Beranda > Keilmuan Islam > Santri Itu Harus Percaya Diri: : Telaah Surah al-Baqarah ayat 129 Perspektif KH. Abdul Ghofur Maimoen

Santri Itu Harus Percaya Diri: : Telaah Surah al-Baqarah ayat 129 Perspektif KH. Abdul Ghofur Maimoen

santri

Tulisan ini bisa dikatakan sebagai refleksi atau catatan penulis ketika mendengar sambutan syaikhina KH. Abdul Ghofur pada acara Haflah Akhir al-Sanah pondok pesantren Al-Anwar 3 pada 27 Juni 2024 tempo lalu. Sebuah acara yang digelar dalam rangka kelulusan ataupun wisuda bagi santri yang telah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Diniyyah Takmiliyyah al-Anwar 3. Acara tersebut dihadiri oleh banyak elemen pondok pesantren, termasuk juga dzurriyah-dzurriyah Al-Anwar sebut saja KH. Ahmad Wafi Maimoen (Abah Wafi) dan Ags. Muhammad Majid Kamil.

Dalam sambutannya, KH. Abdul Ghofur (Babah Ghofur), merasa senang melihat santri-santri yang diwisuda bersalaman semua. Ini mengingatkan beliau pada riwayat Sayyidina Anas. Beliau lalu membacakan penggalan surah al-Isrā` ayat 70 yang berbunyi:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam”

Manusia itu mulia, karena itu Nabi Muhammad ingin menghormati semua orang. Beberapa kali beliau mengingatkan bahwa kita (manusia) itu sangat mulia. Setiap diri kita ini harus merasa bahwa kita adalah makhluknya Allah yang paling mulia. Hal itu bukan berarti tidak boleh (jalan sambil mendengkul, jalan tawadhu’), tetapi beliau khawatir jika santri-santri terbiasa dengan hal itu malah membuat santri itu lupa siapa diri kita yang sebenarnya yakni manusia itu mulia.

Ada riwayat dari Sayyidina Anas bin Malik. Ia menceritakan sahabat-sahabat yang tidak ada satupun orang yang lebih dicintai sahabat melebihi Rasulullah. Selanjutnya Sayyidina Anas menjelaskan ketika Nabi Muhammad datang, sahabat itu tidak berdiri, karena mereka tahu jika mereka berdiri, Nabi Muhammad tidak suka. Karena ini kemudian ketika Nabi Muhammad datang pada sebuah majlis tidak ada sahabat yang berdiri dan dalam posisi duduk, meskipun tetap ada sahabat yang berdiri ketika kedatangan Nabi.

Akan tetapi, hal itu (sahabat berdiri ketika kedatangan Nabi) bukan lantas berarti tidak boleh. Namun dalam pemahaman Babah Ghofur, Nabi Muhammad itu ingin mengajari santri-santri itu jangan sampai kehilangan “percaya diri”. “Jangan sampai terbiasa merendah, yang menjadikan santri itu mentalnya takut dan minder. Karena kalo terbiasa merendah seperti itu, bila tiba-tiba datang salah satu tokoh partai, santri-santri kehilangan ke-PDan sehingga berperilaku membungkuk-bungkuk karena minder saat bertemu pejabat”, dalam sambutannya.

KH. Abdul Ghofur lalu menceritakan tentang sosok dua orang guru beliau yang memiliki dua karakter yang berbeda. Guru KH. Abdul Ghofur yang pertama tidak ingin dicium tangannya, dengan alasan guru beliau tersebut memang tidak menghendaki cara takzim yang ditakutkan menimbulkan rasa merendah sang murid yang berlebihan, sebagaimana cerita yang disampaikan Sayyidina Anas sebelumnya. Guru beliau yang kedua membolehkan dicium tangannya, dengan alasan mengajarkan kepada murid tentang adab yang sudah selayaknya dilakukan oleh seorang murid kepada gurunya. Namun, KH. Abdul Ghofur bisa menerima dan menghargai bagaimana sikap dan perbedaan dari kedua guru beliau tersebut.

BACA JUGA :  Perayaan Maulid Nabi Muhammad

Lalu di antara penjelasan beliau adalah suatu kisah ketika sahabat mengajukan pertanyaan kepada Nabi Muhammad Muhammad Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Sahabat meminta Nabi Muhammad agar menjelaskan kepada mereka tentang Nabi Muhammad. Babah Ghofur menjelaskan jawaban Nabi Muhammad : “Saya adalah doanya Ibrahim dan saya adalah kabar gembira yang dikabarkan oleh Nabi ‘Isa”. Jika kita ingin melihat jati diri Nabi Muhammad adalah ayat ini. Lalu beliau menuturkan doa Nabi Ibrahim yang terkandung dalam surah al-Baqarah ayat 129:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ

Artinya: Ya Tuhan kami, utuslah di antara mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu.

Beliau mengatakan apapun profesi kita, jangan sampai melupakan profesi ini (membaca al-Quran), agar tidak melupakan kegiatan membaca al-Quran, karena membaca al-Quran itu merupakan jati diri Nabi Muhammad. Lanjutnya, Babah Ghofur menuturkan bahwa inilah doa Nabi Ibrahim yang kemudian dikabulkan oleh Allah dengan mengutus Nabi Muhammad. Setelah itu beliau melanjutkan potongan ayat selanjutnya:

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ

Artinya: dan yang mengajarkan kitab suci dan hikmah kepada mereka.

