Nuansa pondok pesantren sudah tak asing lagi dengan istilah barokah. Menurut Abdurrahman Mas’ud, barokah secara literatur diartikan sebagai Ziyadat al-Khair, yaitu tambahan nilai religiusitas seseorang. Barokah bisa diperoleh – dalam tradisi pondok pesantren – dengan hubungan atau kedekatan seseorang kepada Kiai dengan mencium tangan, mengunjungi makam mereka dan sebagainya.

Perlu ditekankan di sini bahwa santri menyadari sepenuhnya bahwa mereka melakukan itu semua sebagai penghargaan terhadap ilmu pengetahuan yang mereka miliki serta kedudukan khusus di mata Tuhan dan masyarakat.

Semua orang Islam mempunyai barokah. Hal ini telah disinggung dalam al-Qur’an dan Hadits. Menjadi pemahaman umum bahwa arti barokah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh al-Bajuri dan Sayyid Abi Bakar, Khoirun Ilahiyyun atau suatu kebaikan versi Tuhan (hanya Tuhan yang tahu bentuknya). Barokah bisa berupa apa saja, ilmu, harta dan anak cucu.

Hanya saja, lazimnya masyarakat menjustifikasi bahwa kiai dan gus sebagai seseorang yang mendapatkan barokah dan dapat menjadi washilah atas keterperolehan barokah. Kepercayaan ini sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat, terutama di pondok pesantren.

BACA JUGA :  Buku Tua

Pertanyaannya adalah apakah gus yang masih mondok dan berstatus sebagai santri dianggap mempunyai barokah “lain” yang memang berasal dari rumahnya? Apakah statusnya sebagai santri dengan sendirinya menghilangkan barokahnya tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis merujuk pada sebuah buku yang berjudul “LORA; status dan kompetensi keilmuan sebagai penerus pimpinan pesantren” karya M. Tohir Abd. Hamid, beliau juga berstatus sebagai lora (gus dalam bahasa Jawa). Sekurang-kurangnya, ada tiga persepsi yang muncul tentang ini.

Tiga Persepsi Barokah Gus

Pertama, ada yang berkeyakinan bahwa barokah gus itu tidak ikut dibawa ke pesantren tempat ia nyantri sehingga tidak akan menjadi masalah jika tidak menghormatinya. Kedua, ada juga yang mengatakan bahwa barokah itu juga dimiliki atau dibawa oleh gus ke tempat di mana ia mondok akan tetapi, tidak terlalu signifikan layaknya saat ia berada di pesantren orang tuanya. Dan ketiga, ada yang mengatakan ragu-ragu atas keberkahan santri-gus dimaksud.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gus yang masih mondok itu cenderung dianggap tidak memiliki barokah yang menyerupai barokah yang dimiliki oleh anak kiai di mana ia nyantri. Hal ini karena semua santri harus diperlakukan secara sama, meskipun santri tersebut adalah seorang gus di tempat asalnya.

BACA JUGA :  Bayjūrī atau Bājūrī? Sekilas Mutiara Dari Grand Shaykh Al-Azhar ke-19

Secara empiris, barokah memang sulit dibuktikan. Akan tetapi, faktanya banyak ditemukan kisah yang seakan menjustifikasi hal tersebut. Yaitu apa yang diceritakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, “Diceritakan bahwa Khalid bin Walid (pahlawan besar Islam yang merupakan sahabat Nabi berjuluk Pedang Allah) telah kehilangan kopyahnya pada hari perang Yarmuk. Kemudian dia berkata, “kalian semua carilah kopyahku”, akan tetapi mereka tidak menemukan kopyah tersebut. Khalid bin Walid tidak putus asa dan terus mencari hingga akhirnya menemukan kopyah itu yang ternyata ada di belakangnya. Kemudian beliau akhirnya ditanyakan tentang hal yang sedemikian. Beliau kemudian berkata, “Suatu ketika Rasulullah melakukan ibadah Umrah dan ketika beliau memotong rambutnya semua orang berebut untuk mendapatkan potongan rambut beliau, tapi aku berhasil mendapatkan rambut ubun-ubun beliau mendahului yang lain. Kemudian rambut beliau itu aku taruh di kopyah ini. Dan sejak itulah aku selalu selamat dalam peperangan yang aku ikuti dengan membawa kopyah ini, padahal kopyah ini tidak kelihatan seperti membantuku.”

Author: Fahrur Razi