Beranda > Keilmuan Islam > Epistemologi Hijrah

Epistemologi Hijrah

Sebagai langkah menuju kebaikan, manusia diberi kesempatan untuk terus membenahi diri sendiri terlebih dahulu sebelum berusaha membenahi diri orang lain atau komunitasnya. Melihat kondisi zaman yang serba ingin menjadi tampil baik, sebuah konsep hijrah sering diungkapkan di berbagai tempat, terutama di kalangan anak muda yang sedang dalam masa menggebu-gebu ingin tampil lebih baik dari yang lain. Dalam hal ini, di kalangan pemuda/i sering menyebutnya sebagai langkah hijrah, dan itu dimaknai sebagai langkah untuk membenahi diri dari yang semula dirasa kurang baik menjadi lebih baik lagi.

Tentu sudah tidak asing lagi mendengar istilah ini, dan bukanlah sebuah aspek negatif jika gerakan hijrah ini menjadi marak terjadi di Indonesia, setidaknya dengan sering disuarakan pengertiannya dengan tujuan orang awam akan dengan mudah mengenali kebaikan. Siklus ini akan terus berputar selagi terus disuarakan oleh kalangan mayoritas, sehingga masyarakat tidak merasa tabu jika melihat banyak komunitas berlomba-lomba dengan berbagai cara membenahi diri menuju kebaikan.

Pemaknaan hijrah menjadi sangat tren tidak lain karena jasa Nabi Muhammad yang mengajak umatnya untuk pergi menuju Madinah berdasarkan wahyu Allah untuk berhijrah ke Madinah yang berarti meninggalkan kota Makkah untuk sementara waktu.

Sebagai sosok yang membawa ajaran kebenaran hakiki, hijrah Nabi berdampak kuat pada era-era setelahnya. Yang nyata terlihat yakni dampak hebat dalam kajian al-Qur’an dengan bukti adanya dua bagian ayat; Makkiyah dan Madaniyah. Antara ayat Makkiyah dan Madaniyah memiliki karakter yang berbeda dalam memberikan petunjuk bagi manusia. Selain karena faktor sosio-kultural antara Makkah dan Madinah yang berbeda, juga karena kualitas keimanan antara dua masyarakat tersebut berbeda pula.

Selain menjadi dampak yang luar bisa bagi perkembangan keilmuan Islam, hijrah juga memberikan sensasi tidak kalah hebat bagi peradaban dunia. Bahkan hingga kurun milenial (generasi yang lahir pada 1980 – 2000an), arus hijrah menjadi perbincangan dan fenomena sosial yang begitu besar meski menuai pro-kontra mengenai maksud dan tujuan hijrah. Fenomena ini diperkirakan menjadi arus positif bagi perkembangan Islam di Indonesia. Sebagai contoh pada Nopember 208 lalu dalam sebuah acara fashion, kuliner, seminar yang dikumpulkan dalam Hijraf Fest. Tema yang diangkat ‘perubahan menjadi lebih baik’, disinyalir dapat memberikan angin segar dan semangat baru dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadi lebih baik.

Epistemologi Hijrah

Dalam berbagai literatur kitab, hijrah memiliki pergeseran makna yang cukup luas. Hal demikian terjadi karena memang makna hijrah sendiri secara bahasa yakni berpindah. Sehingga dengan pemaknaan yang sangat luas ini menimbulkan banyak makna turunan lain. Ibnu al-Mandhur mengatakan, asal mula sejarah seseorang dikaakan muhajir adalah dari fenomena berpindahnya orang-orang Arab suku Badui yang meninggalkan kampung halaman menuju kota. Setelah itu beliau memberikan analisa lebih menarik lagi, bahwa hijrab bukan sekedar berpindah tempat dari satu empat ke tempat yang lain, tetapi memiliki unsur bathin dimana perpindahan dari rumah asalnya menuju ridha Allah.

Sebagian lagi memberikan pemaknaan, hijrah hanya terjadi pada masa Nabi Muhammad saja. Dalih yang digunakan oleh pendapat ini yakni bahwa hijrah tidak bisa dikatakan jika dia sudah berada pada situasi yang baik dan penuh dengan ketentraman. Sehingga hanya orang-orang yang pernah bertemu Nabi kemudian menjadi iman yang dikatakan berhijrah. Hal ini berdasarkan bahwa mereka berpindah dari yang semula tidak iman menjadi ima kepada Nabi. Sedangkan muslim milenial, sejak dilahirkan dia sudah dalam keadaan rahmat karena terdapat al-Qur’an dan bimbingan-bimbingan ulama. Keadaan demikian menghantarkan umat Islam mendapat rahmat sebagai umat Nabi Muhammad sejak lahir.

