Sekilas Tentang Penulis
Mark R. Woodward menyelesaikan karya ini ketika ia menjadi asisten profesor Islam dan agama-agama Asia Tenggara pada Jurusan Studi Agama di Universitas Negeri Arizona. Sebagai tambahan untuk memperoleh Ph.D di bidang antropologi dari Universitas Illinois, ia belajar agama di Universitas Chicago Divinity School. Dia pernah memperoleh beasiswa dari Fulbright-hays, Social Sciense Research Caunsil dan Smithsonian, dan pernah mengajar di Bowdoin College dan Illonis Weslwyan University.
Gambaran Isi
Jatuh-bangun-jatuh-bangun lagi. Begitulah perjuangan Woodward untuk menghasilkan karya yang tidak biasa ini. Dimulai dengan meneropong unsur-unsur Hindu dari ideologi dari ritual kejawen, namun usahanya masih nihil. Selanjutnya, untuk menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme tradisional Jawa juga sama mengecewakan. Bahkan filsafat wayang Jawa yang secara tampak berdasarkan pada epik akbar Hindu –Mahabarata dan Ramayana– pun secara khusus tidak tampak berwajah “India.”
Setelah usahanya berkali-kali dirasa gagal, ia mencari alternatif lain seperti mempelajari doktrin dan ritual Islam. Dengan kerja kerasnya selama bertahun-tahun meneliti Islam di tanah Jawa, ia merasa telah menemukan Islam yang berbeda disana. Dari sinilah ia menemukan titik temu mengenai konsep Islam Jawa.
Dalam pengakuannya, Woodward menuturkan bahwa “Kendati buku ini merupakan kritik terhadap karya Clifford Geertz Religion of Java, namun buku ini juga diilhami olehnya.” Lebih dari itu, Clifford Geertz juga memperkenankannya untuk menelaah naskah bukunya Negara sebelum dipublikasikan. Dari interaksi keduannya, secara tidak langsung mempunyai beberapa kesamaan dalam metodologi penelitiannya; sama-sama menggunakan pendekatan etnografi. Perbedaanya hanya terletak pada sumber yang digali. Meski demikian, sumber tersebut mempunyai dampak yang begitu signifikan sehingga mempunyai kesimpulan yang berbeda.
Berbeda dengan pandangan para peneliti sebelumnya yang mengatakan bahwa antara Islam dan Jawa merupakan dua entitas yang berbeda—berlawanan dan menyimpang—justru ia memandang bahwa keduannya saling berkaitan dan menguatkan. Jika ternyata ada pertentangan yang terjadi antara keduannya, itu hanya bersifat permukaan saja. Pertentangan ini biasa dirujuk sebagai persoalan klasik Islam, yaitu bagaimana menyeimbangkan antara dimensi hukum dan dimensi mistik, antara wadah dan isi, antara lahir dan batin. Dengan demikian, Islam Jawa dianggap sebagai varian yang wajar dalam Islam dan berhak hadir, sebagaimana juga ada Islam India, Islam Arab, Islam Persia, Islam Melayu, dan seterusnya. Untuk mengetahui Islam Jawa secara lebih dekat, setidaknya ada beberapa poin penting yang akan dijelaskan berikut.
1. Syari’at Islam
Syari’at adalah hukum Islam. Syari’at merupakan kodifikasi dari seperangkat norma tingkah laku yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadis. Para penganutnya meyakini bahwa hal itu merupakan kunci kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dari sini, syari’at dan ritual-ritual serta bentuk-bentuk tingkah laku yang dihubungkan dengannya akan disebut sebagai “kesalehan normatif”.
2. Jawa dan Tradisi Islam
Sejarah Islam Jawa masih terlihat agak kabur. Konsensus kesarjanaan mengakui adanya problem
Menurut Woodward, Islam Jawa merupakan varian unik. Hal ini bukan karena ia mempertahankan aspek-aspek budaya dan agama pra-Islam, melainkan karena konsep-konsep sufi mengenai kewalian, jalan mistik, dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi kultus kraton. Pada gilirannya, agama negara merupakan sebuah model konsepsi Jawa tradisional mengenai aturan sosial, ritual, dan aspek-aspek kehidupan sosial seperti bentuk-bentuk kepribadian, hati, dan penyakit.
3. Sufisme dan Kesalehan Normatif di Kalangan Santri
Syari’at sebagai bentuk kesalehan normatif ditekankan oleh para ulama untuk menegaskan keimanan kepada Tuhan dan sebagai syarat untuk mencapai pengetahuan mistik (sufisme). Bahkan teks mistik yang mengemukakan teori kesatuan makhluk menekankan pentingnya syari’at.
Dalam pembahasan mengenai sufisme, Woodward membagi pemikiran mistik santri tersebut menjadi dua masa. Pemikiran sufisme pra-modern dan kontemporer. Pemikiran sufistik santri pra-modern atau tradisional masih terfokus pada persoalan-persoalan metafisika yang abstrak. Sedangkan pemikiran sufistik kontemporer bersifat dualistis. Ia meyakini bahwa ada perbedaan ontologis yang jelas antara kemanusiaan dan ke-Ilāhian. Tujuannya adalah untuk menyucikan jiwa agar bisa lebih dekat dengan Allah. Tidak seperti konsep wahdatul wujud yang bersifat abstrak.
4. Agama Keraton dan Agama Kampung: Interpretasi Sosial Sufisme
Formulasi keraton dan kampung mengenai Islam Jawa sama-sama menekankan praktik dan pengalaman mistik, ritual, dan pemujaan wali. Baik bangsawan maupun warga kampung yang kejawen tidak menruh perhatian pada kesalehan normatif. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan bentuk keagamaan yang lebih cocok untuk santri sehingga secara pribadi mereka menganggapnya tidak perlu, bahkan tidak menyukainya.
Dalam hal ini, Woodward menganggap bahwa secara keseluruhan praktik keagamaan yang dianut warga kampung dan bangsawan kraton adalah praktik mistis. Namun, kemudian ia juga membagi praktik keagamaan di luar kraton menjadi dua aliran, yaitu santri putih dan santri abangan. Santri putih digambarkan sebagai santri yang memperhatikan kesalehan normatif dan dianut oleh sebagian masyarakat dan para ulama. Selebihnya dianggap sebagai santri abangan.
5. Pendekatan yang Digunakan
Kajian antropologi yang dilakukan Woodward tentang Islam Jawa ini masih sama dengan yang digunakan Clifort Geertz, yaitu pendekatan etnografi. Pendekatan ini memfokuskan kajiannya untuk meneliti entitas yang terdapat pada suku atau sekelompok tradisi. Dalam penelitian ini, ada beberapa entitas yang menjadi obyek penelitian Woodward, seperti keraton, pesantren, masjid, dan entitas lainnya.
Walaupun sama-sama menggunakan pendekatan etnografi, buku ini berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Nampaknya, Woodward ingin menampilkan sesuatu yang berbeda dari wacana dominan selama ini. Pemisahan antara “Islam” dengan segala macam ekspresi “budaya” juga didorong oleh wacana pembaharuan dan pemurnian Islam.
Selain menggunakan data etnografis, kajian dalam buku ini juga menggunakan pertimbangan teks-teks Jawa. Teks-teks dan tradisi-tradisi mitologi lisan digunakan dalam analisis terhadap beberapa problem paling fundamnetal dalam agama Jawa, terutama menyangkut hubungan antara kebatinan dan kesalehan normatif. Pemecahan terhadap problem ini ditemukan dalam teks-teks sejarah dan keagamaan dengan perbandingan kalangan Muslim Jawa kontemporer. Tujuannya adalah untuk menjelaskan tradisi-tradisi intelektual yang menjadi basis teks-teks Jawa dan membuka jalan untuk digunakan dalam studi agama Jawa kontemporer.
6. Kelebihan dan Kekurangan
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa buku ini mempunyai keistimewaan dari sisi perbedaannya dengan mayoritas penelitian walaupun menggunakan metode yang sama. Woodward berusaha menampilkan wajah yang berbeda mengenai Islam Jawa. Selain itu, ia juga menampilkan praktik keagamaan keraton yang dianggapnya berkaitan dengan praktik keagamaan masyarakat.
Secara sistematika, banyak sekali peletakkan sub-bab yang tidak berkaitan dengan bab yang akan dibahas. Bagi pembaca pemula mengenai kajian antropologi, karya Woodward ini sulit dipahami. Selanjutnya, mengenai tata letak pembahasan yang murni kajian lapangan dan kajian kepustakaannya mengenai karya Geertz—yang kemudian dikritiknya—dicampuradukkan sehingga secara sekilas nampak tak beraturan.
Mengenai isi buku ini, banyak sekali ketidaksesuaian mengenai istilah. Pertama, karya Geertz Religion of Java yang meneliti tentang agama Jawa, ia mengkritik hanya karena mengabaikan praktek sufisme. Padahal, penelitian tentang agama tidak hanya berkutat pada sufisme. Walaupun, sufisme merupakan unsur penting yang berpengaruh besar dalam proses islamisasi penduduk nusantara. Kedua, Woodward nampaknya kurang memahami perbedaan sufisme dan mistisime. Ia hanya memandang bahwa orang yang kurang mengindahkan unsur kesalehan normatif dianggap sufisme. Ketiga, sebagaimana kritikan peneliti setelahnya, ia menganggap bahwa kejawen merupakan produk Islam, bukan Hindu-Budha. Hal ini berbeda jika ia mengatakan bahwa Islam Jawa merupakan perpaduan agama dan budaya lokal.
Oleh: Andy Agusta
Judul Buku : Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan
Judul Asli : Islam in Java: Normative Piety and Misticism
Penulis : Mark R. Woodward
Penerjemah : Hairus Salim HS
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xxii + 412 halaman
(*)