Beranda > Keilmuan Islam > Review Buku “Logika Agama” Karya M. Quraish Shihab

Review Buku “Logika Agama” Karya M. Quraish Shihab

Karya: M. Quraish Shihab

Judul: Logika Agama

Editor: Siti Nur Andini

Penerbit: Lentera Hati

Cetakan I: 2017

Cetakan II: 2018

Jumlah Halaman: 299 hlm.

Buku ini merekam gejolak pemikiran M Quraish Shihab muda ketika menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di dalamnya berbicara tentang perubahan dan evolusi, Islam dan akal serta jalan pencerahan batin.

Buku yang diterbitkan pada tahun 2005 tersebut terhidangkan sangat menarik dengan bentuk tanya jawab dan penulisannya rampung pada tahun 1996. Buku yang dikatakan kecil oleh penulis ini mempunyai kesan tersendiri di hati penulis. Ia berasal dari salah satu karya yang penulis susun dan dinamai al-Khawāthir, yaitu Lintasan Pikiran.

Karya ini menggunakan bahasa Arab, hingga suatu ketika beberapa teman penulis membacanya lalu menganjurkan agar karya lama tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut mereka, kandungannya masih sangat relevan pada masa kini karena perubahan melanda seluruh dunia dengan membawa nilai-nilai baru dan menjungkirbalikkan banyak nilai lama. Pada akhirnya anjuran tersebut mendapat tempat di hati penulis dan terbitlah buku ini.

Hal yang tidak kalah penting diungkapkan bagi penulis yakni ada dua catatan. Pertama, guru yang penulis maksud dalam buku ini adalah sangat banyak namun penulis menyebutkan dua tokoh yang sangat berkesan di hati penulis. Tokoh pertama adalah al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih (wafat di Malang pada 1962 dalam usia sekitar 65 tahun). Beliau adalah guru dan mursyid penulis di Pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah, Malang, Indonesia, sejak 1956-1958. Tokoh kedua yakni Syaikh Abdul Halim Mahmud (1910-1978 M) yang juga digelari dengan “Imam al-Ghazali Abad ke-14 H”. Beliau adalah dosen di Fakultas Ushuluddin saat al-Khawāthir disusun. Catatan kedua, menyangkut penerjemahan dan bentuk akhir buku. Adapun yang menerjemahkan al-Khawāthir adalah Saudara Ahmad al-Attas, dan ketika disodorkan untuk meminta persetujuan penulis, penulis melakukan sekian perbaikan dan penambahan.

 

Perubahan dan Evolusi

Pada bab ini penulis bersama gurunya mencoba merefleksikan terkait perubahan seiring tuntutan zaman yang tidak sedikit orang menuntutnya, termasuk pada nilai-nilai dasar agama. Tidak dibenarkan oleh gurunya ketika penulis menyebut istilah ‘Islam berkembang’. Sebelumnya, ada dua istilah yang memang sangat populer ketika berbicara tentang Islam dari sudut pandang kelenturan dan universalitasnya, yaitu al-Islam Mutathawwir (Islam berkembang) dan al-Islam Shalih li Kulli Zaman wa Makan (Islam relevan di setiap masa dan tempat). Disini guru penulis menegaskan bahwa kedua hal tersebut berbeda. Kesesuaian ajaran islam untuk setiap waktu dan tempat bukanlah berarti bahwa Islam berkembang. Islam tidak akan pernah mengalami evolusi sedikitpun.

Sebagaimana yang telah diketahui, Islam terbangun atas tiga hal; akidah, syariah dan akhlak. Konsepsi dan gambaran konkret teori “berkembangnya Islam” tergambar dalam beberapa contoh. Misal dalam bidang syariah, mengenai minuman keras yang dahulu terlarang dan merupakan simbol kebiadaban. Seiring kehidupan semakin maju, syariah pun berkembang sehingga hal tersebut ‘dianggap’ menjadi suatu keharusan dan simbol kejantanan. Sangat disayangkan apabila orang pada akhirnya berkesimpulan demikian.

BACA JUGA :  Bayjūrī atau Bājūrī? Sekilas Mutiara Dari Grand Shaykh Al-Azhar ke-19

Bukan Islam yang berkembang, tetapi pemahaman terhadap rincian ajaran Islam yang berkembang. Pemahaman terhadap rinciannya, bukan pada prinsip-prinsip yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Untuk memperkuat, guru penulis mengkiaskan dengan perubahan yang terjadi pada manusia bersifat material, bukan pada sifat bawaannya. Dapat dipastikan, hampir semua manusia membutuhkan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Hal tersebut tidak berubah meskipun makanan dan cara memasaknya berbeda; tempat tinggal, model dan bahan pembuatannya berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain.[1]

Melanjutkan pembahasan, penulis menanyakan kepada gurunya seputar “Agama dan Teori Evolusi Darwin”. Guru beliau menyatakan bahwa dalam Islam tidak memiliki argumentasi yang menafikan teori tersebut, dan di sisi lain tidak boleh terburu-buru memutuskan benar-tidaknya suatu teori yang masih dalam proses pengkajian. Berapa banyak teori yang pernah populer lalu tidak lama kemudian tiba masa membuktikan ketidak-absahannya.[2]

 

Islam dan Akal

Penulis kembali berbincang bersama gurunya dengan beralih pada tema yang tak kalah menarik. Penulis berbicara tentang hubungan agama dengan akal. Mendudukkan persoalan tersebut hari ini penting karena penggunaan rasio dan pengaguman terhadap akal demikian besar sehingga bukan hanya terjadi desakralisasi, tetapi juga melampauinya sehingga muncul despiritualisasi yang mengingkari.

Islam sering disebut sebagai agama rasional, bahkan diserukan bahwa “tidak ada dogma dalam ajaran Islam”. Hal tersebut menuai banyak pemahaman. Apabila yang dimaksud dogma adalah keyakinan keagamaan yang harus diterima walau tidak dimengerti oleh akal, maka hal ini benar. Tetapi kalau maksudnya adalah adanya tuntutan Islam yang bertentangan dengan akal, ini tidak benar.

Dalam Islam terdapat permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dipahami oleh akal kita. Argumentasi logis apapun yang mendukungnya, tetap tidak akan dapat memberikan jawaban yang memuaskan.[3] Akal memiliki wilayah yang terbatas pada alam fisika, sedang agama berbicara alam metafisika. Namun demikian ajaran Islam selalu sesuai dengan akal menyangkut hal-hal yang berada pada wilayah akal dan yang Allah beri potensi untuk mengetahuinya. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal menyangkut hal-hal yang tidak terungkap secara jelas rincian serta sebab-sebabnya.

At-Thāriq al-Isyrāqy, Jalur Pencerahan Batin

Pertemuan terakhir dengan gurunya, penulis menagih janji gurunya untuk menjelaskan tentang jalur pencerahan batin. Diskusi ini bermula dari uraian sang guru tentang aneka jalan yang ditempuh manusia guna menemukan kebahagian, bahkan guna menemukan Tuhan karena hakikatnya disanalah letak kebahagiaan itu bersemi. Gurunya menyatakan bahwa menelusuri jalan ruhani adalah mendaki tingkat demi tingkat, atau diberi nama maqāmat. Adapun mencapai hal tersebut membutuhkan perjuangan.

BACA JUGA :  Mempertahankan Semangat Ngaji: Kisah Inspiratif Imam Ahmad dan Murid-muridnya

Abu Bakar al-Kalabadzy (w.880 M) menuturkan bahwa maqam itu bermula dengan 1) taubat, lalu 2) zuhud, 3) sabar, 4) tawakkal, 5) ridha, 6) mahabbah, dan 7) ma’rifat. Abu Ja’far ath-Thusy (385-460) menyebut maqam secara berturut: 1) taubat, 2)zuhud, 3) sabar, 4) syukur, 5) khauf/takut, 6) raja’/harapan, 7) ridha, 8) tawakkal, dan akhirnya 9) cinta. Demikian terlihat bahwa terdapat perbedaan tentang tingkat, bahkan nama serta jumlah maqam tersebut. Kendati para pengamal tasawuf berbeda terkait maqam, tetapi ada kesepakatan yang ditemukan di celah perbedaan itu yaitu jalan itu harus dimulai dengan taubat.

Setelah tiga pembahasan pokok di atas, penulis dalam bukunya juga memberikan kajian tambahan, diantaranya; dialog para ‘arif dan shufi, surat jawaban imam al-Ghazaly kepada seorang anak, empat puluh hikmah dan pesan shufi, tasawuf, serta akal dan kedudukannya.

Secara umum, buku ini sangat menarik dibaca untuk seluruh kalangan khususnya para akademisi di bidang Ushuluddin. Disajikan dalam bentuk tanya jawab yang mengalir dan kritis, menambah ketajaman terhadap pengupasan tiap-tiap pembahasan. Selebihnya, diucapkan terimakasih kepada penulis atas karyanya yang memuat banyak ilmu dan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dzat yang menguasai sekaligus pemilik segala ilmu. Wa Allahu a’lamu bi as-showab.

Sarang, 07 Januari 2020

  1. Perlu diperhatikan, bahwa setiap perubahan selalu berpotensi positif dan negatif. Dengan begitu, diperlukan tolak ukur yang pasti untuk menilainya. Jawabannya adalah agama yang berlandasakan pada akidah, syariah dan akhlak yang tidak akan berubah dan bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, dan karena itu kita katakan, ‘Islam tidak berubah, tetapi pemahaman terhadap ajaran islam atau ijtihad dapat berubah’.

  2. Syaikh Muhammad Ridha an-Najafy al-Ishfahani (1287-1362 H) dalam bukunya Naqīd Falsafat Darwin (Kritik terhadap Filsafat Darwin) menanggapi teori ini dengan menyatakan, “Tidak ada kontradiksi antara teori Darwin dengan agama, yang perlu kita yakini bahwa seluruh makhluk di dunia ini adalah ciptaan Tuhan Mahakuasa” “Bukan masalah kita umat Islam”, lanjutnya, “Apakah unta itu berasal dari keturunan kodok yang mengapung di air, atau gajah berasal dari burung camar yang terbang di udara.”

  3. Guru penulis memberikan pertanyaan, “Apa tujuan diwajibkannya thaharah/berwudhu sebelum sholat?” Tujuannya adalah membersihkan aggota tubuh dari hadast. Kalau demikian, mengapa seorang yang tidak menemukan air diperintah tayamum sebagai ganti dari air? Bukankah tanah-meskipun bersih- dapat mengotori badan? Jawabannya boleh jadi karena tanah adalah asal muasal manusia dan dapat didapatkan dimana-mana. Tujuan penggunaan tanah disini juga dinilai suatu kemudahan. Jika demikian, bukankah lebih baik jika kemudahan itu berbentuk ketiadaannya kewajiban bersuci? Segi ketidakpuasan jawaban oleh akal sangat nampak disini, biarkan semua buram tanpa kejelasan.

*Ika Wahyuningsih

Salah satu pengurus Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *