Beranda > Senggang > Cerpen Santri > Aku Ingin Menjadi Orang Bodoh

Aku Ingin Menjadi Orang Bodoh

Oleh: Arf A.*

Hari pertama awal ajaran baru pada sekolah menengah pertama. Dalam kelas yang penuh siswa baru dari berbagai daerah, Ibu Gina wali kelas VII A membuka awal pembelajaran dengan basa-basi perkenalan lalu melempar tanya pada siswa-siswinya “Anak-anak, Ibu ingin tahu apa cita-cita kalian?”

Sambil berebut mengacungkan tangan pada bangku masing-masing, siswa-siswa menyebutkan cita-cita mereka. Hampir tak ada yang menarik dari cita-cita mereka, ada yang ingin menjadi polisi, tentara, presiden, pengusaha, pilot, dokter dan guru. Dari keseluruhan siswa-siswi dalam kelas, hanya Bocil dan Pentol yang belum mengangkat tangan.

Setelah semua mata tertuju pada keduanya, Bocil terlebih dahulu mengacungkan jarinya demi menjawab pertanyaan Ibu guru “Saya ingin menjadi Politikus, Buk” jawabnya dengan lantang.

Sontak Ibu Gina terheran dengan cita-cita dari siswa yang masih duduk di bangku menengah pertama ini. “Kenapa kamu bercita-cita jadi politikus, Nak?”

“Kalo jadi politikus enak buk, bisa apa dan ngapain saja. Punya uang banyak, bisa jadi artis, bahkan bisa jadi Ulama-nya partai kayak bapaknya Pentol” kata Bocil. Sontak Pentol kaget dan terheran dengan penjelasan Bocil.

Apa perlunya Bocil menyangkutkan cita-citanya dengan bapakku, gerutu Pentol dalam hatinya.

“Ibu guru!” sambut Pentol mengacungkan jarinya dari bangku yang paling belakang, “saya ingin menjadi orang bodoh” lanjutnya. Serentak seluruh siswa dalam kelas tertawa pecah mendengar jawaban Pentol. Belum habis keheranannya Ibu Gina pada Bocil, kini ia lebih dikagetkan lagi oleh cita-cita aneh Pentol.

“Mengapa kamu bercita-cita demikian, Nak?” Tanya Ibu Gina setelah menenangkan suasana kelas.

“Saya ingin menjadi orang yang selalu merasa bodoh, buk. Saya takut menjadi orang pintar.” Kata Pentol. Sontak seluruh siswa-siswi kembali tertawa pecah.

“Apa alasan kamu, Nak? Coba terangkan kepada Ibu dan teman-teman” Tanya Ibu Gina. Isi kelas kembali hening.

Kali ini Pentol berdiri “Buk guru, saya rasa Indonesia tidak maju-maju karena kurangnya orang bodoh. Terlalu banyak orang pintar. Dan saya ingin indonesia ini maju. Orang yang pintar jika ia sudah merasa pintar, dengan begitu orang tersebut sudah menjadi bodoh. Dan sebagian besar orang pintar yang tampil dalam elite politik, yang mengatur pemerintahan adalah orang pintar yang licik, sekalipun bapak saya sudah diangkat menjadi Ulama oleh partainya. Bagaimanapun, saya tetap ingin menjadi orang bodoh, selalu merasa bodoh, dimanapun dan kapanpun” seluruh kelas hening mendengarkan penjelasan Pentol, para siswa tak paham maksud dari penjelasannya—gak tuk.

“Anak dengan seusiamu berfikir sampai sejauh itu? Dari mana kau dapatkan pemahaman seperti itu, Nak?” tanya Ibu Gina terheran-heran.

BACA JUGA :  Usaha Sepasang Curut

“Entahlah, Buk. Mungkin dari pengalamanku di rumah sendiri. Di rumah, Saya sering melihat kegiatan politik bapak saya dengan teman-temannya dalam partai. Dengan begitu saya terbiasa dan tahu. Sudah lima teman bapak saya ditangkap KPK, Pak Djoko Susilo, Pak Anas, Pak Andi, Pak Gayus dan Pak Setya. Mereka orang-orang pintar, Buk. Pintar yang licik.”

Bocil tersentak mendengar perkataan Pentol blak-blakan itu. “Kok politikus seperti itu, Buk?” setelah berkata ia mulai menangis karena cita-citanya di jelek-jelekkan temannya.

Setelah awal perkenalan usai, bel istirahat berbunyi.

Ibu Gina mengajak para guru untuk menghadap kepala sekolah demi membahas seorang siswanya yang mempunyai cita-cita aneh.

Setelah panjang lebar Ibu Gina menceritakan kejadian dalam kelasnya, salah seorang guru angkat suara “anak seusia itu! Mana mungkin!”

“Ini sekolah unggul! anak seperti Pentol tidak boleh bersekolah disini. Mau taruh dimana muka para guru, jika masyarakatnya tahu kalau ada siswanya yang bercita-cita tak ingin pintar, merasa selalu bodoh,” sahut seorang guru.

“Bagaimana caranya Pentol bisa lulus seleksi dan diterima di kelas ini Pak Ah Soe[1],” desak seorang guru lainnya.

Belum lagi Pak Ah Soe menanggapi seorang guru menyambar pendapat guru tadi “Pentol harus dikeluarkan! Kalau tidak citra kita akan buruk!” sahut guru lainnya lagi dengan memukul meja tak terima. Pak Ah Soe hanya mengangguk-angguk sambil menimbang baik-buruk.

“Dia anak yang cerdas dan jenius” kata Ibu Gina, “Saya yang menyeleksi hasil kerjanya saat tes” lanjutnya.

BACA JUGA :  Bukan Pecundang Kawakan

“Anda berkata seperti itu karena anda wali kelasnya Ibu Gina. Tapi coba anda pikir ke depan jika masyarakat tahu dengan cita-cita Pentol, bagaimana dengan citra sekolah ini.” Sahut seorang guru tadi. Semua mata tertuju pada Pak Ah Soe, meminta solusi.

Desas-desus terjadinya rapat internal para guru yang membahas cita-cita seorang murid baru, tersebar keseluruh siswa-siswi di sekolah itu. Hingga sampai pada telinga Pentol yang sedang makan di kantin. Dengan bergegas Pentol langsung menuju ruang kepala sekolah, karena ia sadar cita-citanya bukan suatu permasalahan yang perlu dibahas.

Setelah sampai di depan ruang kepala sekolah, Pentol mengetuk pintu dan dibuka oleh seorang satpam.

“Maaf Pak guru dan Ibu guru. Titik letak kesalahan dari cita-cita saya apa hingga menjadi topik dalam rapat mendadak ini? Mohon penjelasannya” kata Pentol dengan memberanikan diri. Para guru kaget dengan kehadiran Pentol dalam rapat. Tak ada satu-pun guru yang menanggapi pertanyaan Pentol. Para guru hanya menatap satu sama lain, saling melempar pandang meminta jawaban. Pak Ah Soe hanya terdiam. Ah, Pak kepala sekolah yang pendiam, entah apa yang di pikirkannya.

Ibu Gina berdiri, menghampiri Pentol “Ayo, Nak. Ibu antar kembali ke kelas”

“Sudahlah Buk. Aku tak perlu disni lagi,” sambil menggendong tas ia berbalik belakang, melangkah keluar dari ruang kepala sekolah meninggalkan Ibu Gina dan guru lainnya.

“Aku salah memilih sekolah. Bersekolah disini hanyalah untuk menjadi pintar, itu bukan tujuanku.”

Apa jadinya Indonesia ini, jika para guru masih terpaku mendidik muridnya untuk menjadi pintar, jika tidak pintar bagaimana? Apakah ia masih semangat mendidik anak-anak generasi penerus bangsa? Pintar saja tidak cukup, berakhlak-pun penting dan perlu.

Aku akan tetap merasa bodoh, dimanapun dan kapanpun.

*) Santri asal Kupang Nusa Tenggara Timur, juga Mahasiswa Prodi PGMI

  1. Nama asli Wirobogel Ah Soe, keturunan Jawa-Cina-Taiwan. Lebih senang di panggil Ah Soe. Kepala Sekolah tempat Pentol bersekolah.

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *