“Aku tidak membutuhkanmu.”
Terdiam dalam gelegar yang menyambar amarah. Tiga kata yang menikam jantung hati. Ketika apa yang telah menjadi sandaran, pergi meninggalkan. Apalah daya agar tidak jatuh, jika itu perihal hati.
“Betapa menyakitkan.”
“Maaf.”
“Hanya kata maaf, kamu bilang?”
Lalu kenapa kamu memintaku menjadi kekasihmu, ketika kamu ucapkan cinta kepadaku? Baru kemarin, kamu lupa? Baru kemarin aku menerimamu menjadi kekasihku, calon imamku. Tapi hari ini, begitu saja, kamu hancurkan seluruh harapku, hatiku.
“Maaf.’
Lagi-lagi hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirmu. Betapa kamu seharusnya tahu, disetiap kata maafmu membuat luka-luka baru, tidak berdarah, tapi nyata perihnya.
“Aku memang tidak membutuhkanmu, bagaimanapun usahaku meyakinkan diriku terhadapmu.”
Mungkin seperti ini rasa menjadi Prabu Duryudana, meski memiliki raga Dewi Banowati, tapi tidak dengan hatinya. Seperti Rahwana yang tetap memeluk cintanya, meski Sinta bersama Rama. Seperti aku yang jatuh dalam jurang cintanya, tanpa uluran tangannya, tanpa diselamatkan dengan kasih sayangnya. Seharusnya aku sadar dari awal, mungkin kamu hanya ingin mempermainkanku.
“Apa alasanmu meninggalkanku?”
Hanya helaan berat nafasmu yang aku dengar. Hanya tundukan kepalamu yang aku lihat. Kuraba hatimu, tapi aku tidak kunjung menemukan jawaban. Betapa bodohnya aku secepat itu menerimamu, lalu, secepat itu juga kamu melepasku, meninggalkanku.
“Kamu hanya ingin mempermainkanku?”
Aku masih gigih mencari jawaban, yang sebenarnya aku sudah tidak sanggup bertahan. Kamu melihat hamparan hijau kebun teh dengan penuh harap. Seperti menunggu datangnya seseorang muncul di balik bukit kecil itu. Kamu tidak melihatku sedikitpun. Aku bersamamu, disampingmu, seperti tidak ada bagimu. Aku remuk, luluh lantak.
“Tidak pernah sedikitpun niat untuk mempermainkanmu.”
“Lalu, kenapa? Kenapa kamu memintaku menjadi kekasihmu? Kamu memang tidak pernah mencintaiku, mengharapku.”
“Aku menyayangimu.”
Tiba-tiba wajahmu sendu. Tapi tidak juga memandangku. Aku tidak tahu apa yang sedang kamu pikirkan, apa yang sedang kamu pertimbangkan. Ingin rasanya air mataku tumpah ruah, meluapkan segala-gala kekecewaan, rasa sakit. Tapi aku masih menahannya.
“Kamu bohong, semuanya dusta.”
Aku masih menekan emosi, sejujurnya aku sudah ingin berteriak sedari tadi, juga menangis sejadi-jadinya. Tapi aku tidak ingin dilihat seperti perempuan lemah yang tidak mampu menguasai dirinya sendiri. Sudah cukup aku tidak dianggap, tidak dibutuhkan. Hingga tidak perlu lagi aku merasa rendah diri dihadapanmu. Hanya, aku ingin tahu apa sebabnya, kamu tidak menginginkanku. Mungkin pertahananku ini sia-sia, tapi setidaknya aku tahu, mengapa.
“Tolong jangan berkata seperti itu, benar aku menyayangimu, tapi…”
“Tapi, aku hanya mainan bagimu, ketika kamu suka, kamu ambil, ketika sudah bosan, kamu buang.”
Kamu semakin menunduk, banyak mendung menyelimuti matamu, hatimu. Kamu menahan sesuatu. Mungkin kamu juga ingin marah, aku terlalu berani, mengusikmu.
“Ya, memang aku tidak lagi membutuhkanmu. Aku lebih membutuhkan yang lain, daripada kamu.”
Ingin aku dorong kamu hingga jatuh ke dasar bukit itu. Ingin aku meluapkan segala kesalku, kecewaku. Bagaimana bisa kamu mengatakan itu? Baru kemarin kamu memintaku membersamaimu hingga ajal tiba. Tapi, kenapa saat ini malah kamu yang ingin mencabut nyawaku dengan segera.
“Siapakan dia? Siapa yang telah begitu cepat menggantikan posisiku, dihatimu?”
“Sebenarnya ia telah lebih dulu mengisi hari-hariku.”
Kamu mendongakkan wajah, senyummu mengembang, matamu tertutup. Seperti sedang merasai kekasihmu dalam hatimu, dalam setiap helaan nafasmu. Sesak aku rasa. Hati mana yang rela dibagi? Aku hancur. Skenario apa yang kamu buat, apa sebenarnya yang ingin kamu sampaikan? Aku masih menahan gejolak ini. Jangan sampai aku menangisi kamu yang sedang mempermainkanku.
“Siapa ia…”
Aku tercekat. Kamu semakin mengembangkan senyummu. Seakan-akan kamu telah bersama kekasih barumu. Aku hanya perempuan bodoh yang menyaksikan romansa yang sedang dirasakan oleh jiwamu, hatimu. Hingga air mata tak sanggup lagi kubendung. Hingga isak terdengar olehmu, kamu menatapku, terluka.
“Maafkan aku. Aku lebih membutuhkan al-Qur`an daripada kamu. Dia obat segala rasa sakitku. Dia penyejuk dalam setiap dahagaku. Dia bahagia disetiap dukaku. Dia selalu ada dalam setiap kebutuhanku. Dia selalu ada. Dia selalu ada…”
Hanya linangan air mata yang mampu menjawab permintaan maafmu.
Aku hanya mampu memeluk diriku sendiri.
Tak sepantasnya aku mencemburui Kalam-Nya.
Salam kasih.
*Laili Choirul Ummah, Santri asal Boyolali.