Oleh: Is’a
Sabtu pagi sekali, ditemani tiga batang tembakau sisa para pendekar.
Menatap langit terang, tiga bintang berayun tepat di dinding awan.
Tembakau rokok mulai kubakar, bara pun muncul perlahan.
Hirupan asap tembakau, bahhh …. rasa kenikmatan kesunyian malam.
Bara tembakau merah merona disatu dengan penghujung kerinduan.
Berfikir di keheningan layaknya seorang sok bijaksana
Memulai hujat-menghujat tentang adab seorang penghujat.
Bicara sendiri menghakimi da’i yang suka menghukumi.
Menghakimi orang yang sering dihukumi.
Hiruk pikuk dunia malam mencari pertentangan dunia luar.
Bara rokok tetap menyala sampai di perbatasan tembakau dan busa.
Ah … satu tembakau itu kurang buat menemani sang rembulan.
Menyatukan bara terakhir dengan tembakau ke dua.
Siswa tengah sibuk dengan laptop dengan mencari reveransi buku klasik untuk makalah besok.
Di tiang bendera terlihat pria mondar-mandir kesepian menunggu sang khidir.
Sang pria masih bingung mencari jejak khidir.
Dimana khidir
Tembakau ke dua mulai habis, bara tembakau kedua menyalurkan energi ke tembakau ketiga.
Rasa terbakar dan rasanya tetap sama, rasa kesunyian alam malam.
Kepala membelah muculpanjang ide-ide gila.
Nampak baru seperempat bara tersebut diterbitkan tembakau ketiga.
Dan mata ini tertuju pada tiga bintang bermabuk cinta untuk sang kekasih.
Akhirnya tertidur dengan sendirinya, dan bermimpi hadir ngaji subuh.
*