Selain dari do’a yang Nabi Ibrahim panjatkan untuk diutusnya rasul yang membacakan ayat-ayat Allah, Nabi Ibrahim juga meminta rasul yang diutus juga mengajarkan al-Quran dan hikmah. Beliau menekankan sekali lagi bahwa apapun profesi kita jangan sampai melupakan membaca dan mengajarkan al-Quran, terutama pada diri kita dan keluarga.

KH. Abdul Ghafur Maimun menjelaskan penafsiran para ulama` yang beliau sukai mengenai ‘Hikmah’ itu adalah penafsiran kata ‘Hikmah’ merupakan ilmu-ilmu yang dapat menjadikan al-Quran mudah untuk dipahami. Contohnya adalah ilmu Nahwu dan ilmu Falaq, keduanya merupakan bagian dari hikmah. Memang benar, ilmu Nahwu dan ilmu Falaq pada masa kanjeng Nabi Muhammad belum ada, tetapi dengan kedua ilmu tersebut dapat memudahkan kita memahami al-Quran. Dengan mempelajari ilmu Nahwu (Aspek tata bahasa Arab), dapat membantu kita menjadi mudah memahami al-Quran dari segi uslub atau kebahasaan al-Quran. Kemudian ilmu Falaq (Astronomi), tanpa adanya ilmu Falaq tentunya kita akan sulit memahami ayat:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ

Artinya: (Begitu juga) bulan, Kami tetapkan bagi(-nya) tempat-tempat peredaran sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir,) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. 

Ayat ini hanya akan bisa dipahami dengan baik, jika kita belajar ilmu Falaq. Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ilmu Falaq tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad. Ilmu-ilmu dan pengalaman-pengalaman yang menjadikan kita mudah memahami al-Quran juga merupakan bagian dari ‘al-Hikmah’. Mempelajari hikmah, merupakan ciri orang-orang yang moderat, sebagaimana surah al-Baqarah ayat 143:

BACA JUGA :  Islam Menekankan Kualitas Bukan Legal Formal

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا

Artinya: Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan.[1]

Sehingga bisa menerima banyak hal. Jika masih timbul pertanyaan mengenai apa risalahnya dan siapa jati diri Nabi Muhammad, beliau menjelaskan bahwa ayat ini (surah al-Baqarah, ayat 129)-lah menjelaskan tentang risalah dan jati diri Nabi Muhammad. Beliau menuturkan bahwa dari ayat ini dapat kita pahami bahwa membaca dan mengajar sudah merupakan profesi Kanjeng Nabi Muhammad. Jadi Nabi Muhammad itu tidak sekedar membaca, tapi juga memahami. Maka sebisa mungkin kita juga memahami kandungan al-Quran, walaupun kita tidak harus memahami kandungan seluruh ayat al-Quran. Doa Nabi Ibrahim selanjutnya adalah:

وَيُزَكِّيْهِمْۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُࣖ

Artinya: dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Beliau menuturkan mengenai ayat ini bahwa sebagaimana yang beliau sampaikan ketika pembacaan ngaji Ihya` ‘Ulūm al-Dīn. Bahwa ilmu itu tidak boleh berhenti di kepala, tapi ilmu itu harus diturunkan di hati. Beliau membacakan surah Asy-Syu’rā` ayat 193 dan 194:

            نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193)

 عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ(194)

Artinya: Ia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Ruhulamin (Jibril)

(Diturunkan) ke dalam hatimu (Nabi Muhammad) agar engkau menjadi salah seorang pemberi peringatan.

“Al-Quran itu dibawa oleh Jibril, Jibril itu disebut dengan ruh karena Jibril itu spirit, Manusia itu dinilai hidup berdasarkan spirit, orang kuat itu karena spirit, jadi malaikat Jibril itu disebut ruh karena pembawa spirit. Orang itu kalo jadi kuat karena spirit, karena ada spiritnya. Al-Quran itu turun kepada Nabi Muhammad ke hati Nabi Muhammad, bukan di kepala. Tidak selayaknya ilmu itu berhenti di kepala, ilmu itu harus masuk di kepala lalu turun ke hati. Turun ke hati, merupakan tugas terakhir Nabi Muhammad, tugas itu disebut dengan tazkiyah (penyucian). Salah satu sebab utamanya dunia rusak itu adalah banyak orang pintar yang ilmunya hanya sampai di kepala tidak sampai ke hati. Ilmu itu jika hanya di kepala, biasanya digunakan untuk minteri orang untuk membodohi orang,” papar Babah Ghofur.

Prinsip bahwa “ilmu tidak boleh hanya berhenti di kepala tetapi juga harus diturunkan ke hati” inilah oleh Babah Ghofur menjadi salah satu ciri dan cita-cita pendidikan pesantren. Beliau juga berpesan kepada para santri agar tidak hanya melaksanakan salat fardu, tetapi juga tetap berusaha untuk menambahi dengan yang sunah-sunah. Seperti pelaksanaan puasa, tidak hanya puasa wajib saja yang dikerjakan, tetapi juga berusaha melakukan puasa-puasa sunah.*

Oleh Sumaryadi


[1] Terjemahan Tafsiriyah Kemenag: Umat pertengahan berarti umat pilihan, terbaik, adil, dan seimbang, baik dalam keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku.

Tim Multimedia PP. Al Anwar 3
Website dikelola oleh Tim Multimedia Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *