Beranda > Keilmuan Islam > Islam Menekankan Kualitas Bukan Legal Formal

Islam Menekankan Kualitas Bukan Legal Formal

Islam menekankan kualitas bukan legal formal

Oleh: Wong Dermayu

Islam merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris. Dengan misi inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya. “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” (QS.al-Anbiya’ [21] : 107)

Tiga hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang adalah: Toleran, moderat, dan akomodatif. Bagi seorang muslim, keimanan yang hanya dibalut dengan simbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta prilaku yang terpuji (al-akhlaqu al-karimah).

Berjenggot panjang, memakai sorban dan bercelana di atas tumit itu bagus, tapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Sina dan sejumlah tokoh Islam terkemuka lainya juga berjenggot panjang dan memakai sorban. Namun sekali lagi, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan sorban saja. Sebab ajaran Islam sangat luas dan tidak bisa diwakili hanya dengan simbol belaka.

Simbol adalah kulit siapa pun bisa melakukanya, hingga bencoleng pun bisa melakukan itu dengan mudahnya. Jangan sampai simbol kita terpancing untuk menjustifikasi bahwa seseorang itu muslim puritan atau abangan. Sehingga kita terjebak kepada situasi memprihatinkan seperti sekarang ini, dimana Islam diopinikan sebagai agama teroris, atau teroris diidentikan dengan Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan terorisme dan perilaku ekstrim lainnya.

BACA JUGA :  Keunikan Islam Nusantara dalam Buku “Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan”

 

Lahirnya sekte ekstrim dalam sejarah Islam yang mana itu sangat dicela oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sudah ada sejak abad pertama Hijriah. Kelompok ini mulai berani menunjukan diri di hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Syawal tahun 8 Hijriah, saat beliau shallallahu alaihi wa sallam memenangkan perang Thaif dan Hunanin. Dalam pernag ini ghanimah yang diperoleh sangat melimpah. Dalam pembagian yang dilakukan di Ja’ranah, tempat miqat umrah, sahabat Nabi senior seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lainya tidak mendapatkan bagian ghanimah. Tapi sahabat yang baru masuk Islam, medapatkan meski mereka sudah kaya seperti Abu Sufyan.

Tiba –tiba seorang yang bernama Dzul Khuwashiroh dari keturunan Bani Tamim maju kedepan dengan sombongnya sambil berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad!!” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku saja tidak berbuat adil? Lantas Umar berkata, “Wahai Rasulullah biarkan kupenggal saja lehernya,”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Biarkan saja!” Ketika orang itu berlalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Akan lahir dari keturunan orang ini yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai pada tenggorokannya (tidak memahami substansi misi-misi al-Qur’an dan hanya hafal dibibirnya tok).

Prediksi Nabi shallallahu alaihi wa sallam terbukti pada Ahad pagi,17 Ramadhan 40 H. Pagi itu al-Kahifah al-Rasyid ke-4 Ali Bin Abi Thalib, dibunuh di Kuffah, Irak. Pembunuhnya adalah Abdurahman Bin Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua orang lagi yakni, Gubernur Syam (Syiria) Muawiyah bin Abu Sufyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash, yang melakukan eksekusi pembunuhan kedua pemimpin Islam ini masing-masing adalah Abdullah Bin Barok dan Bakr At-Taimi. Mereka membunuh Sayidina Ali Karramallahu wajhahu karena menganggapnya kafir, dengan alasan karena Ali bersedia menerima keputusan hasil perundingan tahun 37 H, antara utusan Khalifah Ali yang dipimpin Abu Musa al-Asyari (sudah sepuh) dan utusan Muawiyyah yang dipimpin oleh Amr bin Ash (diplomat muda). Masing-masing utusan berjumlah 350 orang. Perjanjian ini tujuannya untuk menghentikan perang saudara dalam perang Siffin.

BACA JUGA :  Empan Papan: Gaya Hidup Ideal Versi Pesantren Al-Anwar 3 Putri

 

Perlu saya ingatkan, bahwa meraka (yang membunuh Ali bin Abi Thalib) adalah kelompok yang tidak memehami Islam, padahal mereka rata-rata qaimu al-Lail, shaimu al-nahar, hafud al-Qur’an. Mereka hafal al-Qur’an, setiap malam tahajud, hampir tiap hari puasa sunnah, jidatnya item, dan lututnya kapalan untuk sujud. Gambaran ini diriwayatkan detail di Syarah Shahih Muslim, termasuk Dzul Khuwashiroh, Imam Nawawi menjelaskan bahwa Dzul Khuwashiroh adalah sosok yang berjidat item, kepalanya botak tidak berambut, tinggi gamisnya setengah kaki, dan jenggotnya panjang.

“Mereka yang karbitan-karbitan berani mengkafirkan اول من أمن من الصبيان (wong sing mondok’e suwe )”

Fahrur Razi
Santri aktif pondok pesantren Al Anwar 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *