Tiba-tiba sore menjadi kecil, dingin dan hijau
Ketika gerimis datang dan petang menjelang
Dari sebuah hari yang jauh, teramat jauh
Aku memandang orang-orang lari, terbirit-birit
Dari runcingnya hari
Aku ingat, seseorang pernah berkata:
Tidakkah ini hidup amatlah berharga?
Tapi dengan apa tuan, kata mereka
Haruskah kami hargai hidup ini
Bila yang berharga saja dapat dibeli?
Lantas, aku kembali bertanya
Pada daun-daun yang terpengkur di hadapan angin
Pada sisa hujan di ranting yang mengepul dingin
Adakah para penguasa merasa?
Wajah keruh seorang anak yang tengah berkaca
Wajahnya belepotan air mata
Menangis tersedu, diseduh wajah sedih anak itu
Hingga langit bermata teduh jatuhkan jutaan luh
Adakah para penguasa merasa?
Di pinggir-pinggir jalan suara nista menyatu bibir para pencibir
Dengan seribu bayang-bayang janji
Mereka kerap kali bermimpi
Demi kenangan pahit orang-orang diperbudak rasa sakit
Lantas, aku kembali bertanya
Pada dingin yang turun ke lorong-lorong waktu
Juga embun yang rebah pada tangkai patah yang mendesah
Adakah para pengusa merasa?
Para jelata yang hanya bisa memilin tangis
Berteriak histeris dan memukul-mukul tanah
Terasing, merebah lelah pada gundukan tanah
Adakah para penguasa merasa?
Dusta yang bertengger di pusat semesta
Padahal Tuhannya telah menitahkan
Dan segalanya adalah titipan
Wahai kau penguasa!
Kau pembohong!
Pendusta!
Pengkhianat!
Tidakkah kau saksikan bagaimana rasulmu mengajarkan?
Tentang amanat bukan khianat!
Tentang janji pasti bukan korupsi!
Tidakkah kau saksikan bagaimana rasulmu mengajarkan?
Ah.. pendusta, pembual!
Sampai kapan kau nikmati ilusi itu?
Padahal kelak kau kan kembali
Tanpa apapun, tanpa siapapun
Hingga akhirnya kau kan kembali
Menghirup udara tanah yang sepi
Bersama angin panjang dan batu rerumputan
Dalam pusara nestapa yang tak kau tahu…
“Puisi yang dibacakan dalam pentas maulid semalam, penulis sadar masih terdapat kekurangan dalam karyanya, dan penulis masih mengharapkan kritik & saran untuk karyanya yg lebih baik.”
Ummi Muizzah, Santri Pesantren Al-Anwar 3 Puteri, asal Senori Tuban