Beranda > Keilmuan Islam > Tradisi Sorogan Kitab sebagai Langkah Awal Menjaga Manhaj Salaf

Tradisi Sorogan Kitab sebagai Langkah Awal Menjaga Manhaj Salaf

Tradisi Sorogan Kitab sebagai Langkah Awal Menjaga Manhaj Salaf

Tradisi yang selalu melekat dan menjadi sebagian ruh pesatren yang mengikuti manhaj salaf yakni sorogan kitab. Sejak abad awal Islam masuk di Indonesia, salah satu metode yang ditanamkam dalam diri santri adalah mengasah kemampuan membaca, baik membaca al-Qur’an maupun kitab, dengan menyodorkan hasil bacaan atau praktek membaca pada seorang guru.

Metode ini diyakini oleh ulama-ulama Nusantara abad dahulu sebagai metode penerapan ilmu yang cukup dapat memberi pengaruh positif yang pesat bagi seorang murid. Seperti yang tergambar dalam buku Khazanah Tafsir di Indonesia yang merupakan hasil penelitian perkembangan dan metode tafsir di Nusantara, menyebutkan bahwa sejak semula para tokoh agama di Indonesia, menerapkan metode ini dalam sebuak surau (baca: bilik-bilik kecil) tempat dimana para santri belajar dan membaca al Quran serta kitab sesuai tingkatan belajar masing-masing.

Kegiatan dimana seorang murid mempraktekkan membaca dan memberi murād pada kitab-kitab terdahulu atau turāth. Kegiatan ini merupakan sebuah kegiatan yang begitu positif dalam membantu mengembangkan pola pikir dan daya asah pikiran murid dalam menganalisa redaksi-redaksi kitab dengan analisis yang tajam. Secara teknis merupakan kegiatan murid yang dilatih memahami dengan memadukan berbagai ilmu-ilmu dasar bahasa Arab dengan penerapan yang benar. Secara langsung, dihadapannya terdapat guru yang siap membimbing dalam praktek pembacaan kitab. Dengan begitu, daya analisa yang dimiliki oleh murid akan dapat berkembang dengan baik melalui pola penerapan I’rāb dan Murād.

Secara umum, metode sorogan dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, mempraktekkan membaca sebuah redaksi kitab kemudian guru memperhatikan sekaligus menyimak hasil bacaan murid. Kemampuan yang diasah murid dalam metode sorogan seperti ini bukan murni hafalan, namun ia dituntut untuk menganalisa kandungan-kandungan bacaan dalam sebuah redaksi Matan. Kedua, sorogan dengan metode hafalan. Dalam tradisi pesantren kegiatan demikian sering dinamakan dengan muhāfaẓah yang memiliki arti menghafal. Kegiatan yang kedua ini santri benar-benar dituntut menunjukkan hasil hafalannya atas sebuah naskah kitab, yang disemak guru pengampu secara langsung. Dalam tradisi pondok-pondok Al-Quran, sorogan jenis ini hampir rutin dilakukan setiap saat. Persaman dari kedua jenis sorogan ini yakni murid berusaha menunjukkan kemampuan di dalam segi bacaan maupun hafalan yang langsung disemak oleh guru.

BACA JUGA :  Nama-Nama Filosofis di Balik Kemuliaan Bulan Rajab

Dalam tradisi ulama dahulu, menerima sebuah hadits terdapat beberapa metode dan cara dimana seorang murid membacakan apa yang dia dapat kepada seorang guru al-‘Ālim, dalam kajian hadits dinamakan dengan Ṭuruq Taḥammul al-ḥadīth. Salah satu kajian yang paling populer yakni al-gharaḍ atau gharḍ al-Qur’an.

 

Kegiatan membacakan sebuah redaksi kepada guru dalam sebuah pendapat dinilai sebagai sebuah metode pembelajaran yang paling baik. Dikatakan demikian karena dalam metode pembelajaran seperti ini, kedustaan dalam kajian keilmuan akan sangat minimal ditemukan karena seorang guru yang menyemak santrinya. Kemudian sang guru akan membenarkan dan mengingatkan jika terdapat bacaan yang kurang maupun salah. Sehingga kontak batin antara guru dan murid dalam ilmu akan terus tersambung selama kegiatan sorogan berlangsung. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Haramayn :

وشرط امام الحرمين في الشيخ أن يكون بحيث لو وقع من القارئ تحريف أو تصحيف لرده

Imam al-Ḥaramayn memberikan persyaratan kepada seorang guru, hendaknya harus orang yang mampu membenarkan jika terjadi perubahan maupun kesalahan bacaan dari murid.

Salah satu tokoh besar dalam Islam bahkan memiliki pengaruh yang segnifikan dalam kancah perkembangan keilmuan Islam, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i atau Imam Syafi’i, memiliki keilmuan yang tajam diantaranya karena memakai metode al-Qirāah alā al-Shaykh (sorogan) ini.

BACA JUGA :  Masjid Al-Kuu’; Yang Tersisa dari Perjalanan Umrah

Dalam sebuah kisah yang masyhur didengar, saat hendak mengaji pada sang guru, Malik bin Anas atau Imam Malik, yang pertama Imam Syafii lakukan adalah membaca sebuah kitab dengan hafalan kepada Imam Malik. Bahkan tidak tanggung, kitab yang dibaca yakni al Muwaṭṭa’ , kitab orisinil karya Imam Malik. Secara tidak langsung, metode pembelajaran yang dialami oleh Imam Syafii ini menjadi awal mula perjalanan Imam Syafii menjadi tokoh besar dalam Islam; Ṣāḥib al madhhab al Syāfi’i.

Dengan demikian, pengaruh yang dihasilkan dari metode membaca maupun menghafalkan teks kitab di hadapan guru merupakan metode pembelajaran yang begitu membawa dampak positif bagi murid, sekaligus langkah dalam rangka mengenal pola redaksi dalam kitab. Oleh karena itu, sorogan selalu di terapkan dalam metode pembelajaran kebanyakan pondok pesantren di Indonesia. Sebuah keniscayaan banyak tokoh-tokoh besar Indonesia yang lahir juga tak lepas dari metode sorogan kitab ini. Mari kita jaga tradisi lama yang sangat baik ini dengan terus nguri-nguri dan menerapkan dalam lingkungan. Bukan hanya di pondok saja, di rumah pun sangat bisa untuk diterapkan.

 

Refrensi :

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Uṣūl al-Ḥadīth : ‘Ulūmuhu wa Muṣālahuhu.

Islah Gusmian, Sejarah Perkembangan Tafsir di Indonesia.

 

*Bayu Narimo

Salah satu guru Muhadlarah Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *