Oleh: M. Islahuddin
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dalam perjalanannya, setiap pondok pesantren memiliki ciri khas masing-masing, seperti halnya pondok pesantren yang memfokuskan santrinya untuk menghafal al-Qur`an ditunjang dengan adanya sistem setoran, lalaran, sima’an dan lain sebagainya.
Namun, dalam realitanya ada sebagian pondok pesantren taḥfīẓ al-Qur`ān putri yang masih mewajibkan santriwatinya untuk setoran dan nderes (mengulang-ulang hafalannya sendiri) meski dalam kondisi haid. Sebagian dari mereka menjadi dilema karena di sisi lain mereka belajar dan mengaji fiqh bermadzhab al-Syafi’i seperti kitab al-Taqrīb yang menjelaskan bahwa bagi wanita yang sedang haid diharamkan membaca (kecuali bila diniati dzikir atau dibaca di dalam hati), memegang serta membawa mushaf,[1]
Di sisi lain setoran dan nderes al-Qur`an merupakan kewajiban. Bila mereka ditanya:”Kenapa masih membaca al-Quran padahal sedang haid?”. Maka sebagian dari mereka tawaqquf, dan sebagian dari mereka ada yang menjawab:”Ngendikane bu nyai angsal kok”.
Sebagai seorang mukallaf, santri diwajibkan bertaklid[2] kepada salah satu diantara empat madzhab dalam permasalahan fiqh, yaitu madzhab Imam Abū Ḥanīfah, Imam Mālik, Imam al-Syāfi’i serta Imam Ahmad bin Hanbal. Meski pada dasarnya mujtahid mutlaq dalam dunia Islam tidak hanya empat namun ada banyak, seperti Sufyān al-Tsaury, Sufyān bin ‘Uyaynah, Lais bin S’ad, Iṣḥāq bin Rahawayh, Jarīr al-Ṭabary, Dāwūd al-Dzahiry, al-Auza’y dan lain-lain. Namun karena mazhab-madzhab ini habis pasca 500 hijriyah dikarenakan wafatnya para ulama serta minimnya semangat dalam meneruskan madzhab tersebut, lalu para ulama`bersepakat (ijmā’) bahwa madzhab yang boleh diikuti hanya empat saja. Mereka memberikan alasan bahwa hanya empat madzhab tersebut yang ulamanya masih eksis dalam menyeleksi pendapat-pendapat, menjelaskan dan juga memisahkan pendapat yang ṣaḥīḥ dengan yang dha’īf.[3]
Berkaitan dengan permasalahan di atas, terdapat perbedaan pendapat di antara para Ulama’ madzhab mengenai legalitas wanita yang sedang haid dalam membaca al-Qur`an. Ada di antara madzhab yang memperbolehkan dan ada juga yang tidak memperbolehkan. Diantara ulama yang tidak memperbolehkan adalah Imam al-Syāfiī dan salah satu riwayat Imām Aḥmad bin Ḥanbal. Adapun ulama yang memperbolehkan wanita yang sedang haid membaca al-Qur`an adalah Imam Mālik, Abū Hanīfah, salah satu riwayat Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Dāwud al-Dzāhiry serta pendapat yang ada di kitab Syarḥ al-Yāqūt al-Nafīs. Terkait rincian pendapat mengenai bolehnya membaca al-Qur`an bagi wanita yang sedang haid adalah sebagai berikut:
- Imam Abū Hanīfah hanya memperbolehkan membaca sebagian ayat.
- Salah satu riwayat Imam Mālik hanya memperbolehkan membaca satu atau dua ayat.
- Salah satu riwayat Imam Mālik yang hanya memperbolehkan membaca ayat, tetapi jumlahnya hanya sedikit dengan tolok ukur seperti ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Mu’awwidzatayn, atau ayat yang difungsikan untuk Ruqyah (suwuk) diri sendiri maupun orang lain. (pendapat ini merupakan pendapat Mu’tamad Imam Mālik, dan konteks dari pendapat ini adalah ketika darahnya masih keluar, apabila darahnya sudah mampet, maka wanita tersebut hanya diperbolehkan membaca al-Quran ketika sudah melaksanakan mandi besar).
- Salah satu riwayat Imam Mālik memperbolehkan membaca semua al-Qur`an.
- Salah satu riwayat Imam Aḥmad bin Hanbal hanya memperbolehkan membaca sebagian ayat meski diulang-ulang dengan catatan ayat tersebut bukan ayat yang panjang.
- Imam Dāwūd al-Dzāhiry memperbolehkan membaca semua ayat al-Qur`an.
- Dalam Syarḥ al-Yāqūt al-Nafīs dijelaskan:”Banyak dari para Ulama’ yang melegalkan hafidzah dan guru al-Quran dalam kondisi haid untuk membaca al-Quran, karena bilamana mereka dilarang membaca al-Quran ditakutkan hafalannya melemah atau bahkan lupa atas apa yang ia sudah hafal”.
الميزان الكبرى ص: 156 ط: دار الكتب العلمية
ومن ذلك قول الشافعي وأحمد في إحدى الروايتين بتحريم قرآءة القرآن على الجنب والحائض ولو آية أو آيتين مع قول الإمام أبي حنيفة بجواز قرآءة بعض آية, ومع قول مالك بجواز قرآءة أو آيتين, ومع قول داود يجوز للجنب قرآءة القرآن كله كيف شاء.
الميزان الكبرى ص: 166 ط: دار الكتب العلمية
ومن ذلك اتفاق الأئمة على أن الحائض كالجنب في الصلاة, وأما في القرآءة فقال أبو حنيفة والشافعي وأحمد: إنها لا تقرأ القرآن مع قول مالك في إحدى روايتيه إنها تقرأ القرآن, وفي الرواية الأخرى إنها تقرأ الآيات اليسيرة والأول نقله الأكثرون من أصحابه وهو مذهب داود.
الفقه الإسلامي وأدلته ص: 462 ج: 1 ط: دار الفكر المعاصر
ومما يحرم على الحائض ونحوه تلاوة القرآن للمسلم بلسانه ولو لحرف أو ولو دون آية على المختار عند الحنفية والشافعية بقصد القرآءة, فلو قصد الدعاء أو الثناء أو افتتاح أمر أو التعليم أو الإستعاذة أو الأذكار فلا يحرم كقوله عند الركوب: سبحان الذي سخر لنا هذا ومه كنا له مقرنين, وعند النزول: وقل رب أنزلني منزلا مباركا, وعند المصيبة: إنا لله و إنا إليه راجعون. إلى أن قال وأجاز الحنابلة قراءة بعض آية ولو كرره. لأنه لا إعجاز فيه مالم تكن طويلة. إلى أن قال و ضبط المالكية ما يجوز للجنب من القرآءة اليسيرة بأنها ما الشأن أن يتعوذ به كآية الكرسي و الإخلاص والمعوذتين أو لأجل رقيا للنفس أو للتغيير من ألم أو عين أو لأجل الإستدلال على نحو: وأحل الله البيع وحرم الربا. والمعتمد عند المالكية: أنه لا يحرم قرآءة القرآن القليلة على الحائض والنفساء حال استرسال الدم عليها, سواء أكانت جنبا أم لا إلا بعد انقطاعه مطلقا حتى تغتسل.
رحمة الأمة في اختلاف الأئمة ص: 22 ط: دار الكتب العلمية
فصل: والحائض كالجنب في الصلاة بالإتفاق وفي القرآءة غند أبي حنيفة والشافعي وأحمد, و عن مالك روايتان إحداهما تقرأ الآيات اليسيرة والتي نقلها الأكثرون من أصحابه أنها تقرأ ما شاءت وهو مذهب داود.
شرح الياقوت النفيس ص: 121 ط: دار المنهاج
أما قراءة القرآن فكثير من العلماء يقولون بجوازها للمعلمة لأننا إذا منعنا نخشى ضعف حفظها أو نسيانه وهذا فيه تيسير للمعلمات, وهذا الحكم للحافظات
Setelah menguraikan berbagai pendapat ulama madzhab mengenai boleh atau tidaknya wanita haid membaca al-Qur`an, lalu timbul pertanyaan:”Tadi katanya yang disepakati hanya empat madzhab saja yang boleh diikuti?, lalu apakah bertaqlid kepada Imam Dāwud al-Dzahiry juga dilegalkan?”.
Dr. Wahbah Zuḥayli dalam kitabnya yang berjudul Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy menjelaskan bahwa mayoritas ulama sepakat untuk tidak memperbolehkan bertaklid kepada selain madzhab empat karena madzhab mereka tidak terbukukan, sehingga mengakibatkan seorang muqallid rawan terjadi kesalahan serta ta’wil. Berbeda dengan madzhab empat yang sudah diseleksi dan digodok sedemikian rupa sehingga menjadikan hati terasa tenang dalam mengikutinya Karena lebih dekat dengan kebenaran.[4] Namun, beliau juga memaparkan bahwa ada sebagian ulama yang melegalkan untuk bertaklid kepada selain madzhab empat (kecuali dalam permasalahn ifta’ dan qadla’). Beliau mengutip dua pendapat Ulama:
- Syaikh Sulaymān al-Bujayrami al-Syāfi’i berkata:”Tidak boleh taklid kepada selain madzhab 4 dalam permasalah ifta’ (memberi fatwa) atau Qadla’ (memberi keputusan hukum).
- Syaikh ‘Izz Ibn ‘Abd al-Salām berkata:”Pokok permasalahan madzhab tergantung muqallid itu sendiri, bila menurutnya semisal madzhab A ṣaḥīḥ, maka boleh baginya untuk mengikuti madzhab tersebut, meskipun diluar madzhab empat”[5]
Selanjutnya Dr. Wahbah Zuḥayly juga menjelaskan bahwa apabila kita melihat pendapat pertama yang melarang taklid kepada selain madzhab empat hanya melulu dikarenakan madzhab mereka tidak mudawwan (terkodifikasi), maka kesimpulannya adalah bilamana pendapat ulama selain madzhab empat memang benar-benar nisbatnya ṣaḥīḥ kepada sang pemilik pendapat (Qawl), maka pendapat Syaikh ‘Izz bin Abd al-Salām merupakan pendapat yang paling ṣaḥīḥ karena tidak ada dalil yang mewajibkan manusia untuk bertaqlid hanya kepada madzhab empat saja, karena mereka (madzhab empat) dan mereka (madzhab diluar madzhab empat) adalah setara.[6]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang wanita yang sedang haid dapat mengikuti salah satu dari madzhab yang sudah penulis terangkan sebagai solusi dari taklid buta mereka yang hanya dapat menjawab:”Ngendikane bu nyai angsal kok” serta ketidaktahuan madzhab apa yang mereka anut dalam kondisi tersebut. Karena menurut Dr. Wahbaḥ Zuḥayly yang mengacu kepada mayoritas ulama bahwa seorang mukallaf tidak diwajibkan taklid kepada imam madzhab tertentu dalam setiap permasalahan dan peristiwa, namun ia boleh bertaklid kepada mujtahid yang ia kehendaki. Jadi, semisal ia sudah bertaklid kepada Imam Abū Ḥanīfah atau Imam al-Syāfiī, maka ia tidak diwajibkan untuk selalu menetap dalam madzhab tersebut, akan tetapi ia dapat berpindah ke madzhab yang lain. serta tidak ada perkara yang wajib diikuti kecuali apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, Begitu pun Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan kepada salah satu orang pun untuk bermadzhab (secara konsisten), namun Allah hanya mewajibkan untuk mengikuti para ulama tanpa mengkhususkan satu diantara yang lain.[7] Allah berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿الأنبياء:٧﴾٧
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
Abū shujjā’ al-Aṣfahāny, al-Taqrīb, (Jakarta: Dār al-Kotob al-Islāmiyyah), 27. ↑
Taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalilnya. ↑
Alawy ibn Ahmad al-Saqqāf, Mukhtaṣar al-Fawāid al-Makkiyyah, (al-Ḥaramayn), 104. ↑
Wahbah Zuḥayly, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy, (Beirut: Dār al-Fikr al-Muāṣir), 2, 419. ↑
Ibid, 420. ↑
Ibid, 420. ↑
Wahbaḥ Zuḥayli, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, (Beirut: Dār al-Kotob al-Mu’āṣir) 1, 84. ↑