحه، فإنك فوقهم ووالي الأمر عليك فوقك والله فوق من لا ولاك.
Tanamkanlah dalam hatimu rahmat kepada rakyat serta cinta kasih dan kelembutan kepada mereka! Jangan sekali-kali engkau menjadi binatang buas yang siap menerkam mereka, karena sesungguhnya mereka hanyalah dua kelompok, saudaramu seagama atau yang serupa penciptaan (sekemanusiaan denganmu). Banyak terjadi di antara mereka ketergelinciran dan dihadapkan kepada bereka beragam penyakit, serta terjadi dalam aktivitas mereka apa yang disengaja dan yang keliru, maka anugerahilah mereka pemaafan dan pengampunanmu sebagaimana engkau suka dan ridha dianugerahi Allah pemaafan dan pengampunan-Nya. Karena engkau berada diatas mereka, serta yang menugaskanmu berada di atasmu, dan Allah berada di atas yang menugaskanmu.
Dalam tradisi Barat – berdasarkan penuturan M. Quraish Shihab dalam bukunya, Wasathiyah – sering kali melakukan tindakan “menempatkan individu di atas kepentingan masyarakat” sehingga tidak jarang mereka mengorbankan kepentingan masyarakat umum, untuk mewujudkan keinginan yang bersifat individu, atau juga “menyalahkan situasi dan kondisi masyarakat” demi melindungi hak individu manusia dari jatuhnya sanksi. Ada juga masyarakat yang bersikap sebaliknya, “mementingkan masyarakat atas individu”, sebagaimana budaya yang marak dalam orang-orang berpaham komunis.
Dalam dunia Islam – pemikiran atau tradisi – kedua hal itu, individu manusia dan masyarakat, diperhatikan tanpa mengorbankan salah satunya. Islam menyadari, ada hal masyarakat yang harus dipelihara, juga ada hak individu manusia yang harus dijaga. Sehingga jika kedua hal ini tidak diperhatikan, akan memiliki pengaruh yang bahkan dapat merusak satu terhadap yang lainnya. Sehingga kita mengenal, ada pengaruh dari masyarakat yang dapat mengubah atau bahkan menentukan baik dan buruknya manusia. Juga kita tidak dapat menyangkal, potensi yang ada dalam diri manusia akan memiliki dan memberi dampak pada baik dan buruknya masyarakat. Sehingga tanpa kedua unsur ini untuk saling memperindah satu sama lain, satu negara pun akan hancur. Dan meskipun kita mengenal, sejak lahir manusia telah membawa fitrahnya masing-masing, dimana fitrah ini akan terus membawa dan mempengaruhi manusia untuk berbuat kebaikan, sehingga melahirkan satu konsep “akal manusia akan selalu dituntut untuk melakukan kebaikan”, namun kita juga sadar bahwa keburukan banyak diperoleh akibat dari pengaruh luar atau masyarakat.
Meletakkan secara seimbang, antara hak perorangan dengan hak-hak masyarakat merupakan prinsip dasar dalam membina umat. Masing-masing memiliki hak yang harus dihormati. Hak yang dimiliki masing-masing itu harus pula diimbangi oleh kewajiban yang harus mereka tunaikan. Benarlah apa yang dipikirkan oleh ulama terkemuka asal Tunis, Syaikh al-Mufassir Muhammad at-Thahir bin ‘Asyur, untuk menciptakan maslahat dalam skala besar, baik masyarakat bahkan negara sekalipun, hal pertama yang harus diperhatikan adalah memperhatikan hak dan kemaslahatan dalam diri perorangan. Seseorang yang memiliki hati, pemikiran, dan perbuatan yang baik dan selaras dengan jalan fitrah kemanusiaan, akan mudah dibimbing mewujudkan masyarakat yang madani.
*Bayu Narimo
Salah satu guru Muhadloroh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang