Beranda > Seputar Pondok > Kajian Fiqh > HASIL MUSYAWARAH GABUNGAN MDT AL ANWAR 3 PUTRI

HASIL MUSYAWARAH GABUNGAN MDT AL ANWAR 3 PUTRI

(Selasa, 23 November 2021)

  1. Dilema Jual Beli dengan Sistem “Dropship”

Deskripsi Masalah :

Salah satu sistem jual beli di zaman sekarang (modern) adalah penjual menjual barang yang tidak ada di tangannya atau biasa disebut dengan “Dropship”. Contohnya Zainab mempunyai toko batik di Shopee. Toko tersebut sudah terkenal dan mempunyai banyak reseller, salah satunya adalah Sinta. Kemudian Sinta mempunyai teman jauh yang bernama Dewi. Si Dewi membeli batik melalui Sinta, kemudian Sinta memesan batik tersebut kepada Zainab melalui sistem dropship.

Pertanyaan :

Bagaimana hukum melakukan jual beli dengan sistem dropship, yang barangnya tidak ada di tangan dropshiper ?

Jawaban :

Dalam jual beli dengan sistem dropship ada dua proses akad jual beli. Pertama, antara dropshiper dengan pembeli. Kedua, antara dropshiper dengan supplier. Adapun yang kedua ini terjadi sebuah akad jual beli (pemesanan barang), oleh dropshiper kepada supplier. Dengan demikian, barang yang di beli oleh pembeli kepada dropshiper adalah barang yang dalam wilayah dropshiper itu sendiri. Bahkan sudah menjadi miliknya sepenuhnya jika ia telah membayar harga yang di berikan oleh supplier secara penuh.  Meskipun barang tidak pernah sampai ke tangannya. Dengan demikian, jual beli sistem ini :

Boleh, dengan catatan : dropshiper dapat bertanggungjawab  atas sampainya barang ke tangan pembeli, meskipun barang tidak ada di tangannya (dalam artian, dropshiper tersebut telah memesan/membeli dari supplier).

Ta’bir :

وَ ” ثَالِثُهَا ” قُدْرَةُ تَسَلُّمِهِ ” فِي بَيْعٍ غَيْرِ ضِمْنِيٍّ لِيُوثَقَ بِحُصُولِ الْعِوَضِ وَتَعْبِيرِي بِذَلِكَ أَوْلَى مِمَّا عَبَّرَ بِهِ ” فلا يصح بيع نحو ضال ” كَآبِقٍ وَمَغْصُوبٍ وَبَعِيرٍ نَدَّ ” لِمَنْ لَا يَقْدِرُ على رده ” لعجزه عن تسلمه حالا بخلاف بَيْعِهِ لِقَادِرٍ عَلَى ذَلِكَ نَعَمْ إنْ احْتَاجَ فِيهِ إلَى مُؤْنَةٍ فَفِي الْمَطْلَبِ يَنْبَغِي الْمَنْعُ وتعبيري بذلك أولى مِنْ اقْتِصَارِ الْأَصْلِ عَلَى الضَّالِّ وَالْآبِقِ وَالْمَغْصُوبِ

(زكريا بن محمد بن أحمد بن زكريا الأنصاري, فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب, دار الفكر للطباعة والنشر, ص ١٨٨)

2. Akad Nikah Virtual

 Deskripsi Masalah :

Satya dan Arum adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh Pendidikan di Universitas al-Ahgaff Yaman, mereka merupakan sepasang mempelai yang akan melaksanakan pernikahan secara virtual dikarenakan tidak adanya mahram ataupun yang mewakili untuk dijadikan wali nikah bagi Arum di sana. Selain itu mahalnya ongkos pulang dan sulitnya persyaratan untuk bisa masuk ke tanah air (akibat covid 19) juga menjadi penyebab terlaksananya pernikahan secara virtual.

BACA JUGA :  Uang Nyasar dan Bayar Hutang dengan Tanah Wasiat. Hukum dan Kejelasan

Pertanyaan :

  • Apakah sah melaksanakan akad nikah secara virtual?
  • Bagaimana jika pernikahan tersebut sudah terlanjur terjadi?

Jawaban :

  1. Tidak Sah

Dalam melangsungkan akad nikah, ada 4 orang yang harus hadir dalam satu majelis, yaitu: wali, mempelai laki-laki, dan dua orang saksi. Ketentuan ini mutlak harus dipenuhi. Apabila ada yang tidak bisa hadir, akad nikah boleh di wakilkan (cara ini menjadi satu-satunya cara agar akad nikah dapat dihukumi sah). Akad nikah melalui surat-menyurat, telepon atau sejenisnya dinyatakan tidak sah.

Ta’bir :

 (فرع) يشْتَرط فِي صِحَة عقد النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَةٍ وليٍّ وَزوجٍ وشاهدَي عدلٍ وَيجوز أَن يُوكِّل الْوَلِيُّ وَالزَّوْجُ فَلَو وكّل الْوَلِيّ وَالزَّوْجُ أَو أَحدُهمَا أَو حضر الْوَلِيّووكيلُه وَعقد الْوَكِيلُ لم يَصحَّ النِّكَاحُ لِأَن الْوَكِيل نَائِب الْوَلِيّ وَالله أعلم

(تقي الدين الحصني الشافعي, كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار, ص ٣٥٨)

(وَلَا يَنْعَقِدُ بِكِنَايَةٍ) إذْ لَا مَطْلَعَ لِلشُّهُودِ عَلَى النِّيَّةِ، وَالْمُرَادُ الْكِنَايَةُ فِي الصِّيغَةِ أَمَّا فِي الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ فَيَصِحُّ فَإِنَّهُ لَوْ قَالَ زَوَّجْتُك ابْنَتِي فَقَبِلَ وَنَوَيَا مُعَيَّنَةً صَحَّ كَمَا سَيَأْتِي مَعَ أَنَّ الشُّهُودَ لَا مَطْلَعَ لَهُمْ عَلَى النِّيَّةِ فَالْكِنَايَةُ مُغْتَفَرَةٌ فِي ذَلِكَ (وَ) لَا بِ (كِتَابَةٍ) وَفِي نُسْخَةٍ وَبِكِتَابَةٍ فِي غَيْبَةٍ أَوْ حُضُورٍ؛ لِأَنَّهَا كِنَايَةٌ

(زكريا بن محمد بن زكريا الأنصاري, أسنى المطالب في شرح روض الطالب ج ۳, ص ١١٩)

  • Konsekuensi pernikahan

Jika terjadi sebuah akad nikah yang tidak sah, maka ada beberapa hal yang harus ditindaklanjuti, antara lain :

  • Kedua mempelai harus memisahkan diri.
  • Jika tidak segera memisahkan diri, pemerintah harus bersikap (antara mengesahkan atau tidak).

Jika pemerintah tidak bersikap, dan mereka tidak mau memisahkan diri, proses akad nikah harus segera diulang kembali agar pernikahan mereka sah sebelum terlanjur melakukan hubungan suami istri. Jika akad nikah tidak segera di ulang, dan mereka terlanjur melakukan hubungan suami istri, maka pihak laki-laki wajib membayar mahar mitsli dan harus dihukum (bukan di had) jika mereka meyakini keharaman, karena hubungan suami istri yang mereka lakukan tidak termasuk perzinahan (sebab ada pendapat yang mengesahkan). Hal ini dinamakan shubhatut thoriq.

Apabila mereka sampai menghasilkan anak, anak tetap bernasab ke pihak laki-laki, sebagaimana ketentuan dalam wathi’ syubhat. Namun, jika pemerintah mengatakan tidak sah, dan mereka tidak mau memisahkan diri (melakukan akad ulang), bahkan melakukan hubungan suami istri, maka mereka harus di had karena telah melakukan perzinahan. Apabila sampai mempunyai anak, anak dihukumi sebagaimana anak hasil perzinahan.

BACA JUGA :  Menanggapi Fenomena di Era Digital: Hasil Musyawarah Gabungan MDT Al-Anwar 3 Putri

Ta’bir:

(ﻭَاﻟﻮﻁْءُ) ﻭﻟﻮ ﻓﻲ اﻟﺪُّﺑُﺮِ (ﻓﻲ ﻧﻜﺎﺡ) ﺑِﺸُﻬﻮﺩ (ﺑﻼ ﻭﻟﻲ) ﻛﺘﺰﻭﻳﺠﻬﺎ ﻧﻔﺴﻬﺎ، ﺃﻭ ﺑﻭﻟﻲﺑِﻼ ﺷﻬﻮﺩ ﻭﻟﻢ ﻳَﺤْﻜُﻢْ ﺣﺎﻛِﻢٌ ﺑِﺼِﺤَّﺘِﻪ ﻭﻻ ﺑِﺒُﻄْﻼﻧِﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺐ المُسَمَّى ﺑﻞ (ﻳﻮﺟﺐ ﻣَﻬْﺮَ اﻟﻤِﺜْﻞِ) ﻟﻔﺴﺎﺩِ النِّكاﺡِ ﻭلِخَبَرِ: «ﺃﻳُّﻤَﺎ اﻣﺮﺃﺓٍ ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﻴﺮ ﺇﺫﻥ ﻭَلِيِّهَا ﻓﻧﻜﺎحُها ﺑﺎﻃﻞٌ (ﺛﻼﺛﺎ)، ﻓﺈﻥ ﺩﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻓﻠﻬﺎ المهْرُ ﺑﻤﺎ اﺳﺘﺤَﻞَّ ﻣﻦ ﻓَﺮﺟِﻬﺎ، ﻓﺈﻥ ﺗﺸﺎﺟﺮﻭا ﻓﺎﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭَﻟِﻲُّ ﻣَﻦْ ﻻ ﻭﻟﻲَّ ﻟﻪ» ﺭﻭاﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺣﺴﻨﻪ ﻭاﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻭاﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻَﺤَّﺤَﺎ _ إلى أن قال_ : ﻭ (ﻻ) ﻳﻮﺟِﺐ اﻟﻮﻁءُ ﻓﻲ اﻟﻨﻜﺎﺡِ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭِ (اﻟﺤﺪَّ) ﺳﻮاء ﺃَﺻَﺪَﺭَ ﻣﻤﻦ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﺗﺤﺮﻳﻤَﻪ ﺃﻡ ﻻ ﻟﺸُﺒْﻬﺔ اﺧﺘﻼﻑِ اﻟﻌﻠﻤﺎءِ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ النكاﺡِ، ﻟﻜﻦ ﻳُﻌﺰَّﺭ ﻣﻌْﺘَﻘِﺪُ ﺗﺤﺮﻳﻤِﻪ ﻻﺭﺗﻜﺎﺑﻪ ﻣُﺤﺮَّﻣًﺎ ﻻ ﺣﺪَّ ﻓﻴﻪ ﻭﻻ ﻛﻔﺎﺭﺓَ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳَﻄﺄِ اﻟﺰَّﻭﺝُ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﻨﻜﺎﺡِ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭِ ﻓﺰَﻭَّﺟَﻬﺎ ﻭليُّها ﻗﺒﻞ اﻟﺘﻔﺮﻳﻖ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺻﺢَّ، _ إلى أن قال _: ﻓﻠﻮ ﻭﻃﺌﻬﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﺤﻜﻢ ﺑﺒﻄﻼﻧﻪ ﺣُﺪَّ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﻤﺎﻭَﺭْدِيُّ. 

(محمد بن أحمد الخطيب الشربيني الشافعي, مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج, ج ٤ ص ٢٤٤)

(واعلم) أن الشُّبْهةَ تنقسم ثلاثةَ أقسامٍ القِسمُ الأوّلُ شبهةُ الفاعل، وهي كَمنْ وطِئ على ظن الزوجية أو الملكية.

والقسم الثاني: شبهة المحل وهي كمن وطئ الأمة المشتركة.

والقسم الثالث: شبهة الطريق وهي التي يقول بها عالم يعتد بخلافه.

والأول لا يتصف بحل ولا حرمة لأن فاعله غافل وهو غير مكلف.

والثاني حرام.

والثالث إن قلد القائل بالحل لا حرمة وإلا حرم

(أبو بكر عثمان بن محمد شطا الدمياطي الشافعي, إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين, ج ۳, ص ۳۳٧)

وبشبهة يثبت النسب والعدة لاحتمال حملها منه سواء أوجد منها شبهة أيضا أم لا لكن يحرم على الواطئ بشبهة نظر أم الموطوءة وبنتها ومسهما

(زين الدين أحمد بن أحمد المعبري المليباري الهندي, فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين, ص ٤٥٩)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *