Beranda > Keilmuan Islam > Bagaimana Islam Memandang Hari Ibu?

Bagaimana Islam Memandang Hari Ibu?

HARI IBU

Hari Ibu atau Mother’s Day merupakan hari peringatan atau perayaan terhadap peran ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Di Indonesia, Hari Ibu dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928.

Perayaan ini biasanya dilakukan dengan membebastugaskan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Berbagai cara dilakukan untuk mengekspresikan rasa terima kasih pada seorang ibu. Baik hanya sekedar memberikan hadiah atau mengungkapan ucapan rasa terima kasih kepada sosok ibu yang telah melahirkan ataupun atas jasa serta kebaikan yang selama ini telah ia berikan.

Menghormati atau memuliakan manusia merupakan tabiat malaikat yang menjadi asas peradaban umat Islam. Sebaliknya, menghina, merendahkan, dan mencela manusia merupakan disposisi sifat iblis yang mengoyahkan tabiat peradaban. Islam datang dengan memuliakan manusia tanpa memandang fisik, jenis, dan warna kulitnya serta Islam memberikan pemuliaan yang lain dengan beberapa tugas yang telah Allah berikan sesuai kekhususan masing-masing. Seperti memuliakan kedua orang tua yang telah Allah jadikan sebagai lantaran lahirnya seorang anak.[1] Dalam Al-Qur’an, Allah menyandingkan rasa syukur pada kedua orang tua dengan bersyukur kepadanya:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ.

Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.[2]

Dan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memerintahkan berbuat baik pada kedua orang tua setelah perintah untuk beribadah kepada-Nya:

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.[3]

BACA JUGA :  KAUM TERDAHULU BERPUASA?

Perintah ini, secara zahir oleh Allah dijadikan sebagai sebab dalam perwujudan manusia karena besarnya andil orang tua yang telah melahirkan seorang anak ke alam dunia dengan sifat makhluknya. Mereka dimuliakan dan dihormati karena pemulian dan penghormatan seorang anak.

Nabi  Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam menjadikan Ibu sebagai orang yang lebih diutamakan dalam rumah tangga daripada Ayah:

أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله ﷺ فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي ؟ قال:أمك. قال: ثم من ؟ قال: أمك، قال: ثم من ؟ قال: أمك، قال: ثم من ؟ قال: أبوك. أخرجه البخاري[4] ومسلم.

Dari Abū Hurairah, ia berkata: “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam, kemudian berkata, “Siapakah orang yang berhak aku bergaul kepadanya dengan baik ?” Nabi menjawab “Ibumu”. Laki-laki tersebut lalu berkata “Lalu siapa ?” Nabi menjawab “Ibumu”. Laki-laki tersebut berkata lagi “Lalu siapa ?” Nabi menjawab “Ibumu”. Laki-laki tersebut berkata lagi “Lalu siapa ?” Nabi menjawab “Ibumu”. Laki-laki tersebut berkata lagi “Lalu siapa ?” Nabi menjawab “Ayahmu”.

Syariat Islam menetapkan hubungan anak dan ibunya sebagai ikatan darah dan tabiat. Oleh karena itu, hubungan diantara mereka tergantung berasal dari nikah maupun zina, jadi ia tetap ibnunya baik jalur apapun. Beda halnya dengan ayah yang tidak ditetapkan kecuali dari jalur syariat.

Menurut Dr. ‘Alī Jum’ah Muḥammad (Mantan Mufti Mesir), wujud nyata memuliakan ibu ialah menghormati dan berbuat baik padanya. Dalam syariat, tidak larangan untuk merayakan Hari Ibu yang mana hal tersebut merupakan bentuk ekspresi kebaktian seorang anak pada para ibu dan merupakan perkara yang tidak ada salahnya. Juga tidak ada kaitannya dengan permasalahan bid’ah yang sering diungkapkan oleh banyak orang. Karena bid’ah yang ditolak atau tercela ialah ketika bertentangan dengan syariat.[5] Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ﷺ: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. أخرجه البخاري ومسلم[6].

Dari ‘Ā`ishah, ia berkata: “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang membuat perkara baru dalam urusan kami yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”.”

Mafhumnya, jika perkara tersebut termasuk dalam urusan agama, maka diterima. Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam sendiri menetapkan perayaan bangsa Arab sebagai hari-hari besar kenegaraan untuk kaumnya dengan melantunkan syair atas jasa mulia kabilahnya dan kemenangan mereka:

BACA JUGA :  Islam Menekankan Kualitas Bukan Legal Formal

عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي رسول الله ﷺ وعندي جاريتان تغنيان بغناء بُعاث. أخرجه البخاري[7] ومسلم.

Dari ‘Ā`ishah, ia berkata: “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam masuk ke kamarku, sementara disampingku ada dua wanita muda yang sedang menyanyikan nyanyian hari Bu’āth.

Juga hadis:

عن سليمان بن بريدة، عن أبيه قال: زار النبي ﷺ قبر أمه في ألف مقنع، فلم ير باكيا أكثر من يومئذ. أخرجه الحاكم[8].

Dari Sulaymān bin Barīdah, dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam menziarahi makam ibunya (sayyidah Āminah) bersama seribu orang yang memakai topi baja, dan beliau tidak begitu banyak mencucurkan air mata selain hari itu

Dari keterangan di atas, menurut kami[9] dengan adanya perbedaan diantara kita dan budaya lain yang memisahkan realitas dalam perayaan Hari Ibu serta peringatan lainnya, maka hal tersebut termasuk perkara yang legal secara agama selama tidak bertentangan syariat.

Oleh: Ahfas Maulidy

Baca Juga: KISAH RINDU PADA RASULULLAH


[1] ‘Alī Jum’ah Muḥammad, al-Bayān limā Yashghal al-Adhhān (Cairo: Dār al-Muqtam, cetakan kesebelas, 2005 M), 1: 371.

[2] Al-Qur’an Kemenag, Luqmān [31]: 14.

[3] Al-Qur’an kemenag, al-Isrā` [17]: 23.

[4] Muḥammad ibn Ismā’īl al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Ḥadīth Rasūlillāh wa Sunanihi wa Ayyāmihi (Cairo: Maktabah al-Salafiyyah, Taḥqīq: Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqī,  Cetakan: pertama, 1400 H), 4: 86, hadis no 5971.

[5] ‘Alī Jum’ah Muḥammad, al-Bayān limā Yashghal al-Adhhān (Cairo: Dār al-Muqtam, cetakan kesebelas, 2005 M), 1: 372.

[6] Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Naisābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī, Taḥqīq: Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqī, t.th.), 3: 1343, hadis no 1718.

[7] Muḥammad ibn Ismā’īl al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Ḥadīth Rasūlillāh wa Sunanihi wa Ayyāmihi (Cairo: Maktabah al-Salafiyyah, Taḥqīq: Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqī,  Cetakan: pertama, 1400 H), 2: 334, hadis no 2906.

[8] Muḥammad ibn ‘Abdillāh al-Ḥākim al- Naisābūrī, al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain (Beirut: Dār al-Ma’rifah, cetakan kedua, 2016 M), 1: 709, hadis no 1429.

[9] ‘Alī Jum’ah Muḥammad, al-Bayān limā Yashghal al-Adhhān (Cairo: Dār al-Muqtam, cetakan kesebelas, 2005 M), 1: 374.

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *