Beranda > Senggang > Cerpen Santri > Cinta Terakhir Syam

Cinta Terakhir Syam

Hanya ada satu kata mewakili rasa ini; Cinta.

November 2011, semburat kemerahan tertahan didahan-dahan pepohonan matoa, angin barat menyapu keindahan panorama ampat, cendrawasih singgah dipepohonan rindang daunya, menyapa ribuan pasang hati yang telah memilih Papua sebagai tujuan utama.

Muhammad Syamsuddin, pria berdarah Jawa ini menapakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanah Papua pukul 13.00 WIT setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam dari Surabaya-Jayapura tanpa transit. Sandal jepit berwarna hijau temani kakinya berjalan menapaki bandara Sentani-Jayapura mencoba mengedar pandang tak ada yang seperti dirinya; berpeci hitam, bersarung, baju koko warna merah hati, dengan tas punggung yang tak tentu warnanya, memang tas usang tua peninggalan pamannya.

Bingung satu kata yang wakili rasanya kala itu. 15 menit berlalu hanya dengan duduk dan berteman satu botol air putih 600 ml seharga Rp.11.000, diteguk hingga tegukan terakhir. Mata, dan tubuhnya mulai tak terkontrol dan mengajaknya untuk tertidur di ruang tunggu bandara dengan menyandarkan kepala pada tas punggung usang. Tak lama suara gertakan agak lantang memecah tidur siangnya. Perlahan ia membuka mata dan mulai menangkap sosok tinggi besar dengan rambut ikalnya. Syam mengerjap dan berdiri sempoyogan dengan suasana hati gugup. Pria tinggi besar itu berkata;

“Muslim? Sudahkah ko orang sholat siang, Kakak?” tanyanya dengan dialek khas Papua.

“Belum, Mas. Eh, Kakak.”

“Mari-mari sa antar kakak sholat dulu!” jawabnya dengan mempersilahkan Syam berjalan di depan.

Syam Masih bertanya-tanya dalam hati tentang sosok laki-laki hitam legam yang sekarang berdiri di depan toilet bandara menunggunya. Siapa dia? dari mana? Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikirannya, entahlah dia masih bingung akan semuanya. Hampir setengah jam Syam sholat dan laki-laki itu masih bertahan dan menunggunya di Pos Security. Waktu menunjukkan pukul 14.15 WIT, Syam memberanikan diri untuk menghampiri laki-laki tinggi besar itu dan berkenalan.

“Nama saya Syamsuddin, panggil saja Syam”

Sa punya nama, Bertus, Kak”

“Terima kasih telah membangunkan saya, ya!”

“Sama-sama, Kakak”

Jawaban yang ringan, Sama-sama. Hal ini mengingatkan Syam akan kehidupan Nabi Muhammad SAW yang begitu indah dalam balutan kisah damai antara penduduk asli Madinah baik dengan Yahudi ataupun Nasrani yang diwakili dengan kata BERSAMA.

Percakapan terjadi antar keduanya dan tiba-tiba Bertus mengajaknya untuk bermalam di rumahnya pasal sebentar. Syam pun mengiyakan permintaan Bertus, lagipula dia memang membutuhkan tumpangan karena jujur saja kedatanganya ke Papua adalah adanya unsur ketidaksengajaan, hanya karena ia tertarik akan pesona papua dan ingin berdakwah disana berbekal ilmu dari Pondok Al-Anwar yang ia kantongi 10 tahun lebih.

 

Rumah Bertus tak begitu jauh dari Bandara Sentani hanya berkisar 15 menit perjalanan dengan mobil, dan ternyata Bertus adalah kuli angkut bandara. Syam mengetahui pekerjaan Bertus saat mereka dialog diatas motor Astrea tua milik Bertus. Di perjalanan Syam masih terngiang-ngiang akan peristiwa di bandara saat Bertus membangunkannya untuk Sholat Dzuhur dan dia mencoba untuk bertanya.

“Mengapa kau begitu baik Bertus dan mengapa kau bangunkan aku untuk sholat?”

Katong semua bersodara, Kakak. Sa hanya membantu,” jawabnya sembari masih fokus dengan setir.

“Alasanmu?” tanyaku menyelidik.

“Tak ada alasan, Kakak. Sa hanya membantu,” jawabnya dengan antusias.

Sampai di rumah Bertus disambut ibunya Mama Yohana yang keluar rumah dengan daster kuning menyala yang kontras dengan kulit hitam dan rambut disanggul ke atas. Syam menyalaminya, mengucapkan selamat sore dan izin menginap pasal sebentar di rumah dengan gaya arsitektur modern namun dengan sentuhan khas Papua mirip Honai.

BACA JUGA :  Ingat-Ingat Sesaat

“Mama,” Syam memangil Bu Yohana dengan sebutan itu atas permintaan beliau.

 

***

Malam merangkul Jayapura, suara jangkrik dan binatang kecil bertalu mengalahkan suara televisi, angin berbisik-bisik memberi kabar bahwa perjalanan dimuali dari sini.

“Syam bangun, Nak. Sudah jam 04.30 sholat shubuh sana!”

“Iya, Mama. Syam bangun sekarang”

Jam menunjukkan pukul 07.15 WIT, setelah sarapan dengan papeda dan kuah kuning Bertus mengajak Syam untuk keliling perkampungan. Semalam Syam bercerita tentang tujuannya datang ke Tanah Papua. Perkampungan yang tidak terlalau besar namun memiliki kekhasan yang berbeda. Aroma melati depan rumah warga memanjakan hidung Syam. Sesekali ia di- calak oleh anjing-anjing, dan menerima sapaan manis dari wanita-wanita karena memang paras wajah yang manis khas laki-laki jawa.

Bertus berhenti di pertigaan kampung dan mengajak Syam untuk melihat keramaian yang terjadi. Ternyata saat itu ada anjing ditabrak oleh sepeda motor. Tak ada yang menolong anjing sekarat itu karena jijik akan darah yang mengalir, namun dengan hati dan jiwa kemanusiaan Syam langsung membopong tubuh anjing malang itu ke samping jalan dan mengelusnya namun anjing itu mati sepersekian detik setelahnya. Didepan rumah warga banyak mata yang melihat wajah asing itu terheran-heran siapa gerangan laki-laki muda dengan paras menawan itu.

Syam menjadi sorotan kembali saat ia dan Bertus memutuskan untuk mengubur bangkai anjing itu di belakang lapangan desa. Selesai mengubur bangkai anjing Syam di tanyai oleh beberapa warga terkait identitasnya. Syam adalah pemuda ramah dan gamapng bergaul dengan siapa pun meski terkadang terlihat gugup. Berkat kecakapanya warga dengan sangat terbuka menerimanya, tak terasa waktu berlalu Syam berpamitan dengan beberapa ibu yang mengajaknya ngobrol soal Jawa dan semua yang membuat mereka terpesona.

Matahari mulai tampakkan sinar cerahnya beri tahu bahwa dzuhur memasuki jatahnya dan perut mulai sedkit kehilangan asa. Di rumah, Mama Yohana telah menyiapkan ubi rebus dengan teh manis. Syam merasa bahwa inilah Islam sesungguhnya bahwa ketika kita mau berbuat baik maka pintu-pintu kebaikan akan terbuka dengan sendirnya seperti apa yang telah diajarkan oleh Baginda Rosul Muhammad SAW. dalam menjalani kehidupannya.

Hari itu tepat hari kamis. Setelah makan siang dan sholat Syam memutusukan untuk tidur sejenak sekedar menghilangkan penat. Dalam tidur siangnya ia bermimpi bahwa Kiai Pengasuh pondoknya dulu berkata;

“Nak, kamu dapat amanah untuk menampakkan wajah Islam sesungguhnya yang damai dan ramah dengan perbedaan,” Seketika itu Syam terbangun dan menangis. Syam kemudian membersihkan diri dengan wudhu dan memutuskan untuk duduk di teras depan rumah sendirian. Bertus sedang tidak ada di tempat ia mengantarkan Mama Yohanna mengantar pesanan jahitan. Kebetulan Mama Yohana adalah penjahit yang cukup mahsyur di desa.

 

Thomas kecil muncul dan mengundang Syam untuk jamuan dari Bibi Isabella yakni makan malam di rumahnya. Bersama Bertus, undangan yang betul-betul mengejutkan karena baru dua hari ia di sini namun masyarakatnya menerima dengan lapang kedatangannya. Ia menjadi perhatian seluruh pasang mata yang ada disana; sarung coklat, peci putih, baju koko ungu dan sandal japit ala santri yang dipakainya dengan harga 7500.

BACA JUGA :  RASA RINDU YANG MENGUAP

Syam pun tercengang melihat kondisi rumah bibi Isabella yang luar biasa megah dan tamu yang datang semua memakai setelan jas yang rapi dan terlihat berwibawa tak sepertinya dan Bertus yang biasa-biasa saja.

Ternyata setelah Syam bertanya dengan Bibi Isabella tentang acara malam ini selain jamuan makan malam juga membahas tentang masalah adanya pendatang yang ingin menjadi bagian dari kampung Distrik Hitam untuk mendirikan badan usaha dengan melibatkan masyarakat asli dalam pengembangannya. Syam kembali tercengang karena adanya ia di perjamuan malam kala itu sebagai penasehat kampung yang telah dimusyawarahkan dengan warga sebelumnya karena pendatang yang ingin melakukan usaha di daerahnya dengan pegawai dan stafnya merupakan muslim.

Dengan pertimbangan akhlak Syam yang begitu baik dan jiwa kepedulian yang tinggi bahkan terhadap seekor anjing, maka masyarakat kampung distrik memilihnya untuk menjadi penasehat. Awalnya Syam ragu dengan pernyataan Bibi Isabella namun ia teringat akan Peristiwa Piagam Madinah dimana perjanjian dibuat atas kesepakatan bersama melibatkan Yahudi, Nasrani, dan Islam untuk bekerjasama menjalin hubungan yang baik, hidup berdampingan dengan saling menghargai dan membantu satu sama lain.

Syam memutuskun untuk ikut andil membahas mengenai badan usaha yang akan melibatkan pendatang dan masyarakat pribumi. Dalam hatinya terbersit ragu, apa aku mampu? Namun tekad sebagai muslim dan penerus perjuangan Nabi ia melakukannya dengan sangat baik, kopiah dan sarung adalah identitasnya, ramah tamah adalah wujud dari wajah Islam yang sesungguhnya.

Berawal dari jamuan makan malam kala itu, Syam mengabdikan diri di Kampung Distrik hidup berdampingan dengan para Kristian yang baik dan ramah, membutnya sadar bahwa cinta dapat mengalahkan perbedan. Hatinya tertaut akan Tanah Papua, rasanya tertambat kampung berlian hitam. Awal tujuan yang tanpa arah kemudian ditunjukkan Allah untuk berada pada satu jalur mulia yakni dakwah. Tak terasa waktu mulai berkejaran dengan asa hampir 7 tahun lebih Syam melakukan pengabdian tanpa batas. Menjadi relawan pendidikan, membimbing beberapa pribumi yang menjadi mualaf dan inilah wujud dari kata Cinta. Cinta memperindah yang buruk, meluruskan yang bengkok, menyemai yang lunglai, dan menghidupkan yang mati.

Berlalu sudah masa dimana Syam berhasil menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad di Tanah Berlian Hitam. Tiba saatnya Syam kembali ke Jawa dengan berat hati, meningglkan keluarga Bertus, Mama Yohana, Bibi Isabella, dan Kampung Distrik yang ia rasa sebagai miniatur Madinah di kala Yahudi belum meporak-porandakan Piagam Madinah. Kenangan-kenangan yang tersimpan di pojok ingatan.

7 September 2018, tepat saat usia Muhammad Syamsuddin menyentuh angka 28 tahun ia memutuskan kembali ke Jawa. Di perjalanan ia sempat menyelesaikan kalimat terakhir dalam catatnya. Subuh terakhir yang ia rasakan, tetes embun terakhir, memang tanda perpisahan dari Tuhan untuknya. Pesawat yang ia tumpangi mengalami kecelakaan sejam sebelum ia menapaki Tanah Jawa. Bukan hanya kelurga yang merasa kehilangan sosok ini, namun Papua pun merasa hujan badai turun karena Sang Pencerah itu telah tiada, berduka, matahari telah redup namun pelita islam masih bersinar di Ujung Negeri.

 

Dalam tas ransel bawaanya ditemukan tulisan pada halaman terakhir catatan Syam, sebuah kalimat menyayat.

“Cinta terakhirku kulabuhkan di tanah dimana aku bisa merasakan kehadiran Nabi bersamaku dalam perjalanan di ujung juang.”

Mohammad Syamsuddin, Papua 07/09/18

Sarang, September 2019

Oleh: Mu’allim, Santri asal Kampung Baru Karangmangu Sarang

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *