Omongan, “Menjadi anak muda sekarang memang berat. Ujiannya aneh-aneh. Belum tentu orang-orang jaman dulu bisa lebih baik atau lebih sukses ketimbang anak ‘Zaman Now’ saat mereka hidup di zaman sekarang. Sebab, zaman now yang sudah terlalu gila dengan model digitalnya, baik yang negatif atau positif.”, menurut saya ada benarnya, juga ada salahnya. Benarnya: memang dalam himpitan dan serbuan digital yang membabi buta sepert saat ini, susah memfokuskan diri demi perkembangan karakter dan pengetahuan. Yang ada, dan kebanyakan, semua waktu akan terforsir dan terkuras habis meladeni adiktif digital yang tidak ada ujungnya. Mereka tidak lupa makan, tidak lupa sholat itu sudah baik, meskipun secara karakter dan pengetahuan tidak berkembang sama sekali.
Salahnya: jika perkataan di atas dijadikan argumen serampangan oleh pemuda ‘Zaman Now’ agar supaya dia tidak disalahkan dan hanya menuruti keegoan pelampiasan diri, inilah yang perlu dikoreksi. Memang benar, keadaan saat ini sudah serba sulit untuk menajadi orang yang fokus dan berkembang, baik dalam karakter atau pengetahuan. Semakin hari pemuda-pemuda ini semakin jauh dari mementingkan bidang pendidikan. Pendidikan secara tidak sadar terkikis dari perhatiannya. Alih-alih mementingkan pengembangan karakter dan pengetahuan, yang ada mereka malah meladeni candu digital hanya demi label yang semu, bahkan absurd. Mereka tetap berjibaku dengan digital sebagai maniak agar tidak dilabeli ‘gaptek’, culun, kuper, ndeso dan sebagainya.
Sebenarnya kalau kita mau belajar dan meneliti bagaimana orang-orang besar itu berproses, maka kita akan mendapati: proses mereka ternyata memang rumit. Proses mereka ternyata memeras peluh. Proses mereka ternyata tidak gampang. Dan tentu, proses-proses tersebut tidak bisa dilalui kecuali hanya calon orang-orang besar saja. Atas dasar ini, dalam lintasan sejarahpun membuktikan bahwa orang-orang besar selalu lahir dari proses yang panjang, rumit, melelahkan dan pasti membosankan. Tapi tidak bisa dipungkiri, bahwa inilah bekal yang musti dimiliki oleh mereka. Demi masa depan yang mapan, terlebih dahulu mereka harus menyiapkan pondasinya. Pendasinyapun tidak boleh rapuh. Harus kuat. Labirin proses inilah yang menjadi cikal-bakal pondasi tersebut.
Contoh proses itu juga tergambar dari proses pembentukan karakter Nabi saat masih muda. Secara menusiawi, beliau juga merasakan apa yang dirasakn oleh umumnya pemuda saat menginjak masa ABG (remaja). Mengenai hal itu, suatu saat Nabi bercerita:
“Saya tidak menghendaki (ingin melakukan) sesuatu hal yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah kecuali dua kali…Suatu malam, saya mengatakan kepada pemuda yang ikut menggembala kambing di atas lereng Makkah, “Andai Engkau sudi mengawasi kambing-kambing saya, sehingga saya memasuki Makkah dan bergadang sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuda. Lantas pemuda tersebut berkata, “Lakukanlah (Pergilah)”. Maka saya pergi sehingga sampai di awal pemukiman Makkah. Sayapun mendengar suara musik. Kemudian saya bertanya, “Ini ada apa?”. Lantas mereka menjawab, “Ini pesta pernikahan Fulan dengan Fulanah”. Sayapun duduk untuk mendengarkannya. Lantas Allah menulikan pendengaran saya dan saya akhirnya tertidur. Saya tidak bangun kecuali saat terik matahari menyengat…”
Yang perlu kita ingat baik-baik adalah, Nabi-pun sebagai manusia juga mengalami proses gejolak batin saat beliau tumbuh menjadi seorang pemuda. Nabi juga ingin bergadang mengadiri pesta pernikahan sebagaimana yang dilakukan pemuda pada umumnya. Saat mendengar suara pesta di atas lereng Makkah, beliau ingin menghadirinya. Bahkan keinginan tersebut sempat diceritakan pada sahabatnya. Jadi, kalau kita menganggap bahwa kemaksuman nabi adalah tidak adanya sifat manusiawi sama sekali, itu salah besar. Dengan proses ini, masa muda beliau juga sama dengan kita. Masa yang penuh gejolak untuk mencoba hal-hal yang membuat penasaran. Ini sisi persamaan sebagai makhluk yang berjenis manusia.
