Beranda > Keilmuan Islam > Pengurus > Titik Ambang Emergency Kesusasteraan Generasi Kita

Titik Ambang Emergency Kesusasteraan Generasi Kita

Sujiwo Tejo mempunyai teori revolusi yang tak kalah menarik dari Charles Darwin, teori yang ia sering sampaikan pada beberapa kesempatan, saya parafrase-kan seperti ini, “Manusia pada zaman dahulu terikat pada kata-katanya, sedangkan kambing terikat pada tali kekangnya. Sekarang manusia sudah tidak terikat lagi pada kata-katanya, dan kambing masih saja terikat pada tali kekangnya”. Disini Mbah Tejo—panggilan akrabnya—ingin menyampaikan bahwa manusia itu dinamis, dan kambing stagnan. Dan tentu manusia modern adalah makhluk yang mempunyai kompleksitas watak untuk dikenali—dan terkadang dipercayai.

Sujiwo Tejo mempunyai teori revolusi yang tak kalah menarik dari Charles Darwin, teori yang ia sering sampaikan pada beberapa kesempatan, saya parafrase-kan seperti ini, “Manusia pada zaman dahulu terikat pada kata-katanya, sedangkan kambing terikat pada tali kekangnya. Sekarang manusia sudah tidak terikat lagi pada kata-katanya, dan kambing masih saja terikat pada tali kekangnya”. Disini Mbah Tejo—panggilan akrabnya—ingin menyampaikan bahwa manusia itu dinamis, dan kambing stagnan. Dan tentu manusia modern adalah makhluk yang mempunyai kompleksitas watak untuk dikenali—dan terkadang dipercayai.

Seni dan manusia sudah menjadi dua hal yang berkelindan, berpilin, bersebati menjadi utuh pada diri dan jiwa manusia. Termasuk bagaimana manusia melakukan seni bersilat lidah dengan kata-kata dan retorikanya. Saya pernah membaca sebuah tulisan—saya lupa siapa penulisnya—,ia berkata seperti ini, “seorang intelektual yang tidak memiliki gairah terhadap sebuah seni, ia tak lebih dari kera yang pintar”.

Dalam seni bertutur kata, atau seni tulis, kita mengenalnya dengan seni sastra. Jika dibacakan, maka disebut sastra lisan; tentu sastra lisan ini masih berkutat pada tulisan juga.

BACA JUGA :  Ngemong Santri ala KH. Maimoen Zubair; Sebuah Refleksi Guru Bangsa

Suatu pagi saya menikmati koran minggu Jawa Pos di sebuah kantin. Di sebuah kolom Saujana saya membaca esai dari A. S. Laksana, ia berpendapat bahwa kemunduran perpolitikkan Indonesia diakibatkan oleh gairah elan vitalitas kesusasteraan di Indonesia yang merosot. Dan hal itu bisa kita saksikan bersama saat ini, bagaimana panggung perpolitikan Indonesia belum juga memberikan contoh yang baik bagi generasi penerusnya.

Seni sastra yang terus bergolak dari masa ke masa, seperti puisi, selalu menyuarakan kegelisahan hidup yang dirasakan dan dialami sampai mendarah daging oleh para penyairnya. Dari masa ke masa! Entah sekarang! Kita bisa menilik kembali sejarah perkembangan kesusasteraan kita dalam perlawanan mereka menolak kebodohan dan kolonialisme. Sebagai contoh, bagaimana pergerakan Sastrawan Pujangga Baru dan Angkatan ‘45 dalam memperjuangkan kemerdekaan; dan bagaimana Sastrawan Angkatan ‘80 dan Angkatan ‘90 menolak bungkam terhadap pemerintahan otoriter pada saat itu.

Hal itu tidak terlepas dari sosok puisi yang mampu menyuarakan pergerakan untuk mencari kedamaian rakyat dan bangsa. Sosok puisi, makhluk entitas yang hidup sebelum dilahirkan, dan terus hidup walaupun telah berkalang tanah, inilah makna Aku ingin hidup seribu tahun lagi, kata Chairil.

BACA JUGA :  Kerukunan Antar Umat Beragama

Jika menilik kembali pendapat A. S. Laksana diatas, tentu sekarang kita menilai bahwa kesusasteraan Indonesia telah mencapai titik ambang emergency. Mengapa? Karena para politikus telah mulai berpuisi. Oh….tentu, siapa saja boleh berpuisi, monggo. Tetapi yang menjadi titik fokus saya berkata seperti itu ialah para politikus berpuisi atas kepentingan partai politiknya! Atas kepentingan dan iming-iming kedudukan! Selagi mereka berpuisi tidak berdasarkan hal itu, monggo. Toh, Muhammad Yamin pahlawan revolusioner kita juga berpuisi, dan Korrie Layun Rampan yang duduk di kursi pemerintahan juga mengarang 334 buku sastra—ia sastrawan Indonesia paling produktif.

Puisi bukanlah hanya semata-mata rangkaian kata bualan, tetapi ia juga menghadirkan—meminjam istilah A. D. Pirous—kenikmatan etis dan estetis hadir bersama.

Lalu, apakah kita akan diam saja, tanpa menulis suatu karya selain makalah?

Tabik!

*Arif A’abadia

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *