Ketika memasuki bulan Rabī’ al-Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam dengan berbagai cara; baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Seperti berpuasa, memberi makanan atau berkumpul untuk berzikir, membaca selawat, barzanji, diba’, sirah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, apakah boleh merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw ? serta siapakah perintis perayaan Maulid Nabi ﷺ ?
Perintis Perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ
Sesungguhnya perayaan Maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam sendiri[1]. Hal ini berdasarkan hadis ṣaḥīḥ yang diriwayatkan Imam Muslim:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَقَالَ: ﴿فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ﴾. أخرجه مسلم، رقم: ١١٦٢.[2]
Dari Abū Qatādah al-Anshārī, bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjhawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku” (HR. Muslim: 1162)
Menurut Dr. ‘Alī Jum’ah, dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa Rasulullah Saw bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat kelahirannya di dunia dengan cara berpuasa pada hari Senin.[3] Namun, di sisi lain juga terdapat seorang raja yang merintis & merayakan Maulid Nabi dengan meriah. Sebagaimana pernyataan al-Ḥāfiẓ Jalāluddīn al-Suyūṭi dalam Ḥusn al-Muqṣid fī ‘Amal al-Maulid:
وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ إِرْبِلَ الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُو سَعِيدٍ كُوكْبُرِي بْنُ زَيْنِ الدِّينِ عَلِيِّ بْنِ بُكْتِكِينَ، أَحَدُ الْمُلُوكِ الْأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ الْأَجْوَادِ. قَالَ ابن كثير فِي تَارِيخِهِ: كَانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيفَ فِي رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالًا هَائِلًا.[4]
“Orang yang pertama kali merintis perayaan Maulid Nabi Saw ialah penguasa Irbil, Raja Muẓaffar Abū Sa’īd Kūkburī ibn Zainuddīn ‘Alī ibn Buktikīn; salah satu raja yang mulia, luhur, dan pemurah. Al-Ḥāfiẓ Ibn Kathīr berkata dalam kitab tārikhnya (al-Bidāyah wa al-Nihāyah): “Beliau merayakan Maulid Nabi Saw yang mulia pada bulan Rabī’ al-Awwal dengan perayaan yang meriah.”
Beliau adalah seorang raja yang saleh dan bermazhab Ahl al-Sunnah, yang terkenal sangat pemurah dan baik hati. Sebagaimana pernyataan al-Muḥaddith Shamsuddīn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uthmān al-Dhahabī mengatakan:
السُّلْطَانُ الدَّيِّنُ، المَلِك المُعَظَّمُ، مُظَفَّر الدِّيْنِ، أَبُو سَعِيْدٍ كُوْكْبُرِي بن عَلِيِّ بن بكتكين بن مُحَمَّدٍ التُّرْكَمَانِيِّ، صاحب إِرْبِلَ. وَكَانَ مُتَوَاضِعاً، خَيْراً، سُنِّيًّا، يُحبّ الفُقَهَاءَ وَالمُحَدِّثِيْنَ. مَاتَ سَنَةَ ثَلاَثِيْنَ وَسِتِّ مائَةٍ، وَعَاشَ اثْنَتَيْنِ وَثَمَانِيْنَ سَنَةً.[5]
“Sultan yang agamis & agung: Raja Muẓaffaruddīn Abū Sa’īd Kūkburī ibn ‘Alī ibn Buktikīn ibn Muḥammad al-Turkamānī, penguasa Irbil. Ia adalah seorang yang rendah hati, baik budi, seorang sunnī (golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah), mencintai fukaha dan ahli hadis. Ia wafat tahun 630 H pada usia 82 tahun.”
Hukum Merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ
Sekitar 5 abad yang lalu pertanyaan seperti itu sudah muncul dan bahkan ada yang mengatakan bahwa merayakan Maulid Nabi Saw merupakan perkara bid’ah yang tercela. Maka menurut al-Muhaddith Prof. Dr. al-Sayyid Muḥammad ibn ‘Alawī al-Mālikī[6] tidak layak bagi seseorang yang memiliki akal sehat bertanya: “Mengapa kalian merayakan maulid ?” karena seolah-olah ia bertanya: “Mengapa kalian bergembira dengan lahirnya Rasulullah Saw ?”
Adapun hukum mengenai penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam, al-Ḥāfiẓ Jalāluddīn al-Suyūṭi dalam al-Ḥāwī li al-Fatāwī menyatakan:
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ ؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا ؟
الْجَوَابُ عِنْدِي: أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ ﷺ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ – هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ ﷺ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ.[7]
“Sungguh terjadi sebuah pertanyaan mengenai perayaan Maulid Nabi Saw pada bulan Rabī’ al-Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara’ ? apakah terpuji atau tercela ? dan apakah yang melakukannya mendapatkan pahala atau tidak ?
Jawabannya menurut saya, bahwa asal perayaan Maulid Nabi Saw ialah manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan menceritakan kisah-kisah permulaan lahirnya Rasulullah Saw serta mukjizat-mukjizat yang muncul pada hari kelahiran beliau. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama lalu pulang; hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Hal tersebut merupakan bid’ah yang terpuji (ḥasanah). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi Muhammad Saw, menampakkan suka cita, dan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah Saw yang mulia.”
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi Saw itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad Saw ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak, lalu diisi pengajian keimanan dan keislaman, menceritakan sejarah serta akhlak Rasulullah untuk diteladani, kemudian menghidangkan makanan untuk dinikmati bersama. Pengungkapan rasa gembira tersebut memang di anjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. sebagaimana firman-Nya berikut:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira.” (QS. Yūnus [10]: 58)
Menurut al-Muhaddith Prof. Dr. al-Sayyid Muḥammad ibn ‘Alawī al-Mālikī, ayat di atas jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah Swt. Sementara Nabi Muhammad Saw adalah rahmat terbesar.[8] Dalam firman-Nya disebutkan:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyā` [21]: 107)
Hal ini diperkuat oleh penafsiran Ibn ‘Abbās yang mengatakan: “Anugerah Allah Swt adalah ilmu, sedangkan rahmat-Nya ialah Nabi Muhammad Saw.”[9]
Mengenai dalil memperingati Maulid Nabi Saw, al-Ḥafiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqallānī juga berkata[10]: “Sungguh telah jelas dalilnya bagiku dari sumber yang absah, yaitu dalam sebuah ḥadīth ṣaḥīḥ yang diriwayatkan oleh al-Imām al-Bukhārī & Muslim bahwa ketika Rasulullah Saw dan para sahabat tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘āshūrā` (10 Muharram). Nabi bertanya mengenai hal tersebut. Orang Yahudi itu menjawab, ‘Pada hari inilah Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Nabi Musa As. Kami sangat mensyukurinya, oleh karena itu kami berpuasa’. Mendengar jawaban itu, Nabi Saw bersabda, ‘Kami lebih berhak untuk (memuliakan) Musa (dengan berpuasa) daripada kalian’. Maka dari itu -lanjut Ibn Ḥajar- bisa disimpulkan bahwa bersyukur pada hari tertentu atas datangnya sebuah nikmat atau hilangnya sebuah musibah itu boleh. Sedangkan bersyukur itu bisa terlaksana dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca Al-Quran atau lainnya.”
Dengan begitu, dianjurkan bagi umat Islam berpuasa āsyūrā` sebagai bentuk syukur tersebut. Demikian halnya puasa hari Senin sangat dianjurkan sebagai rasa syukur atas kelahiran beliau.
Komentar Para Ulama Mengenai Maulid Nabi Muhammad ﷺ
- Ma’rūf ibn Fairūz al-Kurkhī (w. 200 H)[11]
قَالَ مَعْرُوْف الكُرْخِي: مَنْ هَيَّأَ لِأَجْلِ قِرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ طَعَامًا، وَجَمَعَ إِخْوَانًا، وَأَوْقَدَ سِرَاجًا، وَلَبِسَ جَدِيْدًا، وَتَعَطَّرَ وَتَجَمَّلَ تَعْظِيْمًا لِمَوْلِدِهِ حَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الْفُرْقَةِ الْأُوْلَى مِنَ النَّبِيِّيْنَ، وَكَانَ فِيْ أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ.
“Siapa saja yang menyajikan hidangan, mengumpulkan saudara, menghidupkan lampu, memakai pakaian baru, memakai wewangian, dan berhias untuk acara pembacaan Maulid Rasul Saw dalam rangka memulyakan kelahiran beliau, maka kelak dihari kiamat Allah Swt akan mengumpulkannya bersama golongan pertama dari para nabi dan ditempatkan di surga paling tinggi.”
- Al-Ḥāfiẓ Shamsuddīn Muḥammad ibn Nāṣiruddīn al-Dimashqī (w. 842 H)[12]
إِذَا كَانَ هَذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ ۞ وَتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيمِ مُخَلَّدَا
أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ دَائِمًا ۞ يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَا
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي طُولَ عُمْرِهِ ۞ بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا ؟
“Apabila orang kafir seperti (Abū Lahab) saja yang sudah jelas (dalam surah al-Lahab) mendapat celaan dan masuk Neraka selamanya
masih mendapat keringanan siksa pada setiap hari Senin lantaran gembira dengan kelahiran Aḥmad (Nabi Muhammad ﷺ),
Maka bagaimana dengan seorang hamba yang sepanjang hidupnya gembira atas kelahiran Nabinya dan meninggal dalam menauhidkan Tuhannya ?”
- Shaikh Muḥammad Mutawallī al-Sha’rāwī (w. 1998 M)[13]
قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّد مُتَوَلِي الشَّعْرَاوِي: وَإِكْرَاماً لِهَذِهِ المَوْلِدِ الكَرِيْمِ، فَإِنَّهُ يَحِقُّ لَنَا أَنْ نُظْهِرَ مَعَالِمَ الفَرْحِ وَ الاِبْتِهَاجِ بِهَذِهِ الذِكْرَى الحَبِيْبَةِ لِقُلُوْبِنَا كُلَّ عَامٍ، وَذَلِكَ بِالْاِحْتِفَالِ بِهَا مِنْ وَقْتِهَا.
“Melakukan penghormatan untuk Maulid yang mulia ini, maka sesungguhnya itu hak bagi kita untuk menampakkan kegembiraan dan hati kita bersukaria dgn peringatan sang kekasih setiap tahun. Dan hal itu tentunya dengan merayakan maulid Nabi di waktunya”
Oleh: Ahfas Maulidy
[1] Muḥammad ibn ‘Alawī al-Mālikī, Ḥaul al-Iḥtifāl bi Dhikrā al-Maulid al-Nabawī al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 2010 M), hlm 16.
[2] Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Naisābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Arabī, Taḥqīq: Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqī, t.th.), juz 1, hlm 820.
[3] ‘Alī Jum’ah, al-Mutashaddidūn Manhajuhum wa Munāqashat Ahamm Qaḍāyāhum (Cairo: Dār al-Muqaṭṭam, Cetakan Pertama, 2011 M), hlm 101.
[4] ‘Abdurraḥmān ibn Abū Bakr ibn Muḥammad al-Suyūṭī, Ḥusn al-Muqṣid fī ‘Amal al-Maulid ((Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cetakan Pertama, 1985 M), hlm 42.
[5] Shamsuddīn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uthmān al-Dhahabī, Tahdhīb Sīr A’lām al-Nubalā` (Beirut: Mu`assasah al-Risālah, Cetakan Pertama, 1991 M), juz 3, hlm 224.
[6] Muḥammad ibn ‘Alawī al-Mālikī, Ḥaul al-Iḥtifāl bi Dhikrā al-Maulid al-Nabawī al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 2010 M), hlm 13.
[7] ‘Abdurraḥmān ibn Abū Bakr ibn Muḥammad al-Suyūṭī, al-Ḥāwī li al-Fatāwī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cetakan Ketiga, 2015 M), juz 1, hlm 181-182.
[8] Muḥammad ibn ‘Alawī al-Mālikī, Ḥaul al-Iḥtifāl bi Dhikrā al-Maulid al-Nabawī al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 2010 M), hlm 25.
[9] ‘Abdurraḥmān ibn Abū Bakr ibn Muḥammad al-Suyūṭī, al-Durr al-Manthūr fī al-Tafsīr bi al-Ma`thūr (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), juz 4, hlm 367.
[10] Muḥammad ibn ‘Alawī al-Mālikī, Ḥaul al-Iḥtifāl bi Dhikrā al-Maulid al-Nabawī al-Sharīf (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 2010 M), hlm 16-17.
[11] Abū Bakr ‘Uthmān ibn Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, I’ānat al-Ṭālibīn (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islamiyyah, cetakan pertama, 2009 M), juz 3, hlm 663.
[12] Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Nāṣiruddīn al-Dimashqī, Maurid al-Ṣādī fī Maulid al-Hādī (Cairo: al-Dār al-Ghannā`, cetakan pertama, 2008 M), hlm 26.
[13] Muḥammad Mutawallī al-Sha’rāwī, ‘Alā Mā`idat al-Fikr al-Islāmī (Beirut: Dār al-‘Audah, cetakan pertama, 1900 M), hlm 25.