Lantas yang menjadi perbedaan antara kita sebagai pemuda dan nabi pada waktu itu, adalah terletak pada proses tempaannya. Nabi yang memang ditakdirkan menjadi orang besar mendapat jaminan bahwa beliau pasti melewati pembentukan karakter itu. Sedari muda, Allah menentukan dan menuntun melalui sifat kemaksuman, nabi dicetak dalam wadah orang-orang besar. Karakter beliau sedemikian rupa dibentuk hanya melalui sifat-sifat positif. Jika ada kecendrungan negatif, maka secara otomatis Allah sendiri yang akan mengarahkan pada tempaan positif. Tidak ada satu proses sama sekali yang melewati tempaan negatif.
Lah itu kalau nabi kan pasti maksum, pasti tempaan karakternya positif. Terus kitanya yang manusia biasa, yang tidak maksum pasti tidak terjamin dong? Saya jawab, iya. Kita memang tidak maksum. Dan tentu tidak pasti selalu dalam tempaan positif. Pun sebaliknya, tidak juga selalu dalam negatif.
La terus bagaimana?
Begini: kita semua hidup dalam frame takdir. Kalau takdirnya buruk, kita juga buruk. Kalau takdirnya baik, tentu kita juga baik. Tapi yang perlu diketahui, baik atau buruk takdir sesorang itu dapat diketahui sejak dini. Kalau sejak awal dia berkecendrungan baik, berarti ia ditakdir menjadi orang baik. Tapi kalau dari awal dia berkecendrungan buruk, berarti patut dicurigai takdirnya buruk. Kalau begitu, sekarang kuncinya ada di diri kita masing-masing. Apakah ingin menciptakan kecendrungan baik yang selalu melawan nafsu angkaranya? Atau malahan kita menuruti kebejatan nafsu angkara yang ahkhirnya selalu berkecendrungan buruk? Dan tentunya ini semua kembali ke diri kita masing-masing.
Terus apa dong hubungannya dengan pembentukan karakter?
Hubungannya, kalau kamu memang terjatah dan terlahir sebagai orang besar, maka dari saat ini kamu akan menyibukkan diri dengan membentuk karakter kamu. Kamu akan sibuk membuat kecendrungan agar kamu sibuk berproses dalam tempaan positif. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, proses-proses yang positif akan kamu lalui. Atau bahkan kamu akan menikmati proses tempaan tersebut. Jika seperti itu, kamu patut bersyukur bahwa sekarang ternyata sudah berada dalam tempa yang positif. Tempaan yang dialului oleh orang-orang besar, termasuk nabi. Dan tentu syukur itu wujudnya adalah kamu terus berada dalam tempaan positif dan terus menempa diri demi pembentukan karakter. Jadi, mau menjadi apapun, orang besar atau kerdil, semua kembali dan berujung di kitanya. Bukan yang lainnya. Mau melihat masa depan kita? Lihatlah masa muda kita. Berproses di manakah masa muda kita, di situlah jawabannya.(*)
*Hasyim MQ. Chairman of PP. Al Anwar 3 18-20.