Sebagian memberikan pemaknaan hijratayn (dua hijrah) secara mutlak, yang dikehendaki adalah hijrahnya Nabi Muhammad ke Habasyah dan ke Madinah. Kedua hijrah ini merupakan hijrah terbesar Rasulullah, baik jasmani maupun rohani. Dengan memakai makna hijrah pada tahap ini, hijrah diambil makna sebagai perpindahan dari sebuah tempat awal ke tempat kedua, karena menyangkut nama kota Habasyah dan kota Madinah. Sebagian lagi memberikan definisi hijrah sebagai sebuah perpindahan secara non-fisik, dengan perpindahan jenis ini sanat erat kaitannya dengan taubat. Sebagaimana dalam sebuah hadits:

BACA JUGA :  Kerendahan Hati

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِىُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى عَنْ حَرِيزِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى عَوْفٍ عَنْ أَبِى هِنْدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا ».

Mu’awiyah pernah berkata; saya pernah mendengar Rasulullah bersabda “hijrah tidak akan pernah terputus hingga terputusnya taubat. Dan taubat tidak akan terputus sehingga matahari sudah terbit dari tempat terbenamnya (Barat)”.

Hadist ini memiliki arti sekaligus dilalah lafẓiyah, hijrah akan terus eksis dalam syari’at Islam, sebagaimana eksistensi taubat yang tidak akan terus berhenti selama manusia masih hidup di dunia. Antara hijrah dan taubat memiliki kedekatan makna yang cukup mencolok, sehingga dalam hadist ini Nabi begitu menyejajarkan kata hijrah dengan taubat, yang artinya berpindah dari yang sebelumnya baik menuju hal yang lebih baik. Pemaknaan ini sejalan dengan pemikiran Abu al-Ṭayyib Muhammad Shamsu al-Haqq yang memberikan perincian dan penjelasan bahwa sebagai bentuk berpindah dari kekafiran menuju agama Islam, akan selalu terbuka bagi siapa saja yang menghendakinya.

Dengan mengambil contoh hadist ini, kita dapat memahami bahwa hijrah dekat sekali maknanya dengan taubat. Taubat yakni sebuah usaha dengan unsur kegelisahan yang dilakukan seorang hamba untuk kembali menuju kebaikan setelah adanya keburukan atau dosa yang dilakukan. Bahkan dalam sebuah pendapat masyhur, seseorang yang telah menyesali perbuatan sudah ternilai sebagai taubat. Abu Manṣur mengatakan bahwa pokok dari taubat yakni kembali kepada syari’at dan ajaran Allah. oleh karena itu, Allah men-sifati diriNya dengan al-Tawwāb, yaitu Dzat yang maha menerima taubat seseorang. Secara teoritis, al-Tawwāb merupakan imbas dari taubat yang dilakukan oleh hamba karena seorang hamba yang meminta, yang bertaubat. Sebagai imbasnya, dengan Kehendak Allah Dia menerima taubat hamba dan memberikan sifat pada Dzatnya sendiri dengan al-Tawwāb Sebagaimana firman Allah:

وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

﴿النساء: ١٦﴾

Dan terhadap dua orang yang telah melakukan perbuatan keji (dosa) dianara kalian semua, maka berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Karena hijrah memiliki kedekatan makna yang sangat erat dengan taubat, maka hijrah menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam kacamata syari’at Islam bahkan memiliki kedudukan yang paling penting dalam kaidah-kaidah agama. Namun bukan hanya pendapat longgar ini saja yang mengatakan bahwa hijrah adalah sama dengan taubat, karena terdapat hadist lain yang menyatakan hijrah sudah tidak ada lagi di zaman sekarang, karena tidak terdapat hijrah setelah terjadinya Fathu Makkah. dalam sebuah hadith :

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا يزيد بن زريع ثنا خالد الحذاء عن أبي عثمان عن مجاشع بن مسعود قال قلت : يا رسول الله هذا مجالد بن مسعود يبايعك على الهجرة فقال لا هجرة بعد فتح مكة ولكن أبايعه على الإسلام (أحمد بن حنبل : مسند أحمد بن حنبل )

Ibnu Mas’ud berkata : aku berkata “wahai Rasul Allh, ini adalah pakaian kulit Ibnu Mas’ud yang dapat Engkau gunakan untuk berhijrah nanti”. Rasulullah menjawab : “tidak ada hijrah setelah terjadinya Fathu Makkah, tetapi aku jual pakaian itu untuk Islam”.

Sebagian ulama mengatakan hijrah jenis ini yakni hijrah yang bermakna berpindah secara fisik dari satu tempat menuju tempat lain. Dan situasi Nabi saat itu setelah Fatḥu Makkah, oleh karena itu beliau mengatakan tidak akan berhijrah kesekian kali setelah terjadinya Fathu Makkah, karena hijrah yang beliau kehendaki adalah berpindah tempat.

Hijrah Era Milenial

Milenial merupakan sebuah era yang terhitung dimulai dari tahun 1980 an sampai 2000-an. Orang-orang yang lahir didalam kurun waktu tahun tersebut, dapat dikategorikans ebagai orang-orang milenial. Hari-hari ini generasi milenial semakin gencar membicarakan persoalan hijrah. Ramainya perbincangan mengenai hijrah ini bisa terjadi karena beberapa faktor, bisa jadi karena memang ingin berpindah dari yang semula dirasa kurang baik menuju yang lebih baik, atau juga karena faktor terbawa suasana lingkungan.

BACA JUGA :  Antara Khusyu' dan Jama'ah

Hijrah bukan hanya sekedar merubah penampilan dari yang semula tidak sopan secara etika sosial kurang tertutup dan terlalu vulgar menjadi berpenampilan makin rapi, tidak vulgar, modis, dan terlihat lebih sopan secara etika sosial.

Sebenarnya persoalan penampilan, hal yang paling penting diperhatikan yakni mengenai aurat. Sebagaimana fungsi utama pakaian merupakan sebagai pelindung diri dan penutup aurat. Jika sebuah pakaian sudah mampu menutup aurat dengan sempurnya, maka hal demikian sudah dapat dikatakan sebagai pakaian yang sopan. Adapun kaitannya dengan keindahan tampilan pakaian, itu sebenarnya adalah murni selera dari setiap orang dan tidak bisa diambil satu ketentuan khusus mengenai ini.

Karena hal yang paling diperlukan di era milenial adalah menyangkut etika dan kesopanan, maka konsep hijrah yang paling tepat digunakan adalah hijrah dalam arti meniatkan diri menuju sebuah kebaikan yang hakiki dalam kacamata agama. kebaikan bukan hanya dalam sisi ẓahir, seperti penampilan dan segala hal yang dapat dilihat mata. Tentu kemudian untuk mewujudkan kebaikan ini memiliki berbagai tahap tertentu, tidak hanya satu tahap. Tahap pertama dapat dilakukan dengan menjaga ucapan, menjaga pandangan mata, menjaga penampilan, dan segala hal yang memiliki nilai-nilai kesopanan. Setelah hal ẓahir dapat dikendalikan dengan baik, maka tahap kedua yakni membenahi hati dengan melatihnya agar tidak memiliki penyakit hati.

Penyakit hati yang mampu merusak segala anggota ẓahir adalah berkhianat kepada sesama, ingkar janji, adanya dendam atau kebencian dalam hati, berprasangka buruk terhadap sesama, dan memiliki rasa iri terhadap sesama. Penyakit-penyakit ini yang menjadikan seseorang tidak dipandang positif dalam kehidupan sosial dan agama. Adapun gerakan melawan penyakit hati ini adalah bagian dari hijrah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyūṭi, termasuk bagian hijrah adalah sebuah usaha untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan (fadhail), dengan penuh kesungguhan dan berniat kebaikan dalam segala hal.

Termasuk juga dalam bentuk hijrah adalah penggunaan sosial media dengan benar dan baik. Dengan mudahnya media sosial di akses, akan memanjakan kaum milenial. Bahkan semua orang dalam bertindak dan melalukan apa pun dalam media sosial. Tidak jarang pula, media sosial digunakan dengan semena-mena dan menimbulkan kerugian pada orang lain. Maka, membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan agama yang baik akan sangat berguna dalam perjalanan hijrah seseorang dari kebuasaan buruk menjadi baik.

Selain media sosial, perkembangan tren juga merupakan hal yang harus di waspadai, karena tidak semua yang mengikuti tren adalah keren.

Singkatnya, diantara hal yang perlu untuk diperhatikan oleh orang milenial dalam berhijrah adalah (1) menjaga diri, baik dari segi prilaku, hati, dan juga pakaian. (2) menggunakan media sosial dan internet dengan penggunaan yang penuh manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. (3) mengikuti tren bukanlah hal yang selalu keren, bagaimanapun juga, tren adalah siklus yang terjadi di setiap kehidupan manusia, kemungkinan baik dan buruknya juga akan sangat banyak. (4) Google bukanlah seorang guru, menggunakan google dengan baik adalah langkah yang perlu diperhatikan untuk berhijrah. Jadilah diri yang baik dengan cara yang baik. 🙂

Refrensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Ibnu al-Mandhur, Lisān al-Arāb.

Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal.

Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dāwud.

Abu al-Thayyib Muhammad Shamsul Haqq, ‘Aun al-Ma’būd Sharh Sunan Ab Dawud.

Abdurrahman bin Abi Bakr, Jalal ad-Din as-Suyuthi, Ḥashiyah al-Suyūṭy ‘alā Sunan al-Nasāiy.

Sayyid Abi Bakr Syatho, Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Aṣfiyā’.

Suara Muslim, dalam https://m.republika.co.id/berita/puyv6k349/fenomena-hijrah-kaum-milenial

Retizen Republika, dalam https://suaramuslim.net/hijrah-kekinian-di-zaman-milenial/

 

*Bayu Narimo

Salah satu guru Muhadlarah Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *