Beranda > Senggang > Opini > Santri Selalu Siap Mengabdi

Santri Selalu Siap Mengabdi

Santri bukan hanya orang yang mondok atau hidup di lingkungan pesantren saja. Tapi, siapa pun yang berakhlak seperti santri, maka disebut dengan santri. Titik tekannya sangat jelas sekali. Terletak pada akhlak. Kenapa demikian? Karena akhlak merupakan ciri khas santri yang sangat mendasar.

Seorang santri yang dikenal sebagai pribadi yang taat, santun, takzim, ramah dan cakap dalam segala hal. Santri yang berakhlak pasti akan dihargai oleh masyarakat. Akhlak atau tata krama memang menjadi prioritas utama saat kita menantang khalayak umum. Sebut saja mereka dengan orang awam. Sudut pandang orang awam pada umumnya terletak pada zahirnya. Artinya, nilai sesuatu dari apa yang mereka lihat. Tidak heran, santri yang berakhlak kurang baik langsung mendapat sorotan dari masyarakat. Tentunya, dengan pandangan yang kurang baik alias negatif. Tidak peduli terhadap kemampuan intelektualnya atau bisa spiritualnya. Fenomena seperti ini, menjadi PR besar bagi para santri khusus. Di mana posisi santri saat ini sangat diharapkan andilnya di tengah-tengah masyarakat. Pastinya tidak mungkin bukan kita yang bisa menjadi kepupusan atau pun kepalsuan ?. Nah, dengan meyakinkan seperti ini dapat dibuat sebagai pompa penyemangat.

Pendidikan pesantren dapat diberikan pendidikan terbaik di masa kini. Hal ini menyebabkan pesantren memiliki misi yang baik sekali. Yakni, memilih manusia yang memiliki kecerdasan tinggi dan spiritual, dengan menumbuhkan iman dan taqwa yang kuat, sehingga menjadi pribadi yang berakhlakul karimah. Dengan begitu, seorang santri siap dan mampu mengabdikan dirinya untuk nusa, bangsa, dan agama. Bahkan, pesantren bisa menjadi benteng runtuhnya moral. Khususnya, bagi calon penerus bangsa untuk generasi muda.

Tapi, bagi orang tua yang berhasil ditangkap nakal, berusaha, mereka mempertimbangkan pesantren meminta solusi terbaik. Kenapa demikian? Karena mereka berfikir, jika anak memasukkan ke pesantren yang tidak mendapat pengawasan langsung dari orang tua, akan membuat anak semakin nakal. Padahal, itu hanya fikiran singkat saja, belum berfikir secara mendalam. Coba fikirkan! Jika memilih berdasarkan suatu alasan, apa itu mewakili?. Faktanya saja, orang tua tidak mampu menyelesaikan masalah anak. Sekali pun sang anak berada di rumah. Bagaimana belajar anak kompilasi di sekolah, bermain, atau kegiatan lain di luar rumah. Masihkah bisa mencapai orang tua?

Padahal di pondok pesantren memang dituntut untuk mandiri. Tapi, kasusnya berbeda. Meskipun tidak mendapat pengawasan langsung, lebih banyak di pesantren lebih terjamin keamanannya. Di lingkungan Pesantren, Ada beberapa peraturan dan pendidikan karakter pada anak. Hal ini akan disetujui untuk membahas gerak anak. Berbicara, anak tidak bertingkah bebas seenaknya.

Di samping itu, hal yang terpenting adalah barokah. Arti barokah sendiri adalah Ziyadatul Khoir “menambah keunggulan”. Do’a Kyai untuk para santrinya merupakan ciri yang paling khas dari pesantren. Hal ini dapat membantu menikmat kebahagiaan santri untuk kehidupan dunia dan akhirat. Tapi, yang paling menantang adalah bagaimana kesungguhan santri dalam mondoknya. Sangat menarik bukan, kehidupan pesantren?

BACA JUGA :  Bara Tembakau Rokok Kang Santri

 

Lagi, santri identik sekali dengan istilah ngaji. Ngaji adalah belajar. Dalam hal ini, pondok pesantren diibaratkan sebagai bahtera atau lautan ilmu. Saat ingin meraih ilmu, tentu saja harus lihai dan mahir mengarungi lautan. Begitu juga sebaliknya, saat ia hanya bermain saja di daerah itu, tidak menutup membuatnya tenggelam. Dengan maksud belajar merupakan kunci mendapatkan ilmu. Dalam lingkungan pesantren dikaji banyak ilmu pengetahuan. Di antaranya adalah ilmu alat (nahwu & shorof), ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu fiqh & ushul fiqh, ilmu mantiq, ilmu balaghoh dan masih banyak lagi. Semua ilmu ini menyediakan pelajaran agama murni. Maka dari itu, tidak diragukan lagi bahwa santri mengajarkan banyak ilmu sebelumnya dalam bidang agama.

Di era modern ini, zaman menuntut semua orang untuk maju. Begitu juga dengan santri. Meskipun banyak orang menganggap bahwa santri adalah manusia terbelakang alias ketinggalan zaman, karena faktor mereka adalah pengamal setia metode salafiyah. Bagaimana menurut Anda? Kelihatannya anggapan ini layak untuk dibantah. Pasalnya, tidak jarang pondok pesantren di Indonesia ini yang berbasis salafiyah dan modern. Padahal. Kompetensi santri tidak kalah bila bersaing dengan sekolah modern pada umumnya

‘Ala al’ aqil an yakuna ‘arifan bi zamanihi. ”Perkataan nabi Ibrahim sebagai ayah semua umat Islam ini sudah jelas sekali. Terkait sepantasnya orang yang berakal mengetahui perkembangan pada zamannya. Hal ini berkaitan dengan amanah bagi santri.

 

Saat santri sudah hasil dalam mondoknya, maka pulangnya membawa amanah besar. Mau tidak mau ia harus tampil di lingkungan masyarakat secara langsung. Faktanya, banyak dari mereka yang kurang percaya diri. Sehingga, tidak mau nimbrung atau bergabung di lingkungan masyarakat. Sikap seperti ini haruslah kita hindari. Kita harus mampu menjadi santri sejati. Hanya percaya diri dengan jati diri kita sendiri sebagai santri. Bagaimana caranya? Pastinya, dengan sangat bersungguh-sungguh dalam belajar. Baik dalam hal kajian ilmu salafiyah maupun ilmu modern. Kita tidak boleh berat sebelah. Maksudnya, mementingkan salah satu saja atau meremehkan salah satu di antara keduanya. Kedua ilmu ini sangat dibutuhkan di zaman yang serba instan ini, di mana arus globalisasi yang berjalan sangat cepat.

Ketika seorang santri terjun di lingkungan masyarakat, ternyata masih terasa canggung dan bingung. Lingkungan masyarakat sendiri memang tidak sama dengan lingkungan pesantren. Maka, wajar sekali jika santri membutuhkan adaptasi. Saat adaptasi inilah, kesempatan santri untuk membaca situasi lingkungan. Yakni dengan cara belajar dan melakukan belajar awal. Dengan begitu, ia akan mampu memahami masyarakat itu sendiri. Memungkinkan, menentukan cara yang paling tepat untuk memulai pengabdiannya atas ilmu yang telah diperoleh.

BACA JUGA :  Teori Khidmah Nabi Musa Terhadap Ilmu Perspektif Gus Ghofur

Seperti yang telah dibuktikan bersama masyarakat dapat dikatakan santri adalah sosok yang serba bisa. Hampir setiap acara di lingkungan, terlebih yang bersinggungan dengan agama, pasti melibatkan peran santri. Tidak jarang, mereka diberi amanah untuk menjadi pembawa acara, pemimpin musyawarah, ketua pelaksana, pemimpin doa atau bahkan menjadi qori ‘. Nah, hal seperti ini yang kadang tidak terlintas di benak santri. Benar bukan?

Berarti, santri tidak langsung dituntut multitalenta. Sebagian besar dari mereka yang puas itu tidak berbakat dalam bidang tersebut. Keputusan, hal ini tidak layak dijadikan alasan. Lupakan masalah bakat !. Bakat itu muncul kompilasi kita mau tekun dalam menggeluti sesuatu.

 

Jadi, mari kita beralih kembali ke kita. Dari mulai minder karena tidak dapat menjadi keinginan untuk belajar dan bisa. Masalah yang diperlukan tidak ada yang penting. Yang terpenting adalah kita menjalankan amanah yang diberikan kepada kita dengan baik. Sungguh begitu?

Seorang santri juga dijadikan rujukan setiap masalah di lingkungan masyarakat. Penting dalam masalah fikih. Mereka yakin santri mampu menjadi narasumber yang baik, khusus pada masalah yang berkenaan dengan agama. Lagi-lagi merespon menghadang. Mau tidak mau, santri harus siap dan bijak berhasil setiap hal yang dipermasalahkan. Jangan sampai masalah tersebut sebaliknya menjadi masalah baru bagi kita. Tentunya, bukan lucu bukan?

Dalam arti kita sendiri bingung bagaimana mengatasinya. Dari banyak fakta yang terjadi, terlihat jelas sekali peran santri dalam masyarakat sangat menonjol. Santri benar-benar menjadi tumpuan harapan umat. Terlebih, Kondisi akidah masyarakat saat ini yang semakin luntur. Sedang moral generasi muda yang kian waktu kian terkikis. Jika santri hanya diam melihat fenomena seperti ini, masih layakkah ia disebut sebagai santri?

Pernahkan Anda yang mendengarkan suatu percakapan, “Dunia ini membangkitkan kehancuran saat orang yang berpengetahuan hanya diam, sedang orang bodoh memahami percakapan,” sekali lagi. Namun, para santri tidak demikian. Mereka akan sepenuh hati mengabdikan diri pada masyarakat. Dengan bekal ilmu yang didapat di pesantren.

 

Sekarang, telah kita ketahui bersama. Santri tengah ditunggu hadirnya di tengah masyarakat. Hal ini jangan pernah dibuat beban. Tapi, jadikanlah motivasi dan dorongan. Para santri harus bersungguh-sungguh dalam belajar. Jangan hanya ngopi dan tidur-tiduran. Manfaatkan waktu belajar di pondok dengan sebaik-baiknya. Tentunya, semua pasti sudah tau bagaimana mungkin waktu. Al waqtu kassaif , waktu bagaikan pedang. Saat kita tidak pandai menggunakan, maka pedang itu bisa melukai diri kita sendiri. Jadi, persiapkan semuanya dari sekarang. Dapatkan harapan yang tidak mengecewakan. Katakan pada dirimu, “Santri selalu siap mengabdi.”

 

* Penulis: Ika Wahuyuningsih, santri asal Ponorogo.

* Tulisan dikutip dari Laman Ujung Pena, 3 Desember 2017

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *