Beranda > Keilmuan Islam > KAROMAH SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN

KAROMAH SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN

Karomah Syaikhona Kholil Bangkalan

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Mengambil Kepiting dan Rajungan di Laut saat Bahtsul Masail di Makkah

Para Ulama Makkah berkumpul di Masjidil Haram untuk berdiskusi membahas masalah dan hukum Islam yang sedang terjadi di Makah. Semua masalah dapat diselesaikan kecuali mengenai halal haramnya kepiting dan rajungan yang terdapat banyak pendapat dan tidak menemukan solusi.

Kyai Kholil duduk berada diantara peserta lainya. Melihat permasalahan tersebut belum menemukan solusi, Kyai Kholil minta izin untuk menawarkan solusi. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan kedepan oleh pimpinan diskusi untuk mejelaskan.

“Saudara sekalian, ketidaksepakatan dalam menentukan hukum kepiting dan rajungan ini disebabkan kita belum pernah melihat bentuk aslinya” Ujar Kiyai Kholil. “Kepiting seperti ini” ucap kyai Kholil sambil memegang dan menunjukan kepiting yang masih basah.

“Sedangkan rajungan seperti ini” lanjut beliau, seakan beliau baru saja mengambilnya dari laut. Semua hadirin merasa terpana dan suasana menjadi gaduh. Mereka saling bertanya dari mana Kyai Kholil mendapatkan kedua hewan tersebut dalam sekejap saja. Setelah kejadian tersebut, akhirnya para ulama menemukan solusi dan Kyai Kholil disegani para ulama Masjidil Haram.

BACA JUGA :  INDAHNYA ISLAM; SIKAP KITA TERHADAP PERLAKUAN MEREKA

Melindungi calon santrinya dari musibah

Pada kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di tengah kawasan Alas Roban Kec. Batang, Pekalongan. Menurut cerita, si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Madura, untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa helai sarung, baju, dan celana untuk tidur, golok serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat dari batu.

Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Alas Roban di luar kota Batang, Pekalongan. Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat untuk tidur, tiba-tiba muncul sosok laki-laki. Namun karena tampangnya biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok. Namun setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api.

BACA JUGA :  Tradisi Sorogan Kitab sebagai Langkah Awal Menjaga Manhaj Salaf

“Masih perlu dibikin kasar sedikit….” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya sehingga pecah menjadi dua. Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan.

“Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu.

Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau barang-barang kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bangkalan Madura” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas.

“Mengapa kalian ke sana?” Tanya orang itu.

“Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin. Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil.

“Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?”

“Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira karena merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset.

“Kalau begitu, serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu, lanjutnya“Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga kalian semalaman.”

Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi.

“Ayo kita berangkat,” ujar orang itu.

“Ke mana ?” tanya para calon santri.

“Akan kuantar kalian keluar dari hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain.” jawabnya dengan ramah.

 

 

Oleh: Robert Davis Santiago Jkt City

Kamar 01

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *