- Hukum Meng-qadha’i Salat yang Ditinggalkan Mayit
Deskripsi Masalah:
Pada suatu hari terdapat seorang yang sudah tua dan memiliki dua orang anak. Setelah anaknya beranjak dewasa, orang tua tersebut jatuh sakit hingga tidak dapat melakukan salat sama sekali. Sakit itu berlangsung selama seminggu sampai akhirnya ia meninggal dunia tanpa mewasiati apapun kepada anak-anaknya. Setelah selesai pemakaman, kedua anaknya berunding untuk meng-qadha’i salat yang telah ditinggalkan oleh ibunya selama sakit.
Pertanyaan:
Apakah boleh meng-qadha’i salat orang yang sudah meninggal. Padahal, salat merupakan ibadah mahḍah?
Jawaban:
Salat merupakan ibadah wajib yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Ibadah tersebut merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya. Sulthonul ulama’ berpendapat bahwa salat tidak perlu di-qadha’ jika telah ditinggalkan tanpa udzur, karena kesempatan melaksanakannya telah hilang. Sebab salat merupakan panggilan privasi dari Allah.
Di dalam beberapa kitab fikih dijelaskan bahwa selama seseorang masih berakal, salat lima waktu wajib dijalankan bagaimanapun keadaannya. Dilakukan semampunya secara berurutan mulai dari keadaan berdiri, duduk, berbaring miring, dan yang terakhir dengan berbaring terlentang sambil mengisyaratkan gerakan salat.
Dengan demikian, tidak dibenarkan jika seorang muslim meninggalkan salat, sekalipun dalam keadaan diikat. Seorang muslim dibenarkan meninggalkan salat hanya ketika tertidur maupun lupa. Itupun harus meng-qadha’nya saat sudah dalam keadaan terjaga (bangun tidur) dan ingat kembali. Kewajiban melaksanakan salat baru tidak berlaku bagi mereka yang hilang akalnya, baik hilangnya akal sebab gila maupun sakit. Oleh karena itu, orang yang jatuh sakit hingga tidak dapat melakukan salat sama sekali, seperti dalam keadaan koma (tidak sadarkan diri), maka tidak memiliki tanggungan qadha’, sebab tidak ter-taklif atas kewajiban salat. Dalam hal ini ghoiru aqil.
Adapun bagi seseorang yang sudah meninggal, ketika semasa hidupnya memiliki tanggungan salat, maka tidak perlu men-qadha’ serta membayar fidyah. Ini karena melihat bahwa salat merupakan privasi hamba terhadap Tuhannya, maka ahli waris dan orang lain tidak boleh meng-qadha’i salat yang telah ditinggalkan si mayit yang telah menjadi tanggungannya, dikarenakan meng-qadha’ Salat yang di tinggalkan mayit bukan termasuk ibadah yang ke-warid (diajarkan) dari Rasulullah.
Ta’bir:
.ﻓﺎﺋﺪﺓ) ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﻓﻼ ﻗﻀﺎء ﻭﻻ ﻓﺪﻳﺔ)
(الشيخ زين الدين عبد العزيز المليبار, فتح المعين بشرح القرة العين, ص ۳)
(ولو مات وعليه صلاة أو اعتكاف…لم يفعل) ذلك (عنه ولا فدية) له
جلال الدين محمد بن أحمد بن محمد المحلي, كنز الراغبين شرح منهاج الطالبين, ص ٤٦٦ ج ۱
(وَلَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يُفْعَلْ عَنْهُ وَلَا فِدْيَةَ) تُجْزِئُ عَنْهُ لِعَدَمِ وُرُودِ ذَلِكَ
(أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي, تحفة المحتاج في شرح المنهاج, ص ٤٣٩ ج ٣
- Ghasab Berkedok Menyelamatkan Al-Qur’an
Deskripsi Masalah:
Suatu hari seorang santri bernama Andi meletakkan al-Qur`an-nya (secara sengaja lalu lupa) di ventilasi kamar mandi, melihat hal itu Udin memindahkannya di meja tengah aula pondok dengan tujuan untuk meletakkan di tempat yang lebih layak.
Pertanyaan:
- Apakah yang dilakukan Udin termasuk kategori ghasab?
- Jika al-Qur`an tersebut hilang, apakah Udin wajib menggantinya?
Jawaban:
- Iya, termasuk Ghasab.
تعريفه: الغصب – في اللغة – أخذ الشئ ظلما. وشرعا: هو الإستيلاء على حق غيره عدوانا.
والمراد بحق غيره: ما كان عينا كدار ونحوها، أو منفعة كسكنى الدار بغير رضاه، أو اختصاصا ككلب صيد ونحوه، وكحق الشرب ونحوه.
وقولنا: (عدوانا) أي على جهة التعدي والظلم، أي بغير رضا من صاحب الحق، بل قهرا عنه. فلو أكل طعام غيره بغير إباحة منه ولا عقد فهو غصب. ولو سكن دار غيره بغير رضاه، فهو غاصب، ولو أعطاه أجرة. ولو جلس على فراشه بغير إذن منه فهو غاصب أيضا، وهكذا.
(مصطفى سعيد الخن و المصطفى البغا, الفقه المنهجي علي مذهب اللإمام الشافعي, ص ٢۱٥ ج ٧)
- Wajib Ḍaman (Mengganti)
وَلَوْ رَفَعَ شَيْئًا بِرِجْلِهِ بِالْأَرْضِ يَنْظُرُ جِنْسَهُ ثُمَّ تَرَكَهُ فَضَاعَ لَمْ يَضْمَنْهُ، قَالَهُ الْمُتَوَلِّي وَقَوْلُ بَعْضِهِمْ إنَّ نَظِيرَهُ رَفْعُ سَجَّادَةٍ بِرِجْلِهِ لِيُصَلِّيَ مَكَانَهَا فَمَحْمُولٌ عَلَى رَفْعٍ لَمْ يَنْفَصِلْ بِهِ الْمَرْفُوعُ عَنْ الْأَرْضِ عَلَى رِجْلِهِ وَإِلَّا ضَمِنَهُ كَمَا لَا يَخْفَى إذْ الْأَخْذُ بِالرِّجْلِ كَالْيَدِ فِي حُصُولِ الِاسْتِيلَاءِ
[الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب، ٤٧٠/٣]
- Hukum Pembacaan Ha’ Dhamir pada kalimat عَلَيْهُ
Deskripsi Masalah:
Dalam surat al-Fatḥ ayat 10, terdapat lafal عليه yang merupakan susunan jār majrūr dengan huruf jer على dan majrur-nya berupa isim dhamir ha’.
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا.
Pertanyaan:
- Mengapa dalam lafal عَلَيْهُ ḍamīr-nya diharakati ḍammah? Padahal lafal tersebut jatuh setelah ya’ sukun?
Jawaban:
Al-Qur`an merupakan sumber ilmu yang tidak ada habisnya untuk dikaji, baik ditinjau dari segi linguistik, histori, ataupun hukum. Dapat diketahui masing-masing surah memiliki asrar yang berbeda beda, bahkan jarang atau tidak ditemui di kitab lainnya. Seperti adanya bacaan tashīl, tanda pen-i’raban yang berbeda dengan kaidah pada umumnya, lafal-lafal yang gharib, atau makna lafal tidak dapat dipecahkan oleh para ulama.
Seperti halnya dalam surah al-Fatḥ ayat 10, ha’ ḍamīr pada lafal عليه tidak dibaca kasrah, melainkan dibaca ḍammah karena untuk mengagungkan (للتعظيم)kata setelahnya, yakni lafal jalālah (الله). Adapun ulama yang membaca ḍamīr tersebut dengan ḍammah adalah Imam Hafsh.
Pembacaan lafadz عَلَيْهُ dengan di- ḍammah ha’ nya adalah berdasarkan ketentuan dari penduduk Hijaz. Mereka menetapkan ḍammah nya ha’ sebagai tanda yang asli ketika huruf sebelumnya berupa ya’ atau sukun.
Ta’bir
وَمَنْ أَوْفى بِما عاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ اى ثبت على البيعة قرأ حفص بضم الهاء تعظيما للجلالة والباقون بالكسر
(وهبة الزحيلي, تفسير المنير ص ٤٨٥ ج ۱۳)
” وما أنسانيه، وعليه الله” على قراءة عاصم في رواية حفص فلعله على لغة أهل الحجاز فإنهم يبقون ضمة الهاء على الأصل وإن كان ما قبلها ياء أو كسرة نحو بهو ولد يهو…
شمس الدين أحمد المعروف بديكنقوز أو دنقوز ,شرحان على مراح الأرواح في علم الصرف, ص ۳٨
Pada ayat ini, ḍamīr ha’ dibaca ḍammah berdasarkan qiraat nya Imam Ashim dari riwayat Hafsh. Di dalam kaidah qiroat mutawatir terdapat 3 ketentuan yang harus terpenuhi, yaitu: sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan salah satu rasm Usmani, dan sanadnya mutawatir. Pada kasus-kasus tertentu, ada qiroat mutawatir yang bertentangan dengan kaidah bahasa arab, contohnya dalam ayat ini. Namun, patokan utama dalam qiraat mutawatir adalah sanadnya. Jadi, ketika ketiga kaidah tersebut bertentangan, maka yang didahulukan adalah sanad yang mutawatir.
Ta’bir:
والقرءاة المتواترة هي: “كل قراءة وافقت العربية مطلقا ووافقت احد المصاحف العثمانية ولو تقديرا وتواترا نقلها”. بل إن التواتر إذا ثبت لا يحتاج فيه إلى ركني موافقة الرسم و العرابية, إذ ما ثبت من أحرف الخلاف متواترا عن النبي صلى الله عليه وسلّم وجب قبوله,وقطع بكونه قرآنا سواء وافق الرسم أم خالفه.
(عبد العليّ المسئول, القراءات الشاذة ضوابطها والإحتجاج بها في الفقه والعربية, ص ٥٢-٥۳)
كل قراءة وافقت اللغة العربية ووافقت رسم احد المصاحف العثمانية و ثبت بطريق التواتر……وينبغي أن يعلم أن أهم هذه الأركان هو الركن الثالث, والركن الأولين لازمان له إذ أنه متى تحقق تواتر القراءاة لزم أن تكون موافقة للغة العرب, ولأحد المصاحف العثمانية, فالعمدة هو التواتر.
(عبد الفتاح القاضى, القراءات الشاذة وتوجيهها من لغة العرب, ص ٧)
- Apakah selain pada ayat al-Qur’an diperbolehkan membaca demikian?
Jawaban:
Boleh (meskipun tidak berlaku).
Menurut pendapat penduduk Hijaz bahwa ha’ ḍamīr ghaib itu hukumnya dibaca ḍammah secara mutlak.
ومثاله في هاء الغائب (فقال لصاحبه وهو يُحاورُه) ولغة الحجازيين في هاء الغائب الضم مطلقا، وهو الأصل، فيقولون: ضرته، ومررت بهُ، ونظرت إليهُ. ولغة غيرهم الكسر بعد الكسرة أو الياء الساكنة إتباعا، وبلغة غيرهم قرأ القرّاء إلا حَفْصًا في (وما أنْسانِيهِ إلا الشيطان) و (بما عاهد عليهِ الله) وحمزة في (لأهلِه امْكثوا) في الموضعين، فإنهما قرآ بالضم على لغة الحجازيين.(جمال الدين محمد بن عبد الله بن عبد الله الطائى الجيانى الأندلسى, شرح التسهيل لابن مالك ص ۱۳۱-۱۳٢ ج ۱)