Beranda > Keilmuan Islam > Bayjūrī atau Bājūrī? Sekilas Mutiara Dari Grand Shaykh Al-Azhar ke-19

Bayjūrī atau Bājūrī? Sekilas Mutiara Dari Grand Shaykh Al-Azhar ke-19

Cerita tentang negara Mesir memang memiliki banyak sisi keistimewaan. Selain karena termasuk sebagai negara yang tercatat pertama kali mengakui kedaulatan Indonesia, Negara ini digadang-gadang sebagai jantung peradaban dunia, wajar jika Ummu al-dunyā disematkan sebagai julukannya.

Mungkin juga kerena banyaknya nabi yang singgah di negara ini, sehingga Mesir juga dijuluki sebagai bumi para nabi. Ada juga kisah Cleopatra ratu terakhir Mesir, yang kisahnya difilmkan dengan megah dan sangat mendunia. Fira’un? Anda pasti juga tahu.

Selain punya cerita tentang beberapa nabi dan juga Fir’aun, negeri sejuta menara ini juga memiliki kisah Cleopatra yang begitu masyhur.

Sungai Nil yang dianggap sebagi hadiah bagi Mesir, menambah keistimewaan ketika membahas negara ini. Menurut beberapa referensi yang penulis dapatkan menyebutkan bahwa penduduk sekitar sangat menghargai sungai Nil, misalnya mereka menganggap bahwa sungai ini adalah halaman rumah sehingga tidak ada rumah yang posisinya membelakanginya, bahkan membuang sampah ke sungai ini dianggap sebagai hal yang tabu. Sungai Nil adalah sungai yang terpanjang di dunia yang melintasi sembilan negara di Afrika.

Selain itu di Negara yang model pemukiman warganya lebih banyak dalam bentuk apartemen ini, tradisi meminum teh begitu kuat, barangkali seperti ngopi di Indonesia. Orang Mesir memiliki kegemaran meminum syai atau teh, dan untuk menghabiskan satu cangkirnya, orang Mesir tidak harus menunggunya menjadi hangat, bahkan dingin.

Ada juga Universitas Al-Azhar yang telah berumur lebih dari 10 abad lamanya. Bahkan mungkin Al-Azhar adalah hal pertama yang bersarang dibenak banyak kalangan ketika disebutkan kata “Mesir” atau “Kairo”. Lembaga pendidikan ini yang digadang-gadang sebagai kiblatnya moderatisme Islam pada mulanya adalah berupa masjid yang dibangun oleh Jauhar al-Shaqali seorang panglima perang Dinasti Fathimiyah, pada tahun 359 H. Universitas ini telah banyak mencetuskan ulama yang sagat masyhur di kalangan pesantren.

Di antara putra-putra terbaiknya yakni Imam al-Subki (683-756 H), Ibn hajar al-Asqalani (773-852 H), Imam al-Mahalli (791-864 H), Zakariya al-Anshari (823-926), Imam al-Suyuti (849-911 H), Abdul Wahab al-Sya’roni (w. 973), Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H) dan tentunya Imam al-Bayjūrī serta masih banyak lagi ulama yang pernah belajar di Al-Azhar bahkan hingga sekarang.

Akan tetapi nampaknya hidup di Kairo tidak selalu indah yang dibayangkan banyak orang. Hal ini bisa terlihat dari ungkapan salah satu Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir) dalam bukunya yang berjudul Kairo Undercover:

Kairo tidak selalu seindah yang dibayangkan, aku sendiri sering merasa tidak betah berada di Kairo. Perasaan ingin segera pulang hanya karena melihat kacaunya lalu lintas dan tatanan sosial. Andai tidak ada Al-Azhar, mungkin Kairo sudah ditinggalkan orang asing. Andai tidak ada Fir’aun dan Piramida, barangkali Kairo tidak menarik bagi para turis. Andai letak mesir tidak berdekatan dengan negara-negara teluk, barangkali Kairo tidak ramai menjadi pelarian para pekerja imigran dari negara-negara teluk yang kaya raya itu.

Mari bahas satu mutiara dari negara ini.

 

Biografi singkat Ibrāhim al-Bayjūrī (1198-1277 H)

Di Indonesia kitab Ḥāshiyah al-Bayjūrī sangat terkenal, khususnya di lingkungan pesantren. Kitab ini hampir menjadi pegangan setiap santri dalam memahami Fiqih Syafi’ī.

Kitab yang selesai ditulis pada hari Rabu bulan Jumādī al-ākhirah 1258 H ini berangkat dari Matan Ghāyah al-Taqrīb karya Abī Syujā al-Aṣfahānī (533-593 H) yang kemudian di-syarahi oleh Ibn Qāsim al-Ghazī (858-918 H) atau yang masyhur dengan Fath al-Qarīb al-Mujīb. Kitab Ḥāshiyah al-Bayjūrī inilah yang menjadi penjelas terhadap syarah yang diberikan oleh Ibn Qāsim, sehingga kitab ini bisa disebut sebagai cucu dari matan Abī Syujā’.

Imam al- al-Bayjūrī mengakui bahwa beliau banyak mengambil manfaat dari kitab Fath al-QarĪb dan juga kitab Ḥāshiyah yang disusun oleh Imam Burhanuddin al-Birmāwī (w.1160 H) atasnya. Namun dalam Ḥāshiyah tersebut terdapat istilah-itilah yang sulit dipahami bagi para pemula, sehingga bayak kalangan yang memintanya untuk juga menyusun kitab Ḥāshiyah Fath al-Qarīb tersebut.

Saat membaca kitab Ḥāshiyah al-Bayjūrī ini, kita tidak hanya disajikan dengan hal-hal yang murni berkaitan dengan Fikih. Dari segi Nahwu-Shorof Imam al- al-Bayjūrī banyak memberikan ulasan, saran, anjuran bahkan kritik terhadap beberapa redaksi yang digunakan Ibn Qāsim. Asbāb al-Nuzūl ayat, kaidah usul bahkan aspek pendidikan sekalipun akan kita temui di dalamnya, seperti tentang aspek pakerti murid dan guru yang beliau selipkan saat memberikan penjelasan tujuan disususnnya kitab yang diḤasyiahinya tersebut, beliau mengatakan:

BACA JUGA :  Masjid Al-Kuu’; Yang Tersisa dari Perjalanan Umrah

“Jika dalam diri seorang pelajar telah ada tiga hal maka sempurnalah kenikmatan yang dirasakan oleh seorang guru. Tiga hal tersebut adalah intelektual, adab dan baiknya pemahaman. Begitu pula pada seorang guru, jika ia memiliki tiga hal, maka sempurnalah kenikmatan yang dirasakan oleh seorang murid, tiga hal tersebut adalah kesabaran, rendah hati dan akhlak yang baik.”

Selain itu, keistimewaan yang lain dari kitab ini tentunya memiliki banyak berkah, sebab Imam al-Bayjūrī sendiri menulis kitab ini di Makkah dan Madinah. Tepatnya, beliau menuliskan sebagian kitab ini di di hadapan Ka’bah dan sebagian yang lain ditulis di samping mimbar Rasulillah Ṣhalla Allhau ‘Alayhi wa sallam.

Penulis kitab ini mempunyai nama lengkap Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bayjūrī. Beliau lahir pada tahun 1198 H di Bayjūr, salah satu desa di Manufiyah/
Menofia Governorate, Mesir. Nisbat terhadap tempat kelahiran ini lah yang kemudian disematkan pada namanya, sehingga sampai sekarang terkenal dengan Imam al-Bayjūrī.

Sejak kecil Imam al-Bayjūrī diasuh dan dididik ayahnya, menghafalkan al-Qur’ran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama kemudian berangkat ke Kairo pada tahun 1212 H, ketika umurnya masih sekitar 14 tahun.

Ketika Kairo diduduki penjajah Perancis, Imam al-Bayjūrī meninggalkan Kairo untuk sementara dan kembali lagi setelah keadaan dianggap kondusif.

Setiap waktu siang hingga waktu sholat Isya’, Imam al-Bayjūrī belajar dan mengajar para murid serta menulis buku. Setelah malam tiba, Imam al-Bayjūrī membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dan didengarkan oleh ratusan orang.

 

Menjadi Grand Shaykh Al-Azhar

Grand Shaykh yakni jabatan tertinggi dalam struktur kepemimpinan Al-Azhar, mencakup jenjang dan jenis pendidikannya. Meski gelar Grand Shaykh Al-Azhar sudah ada sejak lama, namun gelar ini baru ditetapkan pemerintah Mesir melalui UU No.103 Tahun 1961 tentang Pengembangan Al-Azhar. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut Grand Shaykh Al-Azhar diangkat dan dipilih langsung oleh Presiden Mesir.

Mayoritas sejarawan mencatat bahwa Grand Shaykh yang pertama diduduki oleh Imam Abdullāh Al-Kharāshī yang lahir di desa Abu Kharrash, markaz Syabrakhit, propinsi Buhayra tahun 1010 H. Adapun Prof. Dr. Ahmed at-Tayyeb al-Hasani yakni Grand Shaykh Al-Azhar yang ke-44.

Adapun penulis kitab Ḥashiyah al-Bayjūrī yang banyak dipelajari di pesantren itu yakni Grand Shaykh Al-Azhar yang ke-19. Tepatnya pada tahun 1263 H, beliau diangkat menjadi Shaykh Al-Azhar menggantikan Shaykh Ahmad al-Shafti yang juga termasuk guru dari Imam al-Bayjūrī sendiri.

Jika dihitung, Imam al-Bayjūrī pada saat diangkat menjadi Grand Shaykh Al-Azhar adalah sekitar berumur 65 tahun. Dikisahkan juga bahwa saat itu pemimpin Mesir Abbas I, beberapa kali mengikuti pengajian beliau di Al-Azhar dan mencium tangan beliau.

Di era pemerintahan Said Pasha, Imam al-Bayjūrī jatuh sakit. Kemudian beliau mewakilkan urusan administrasi Al-Azhar kepada empat orang, yaitu Shaykh Ahmad al-Adawi, Shaykh Ismail al-Halabi, Shaykh Khalifah al-Fasyni dan Shaykh Musthafa al-Shawi. Empat orang Shaykh tersebut kemudian mengangkat seorang ketua yaitu Shaykh Musthafa al-Arusi.

Walaupun Imam al-Bayjūrī sakit sekian lamanya, tetapi untuk menghormati kedudukan beliau sebagai seorang yang alim, Al-Azhar tidak mengangkat seorang Shaykh Al-Azhar sampai beliau wafat pada tahun 1277 H yaitu sekitar umur 79. Namun dalam kitab Ḥilyah al-Bashr fī al-Tārikh al-Qorni al-Thālith ‘Asyar disebutkan bahwa wafatnya pada tahun 1276 H, tepatnya pada 28 Dzul Qo’dah dan dimakamkan di Turbah al-Mujāwirīn.

Baru kemudian Shaykh Musthafa al-‘Arusi lah (1213-1293 H) yang menjadi Shaykh Al-Azhar ke-20, beliau sendiri adalah termasuk murid dari Imam al-Bayjūrī.

 

Imam al-Bayjūrī punya santri di Indonesia

Berdasar beberapa literatur yang penulis baca, terdapat beberapa ulama Indonesia yang sempat berguru kepada Imam al-Bayjūrī secara langsung, di antaranya adalah:

Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo (1245-1282 H), beliau adalah peletak batu pertama Pondok Pesantren Termas, Pacitan Jawa Timur. Pesantren ini dirintis selepas nyantri di Pondok Tegalsari Ponorogo. Selain menjadi kakek dari Shaykh Mahfud al-Turmusi, beliau juga menjadi generasi pertama orang Indonesia di Al-Azhar, yakni sekitar tahun 1266 H. selama di negeri Kinanah inilah, beliau berguru kepada Imam al-Bayjūrī.

Berkat kedekatan hubungan Kiai Abdul Mannan inilah, kitab-kitab Imam al-bayjūrī ini bisa masuk ke Indonesia, dan hingga kini menjadi populer diajarkan di pesantren-pesantren Nusantara, salah satunya adalah Ḥāshiyah al-Bayjūrī.

Konon, Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak yang punya lebih dari 50 karangan kitab, juga merupakan salah satu santri Imam al-BayjūrĪ. Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak lahir di Desa Tempuran Kendal. Beliau merupakan sosok yang kerap memberi kritikan pada budaya masyarakat dan sikap pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

BACA JUGA :  Nama-Nama Filosofis di Balik Kemuliaan Bulan Rajab

Kiai Ahmad ar-Rifai pernah dilarang untuk tinggal di Kendal oleh pengadilan Kendal dan Semarang. Kemudian, setelah istrinya meninggal beliau pindah ke Batang. Lalu beliau menikahi janda Demang Kalisalak yang kaya raya di Mertowijoyo Batang. Berkat tanah milik istrinya beliau mendirikan sebuah pesantren.

Asumsi adanya hubungan antara Kiai Ahmad ar-Rifai dengan Imam al-Bayjūrī di atas didasarkan pada kuatnya pengaruh Imam al-BayjŪrĪ, seperti Tuhfah al-Murīd dan Ḥāshiyah al-Bayjūrī terhadap karya-karya Kiai Ahmad ar-Rifa’i. Selain itu, bila ditinjau dari keterpautan tahun hidup, keduanya dimungkinkan untuk bertemu. Kiai Ahmad ar-Rifa’i hidup antara tahun 1200-1286 H, sumber lain mengatakan wafatnya adalah tahun 1292 H). Beliau sempat menimba ilmu di Makkah selama 8 tahun. Sedangkan Imam al-BayjŪrĪ hidup antara rentan tahun 1198-1277 H. Kemungkinan, keduanya bertemu di Makkah.

Ulama yang mengaji dengan Imam Bayjūri selanjutnya yakni Kiai Shoheh bin Kiai Nuruddin, salah satu ulama besar Sunda yang hidup hingga tahun 1302 H. Makamnya berada di Desa Bunikasih Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Dari referensi yang penulis temukan dijelaskan bahwa terdapat sebuah kitab yang bernama Fawa’id al-Muhtāj karya Kiai Dahyatullah bin Kiai Rahmatullah. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa Kiai Shoheh Bunikasih adalah murid dari Imam al-Bayjūrī. Selain Kiai Shoheh Bunikasih, dalam kitab itu juga disebutkan seorang ulama Priangan lainnya yang menjadi murid Imam al-Bayjūrī ini, yaitu Kiai Adzro’i Bojong Garut.

 

Al-Bājūrī atau al-Bayjūrī?

Sudah banyak diketahui, bahwa nama para ulama umumnya dinisbatkan dengan daerah dimana sosok tersebut berasal atau dilahirkan. Bahkan, terkadang nama nisbat tersebutlah yang lebih dikenal daripada nama aslinya.

Untuk sekedar contoh, Imam al-Bukhārī (194-256 H) misalnya, beliau lebih terkenal dengan nama nisbatnya daripada nama aslinya, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughīrah. Yakni Bukhoro atau sekarang disebut Provinsi Buxoro Uzbekistan, Negara di kawasan Asia Tengah.

Begitupun dengan Imam al-Tirmidzī (209-279 H) yang mempunyai nama lengkap Muhammad bin ‘Isā bin Saurah bin Musā bin al-Dhaḥāk. Tirmidz adalah daerah yang terletak di sebelah timur Negara Uzbekistan. Konon, nama Tarmuji yang banyak digunakan oleh orang Indonesia khususnya Jawa, adalah bentuk tafā’ulan/epigonik dengan nama Imam al-Tirmidzi.

Selain itu masih banyak lagi ulama yang serupa, seperti Imam al-Bayḍāwi, Imam al-Qurtubi, Imam al-Nawawi dan tentunya Imam al-Bayjūrī.

Namun, terkadang beberapa santri menyebut dengan nama “Imam al-Bājūrī (الباجوري)” sedang santri lain menyebutnya dengan “Imam al-Bayjūrī (البيجوري)”. Kemungkinan hal ini disebabkan karena mereka memiliki kitab yang beda penerbitnya dan mungkin juga berdasar kepada apa yang Kiai mereka baca saat ngaji.

Penerbit Dār al-Minhāj dan Dār al-‘Ilm Surabaya, menerbitkan kitab ini dengan penulisan al-Bājūrī (الباجوري) , berbeda dengan penerbit Dār al-Kutub al-Islamiyyah Jakarta, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah (Beirut), Dār al-Imām al-Syāfi’ī serta al-Ḥāramayn yang keempatnya menerbitkan dengan menggunakan nama al-Bayjūrī (البيجوري).

‘Abbās bin Muhammad bin Ahmad bin al-Sayyid Ridwān (w.1346 H) menyebut dalam kitabnya Mukhtaṣar Fath Rabbi al-Arbāb bahwa:

البيجوري: لبيجور قرية بمصر من المنوفية ويقال لها باجور ولعله لغة أخرى فيها

Bayjūr adalah nama sebuah desa di daerah Manufiyah Mesir.Ada yang mengatakan bahwa lafadnya adalah Bājūr yang kemungkinan adalah lughat lain yang digunakan.”

kemudian Khoyr al-Dīn al-Zarkalī dalam kitab al-A’lām Qāmūs Tarājim li Asyhar al-Rijāl wa al-Nisā min al-‘Arab wa al-Musta’ribīn wa al-Mustasyriqīn saat berbicara tentang biografi Imam al-Bayjūrī juga menggunakan lafadz al-Bājūrī (الباجوري), serupa dengan penerbit Dār al-Minhāj dan Dār al-‘Ilm Surabaya.

Dari hal tersebut, barangkali dapat diambil pemahaman bahwa antara penyebutan al-Bayjūrī ataupun al-Bājūrī adalah sama-sama dapat digunakan, sebab perbedaan yang terjadi hanya berkisar pada lugah saja. Adapun dalam tulisan ini, sengaja lebih banyak menggunakan penyebutan al-Bayjūrī sebab kitab yang dimiliki oleh penulis adalah menggunakan redaksi demikian.

*Perbandingan penerbit kitab Ḥāshiyah al-Bayjūrī yang dilakukan di atas adalah menggunakan kitab-kitab yang ditemukan di tempat dimana penulis nyantri, sehingga menggunakan tahun cetakan tertentu. Selain itu untuk mempermudah dalam melihat masa hidup seorang tokoh, penulis sengaja menggunakan tahun Hijriah secara keseluruhan. Sehingga, ada sebagian tahun Masehi yang dikonversi ke tahun Hijriah tanpa memperhatikan tanggal dan bulannya. Sebab mendasarkan pada rujukan yang penulis temukan. ‘ala kulli hal saran dan masukan sangat diharapkan.

Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Mahfud Sulqi, Santri asal Ponorogo Jawa Timur.

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *