Kurang lebih 9 tahun menjalani hidup di pondok pesantren, cukup saya merasakan sensasi pengalaman yang membuatku sadar betapa kekuatan kebiasaan hidup di pesantren luar biasa manfaatnya. Saya bicara secara umum, sejak kecil kita hidup bersosial dengan keluarga, keluar sedikit kita berinteraksi sosial dengan tetanggaan kawan sekolah. Setelah kita memutuskan menjalani kehidupan di pesantren untuk mencari ilmu, betapa interaksi sosial kita secara langsung lebih luas.
Hidup di pondok pesantren adalah sebuah kesempatan belajar yang luar biasa bagi saya. Tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, namun juga belajar mengelola diri (self management) sampai bersosial. Kalau ditanya gimana rasanya, saya akan jawab rasanya campur aduk. Saya merasa hidup di pondok pesantren seperti miniatur hidup di masyarakat. Bagaimana tidak? Pertama kali masuk ke pondok pesantren yang identik dengan bangunannya, masuk ke dalamnya bertemu dengan berbagai orang yang latar belakangnya berbeda-beda. Apa yang pertama kali kalian biasa lakukan saat seperti itu? Kalau saya akan secara refleks belajar beradaptasi. Beradaptasi dengan lingkungan dan orang baru. Meski saya salah satu tipe orang yang sulit beradaptasi dengan hal yang baru.
Saya akan bicara tentang kebiasaan hidup di pondok pesantren yang membangun karakter positif dan keterampilan hidup. Coba saja kita telisik apa dan bagaimana kebiasaan yang dijalani para santri. Mulai bangun tidur deh, wah dengan otomatis kita bangun, mencari sumber air untuk berwudlu dan mendirikan sholat subuh. Itu jelas kita sudah tahu karena memang kewajiban. Tapi kalau kita perhatikan, kebiasaan lain yang sederhana adalah membangunkan teman yang masih tidur untuk sholat subuh atau berkegiatan. Hal itu tanpa disadari menjadi kebiasaan baik kita untuk membangun rasa peduli sesama teman. Iya bukan? Ya, memang tak semua santri seperti itu, tapi atmosfer lingkungan yang mendukung untuk membiasakan hal sederhana itu membuat kita secara perlahan membangun sikap peduli kita kepada sesama.
Hal sederhana lain yang jadi kebiasaan tenar di pondok pesantren adalah mengantri. Ngantri mandi, ngantri ambil makan, ngantri mengaji, dan lain-lain. Wow, kalau kita sadar manfaatnya mengantri, banyak banget. Salah satunya membangun kesabaran, kedisiplinan, menghormati hak orang lain, kejujuran, dan kontrol waktu. Apakah kita merasakan manfaat itu saat mengantri? Kalau saya tidak. Tapi seiring waktu saya menyadari hal itu untuk bekal keterampilan hidup saya.
Kebiasaan yang tak kalah luar biasanya adalah ro’an (gotong royong membersihkan pondok). Jelas, kebiasaan itu mengajarkan arti kerjasama. Kerjasama untuk menjaga tempat tinggal kita demi keberlangsungan hidup nyaman bersama. Selain itu, makan bersama satu wadah nampan adalah kebiasaan hidup sederhana dalam kebersamaan. Belajar berbagi rezeki saat kita berbagi makanan setelah pulang atau bepergian. Belajar berorganisasi dalam kepengurusan pondok pesantren juga melatih kita menjadi orang yang berperan di dalam masyarakat serta peka terhadap sosial.
Sikap empati sering terlihat saat ada teman yang membutuhkan bantuan. Seperti saat ada teman sekamar yang sakit dan anggota kamar berusaha ikutserta merawat dengan penuh kesadaran arti teman.
Selain kebiasaan sehari-hari yang penuh nilai tersebut, kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren juga sangat sarat dengan nilai-nilai kehidupan jika ditelisik lebih dalam. Seperti kegiatan yang biasa kita lakukan. Kegiatan mengaji kitab dengan metode bandongan. Ya, itu kegiatan yang tak bisa terlepas bagi para santri. Biasanya metode seperti itu dengan guru membacakan ma’na dan para santri menyimak serta menuliskan ma’na yang telah disampaikan. Biasanya apa yang kalian rasakan saat mengaji kitab seperti itu? Sekian santri saat mengaji termasuk saya akan mengakui sering mengantuk bahkan tak jarang tertidur. Tapi kalian tahu, justru metode mengaji itu secara tak langsung juga mengajarkan kebiasaan kita untuk bisa memanage diri, seperti mengontrol diri bagaimana caranya supaya bisa fokus saat mengaji, latihan menjadi penyimak sepenuh hati dan bagaimana supaya kita bisa menyerap apa yang disampaikan guru. Tak hanya itu, ada mengaji kitab dengan metode sorogan, jelas itu mengajarkan kita tentang kemandirian belajar. Kita berusaha menentukan target dan cara untuk bisa membaca kitab.
Tak tertinggal kegiatan musyawaroh juga mengajarkan kita untuk mandiri belajar mencari pengetahuan secara luas dengan berbagai referensi kitab serta menghormati perbedaan pendapat dan menyatukan pikiran bersama untuk satu keputusan.
Kebiasaan sholat jama’ah juga mengajarkan kita pada kedisplinan dan komitmen dalam beribadah. Dziba’an yang menjadi sarana bagi para santri mencurahkan sholawat pada nabi Muhammad Saw. Dengan diiringi berbagai kreativitas.
Kalau saya pernah membaca tulisan bu Najelaa Shihab tentang pesantren di bukunya Semua Murid Semua Guru 2, beliau mengatakan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama. Pesantren mengasah penghormatan pada keber-agama-an, pesantren adalah praktik kehidupan ke-manusia-an. Semua tujuan ini dicapai santri dengan hidup bersama al-Qur`an. Namun, banyak dari kita yang hanya menjalani kebiasaan-kebiasaan itu tanpa menyadari nillai-nilai dari kebiasaan itu sendiri. Sehingga praktik kehidupan ke-manusia-an kadang terlihat hanya sebagai rutinitas semata.
Saya teringat saat Mama menceritakan tentang kebiasaan. Inti cerita yang saya tangkap, yang dulu saat di pesantren sangat rajin menjalankan sholat-sholat sunnah, namun seiring waktu setelah keluar dari pondok pesantren dan menjalani kehidupan yang berbeda, kebiasaan itu juga berubah. Mungkin bisa kita tarik kesimpulan, bahwa kebiasaan baik pun bisa hillang seiring waktu, maka penting bagi kita untuk tahu nilai-nilai kebiasaan kita untuk bekal hidup ke depannya. Kalau dari teman saya, Kamaa Qoola Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliky :
لا تجعل العا دة تحكمك بل انت تحكم العا دة
“Jangan biarkan adat kebiasaan mengaturmu, tapi kamu yang justru mengaturnya”.
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi bagi para pembaca.
(*) Siti Rodliyah,S.Ag