Kamar 13 memang bukan gudang, melainkan kamar sebagaimana kamar biasanya. Namun, mitos yang berkembang membuatnya tak pernah dihuni oleh tamu siapa pun. Dan resepsionis tua itu pun tak pernah merekomendasikan kamar 13 ke tamu mana pun. Ia tahu betul mitos itu.
“Saestu, Pak?” tanya Curut Jantan bergairah. Langit-langit di batok kepalanya seketika terbuka luas dan cerah.
“Heh, itu kamar 13, Kak! Jangan ngawur kamu!” Curut Betina mencegahnya, menggenggam erat tangan kekasihnya.
“Mitos itu… Kamu percaya? Itu kan mitos, Dik. Lagian kita kan enggak penderita Triskaidekaphobia. Wis tho… Aman, aman,”
“Jadi gimana nih. Mau enggak?” sela resepsionis tua dengan acuh tak acuh.
“Mau, Pak, mau!” jawab Curut Jantan dalam semangat 45 dengan bambu runcing yang ia sembunyikan di dalam celananya. “Terima kasih, Pak. Sekali lagi terima kasih.” lanjutnya menundukkan diri, takzim. Ia ambil kunci itu dengan gesit, lalu menggandeng Curut Betina. Keduanya kemudian berlenggang menuju kamar 13. Kecemasan masih menggelayut di kening Curut Betina ketika berjalan di antara deretan petak-petak kamar.
Setelah sampai di dalam kamar, Curut Betina langsung merebahkan tubuh di kasur kenangan, kecemasannya perlahan sirna. Curut Jantan berlalu lalang mengecek sekitar kamar untuk memastikan keamanan dari dunia luar. Ia menutup rapat jendela dan korden putih yang sudah pucat dan lusuh seperti kain kafan itu. Ia juga mengecek kamar mandi. Namun tiba-tiba ia melompat kaget dan sedikit menahan teriaknya ketika curut sungguhan berlari keluar ketakutan dari dalam kamar mandi. Curut Betina yang sedang merem–melek melamun membayangkan “sesuatu”, ikut terkejut dan merespon dengan tertawaan mengejek.
Curut Jantan itu masih terus mengecek keamanan. Ia membuka lemari tua, dan keheranan mulai muncul. Di dalam lemari itu ia mendapati palu dan arit, dan sebuah buku fenomenal sekaligus terlarang: Das Kapital. Belum hilang keheranannya, ia kembali menemukan Al-Qur’an dan Injil yang halamannya sudah dirobek-robek dan ditikam di beberapa bagian. Bulu kuduk Curut Jantan berdiri sekujur tubuh.
“Kita harus keluar dari kamar ini sekarang!” pekik Curut Jantan sambil menghampiri Curut Betina dan menyeretnya.
Belum sempat keluar dari kamar itu, tiba-tiba suara teriakan segerombolan orang memenuhi lorong-lorong. Masing-masing orang-orang itu membawa pentungan, bedil dan beberapa golok. Mereka berpencar menggeledah semua kamar. Mengobrak-abrik isi ruangan dan barang bawaan penghuni kamarnya. Mereka menyeret pasangan-pasangan yang tidak memliki buku nikah. Dengan teriakan takbir, gerilya swiping itu semakin bergemuruh dan terasa berpahala.
Dan ketika kamar 13 didobrak paksa, sepasang curut mengkerut panik ketakutan. Segerombolan orang itu menggeledah seluruh isi ruangan dan barang bawaan, dan mendapati barang fatal dalam sebuah lemari: palu, arit, buku Das Kapital, Al Qur’an dan Injil yang sudah dihina-dina. Ketika mendapati itu, para gerombolan itu terjerit beristighfar.
“Tunjukkan buku nikah kalian!” sentak ketua gerombolan itu pada sepasang curut. Yang ditanya hanya diam, semakin mengkerut. Ketakutan keduanya seketika menarik kesadarannya akan asrama, kedua orang tua, dan pengasuh asrama. Dan kekalutan itu hanya bisa terpancar dalam tangis tiada terkira.
“Takbir!!!” seru ketua gerombolan. Kemudian diikuti dengan gemuruh Allahu Akbar!
Para gerombolan itu kemudian menyeret para pasangan di luar nikah. Yah, di antara mereka terdapat pula sepasang curut itu. Masyarakat sekitar keluar memenuhi halaman hotel ketika mendengar seruan takbir yang memecah malam dan mimpi-mimpi. Dan dengan sat-set – wat-wet, wartawan yang bekerja setiap inci dan setiap detik itu telah tiba dalam sekejap untuk meliput keseruan. Dan di lain sisi, resepsionis tua itu tampak menyulut sebatang rokoknya, dan kembali melamun, seperti sedang tak terjadi suatu apa pun.
Di luar hotel, kegaduhan berlangsung berjam-jam. Para pasangan itu dipajang dan diarak sepanjang jalan menuju masjid terdekat. Awak media meliput dan menggali berita setiap inci dan setiap detik kejadian. Masyarakat yang merasa kesal, turut tersulut amarahnya untuk menghakimi dan menghujat. Di sisi lain, beberapa bocil yang sedang ngegem di sebuah warung kopi itu juga ikut tergugah untuk berpartisipasi. Mereka kemudian menyiarkan kejadian itu dalam siarang langsung TikTok. Dan, boom! Penontonnya ramai dengan senjata komentar sumpah serapah.
Semakin malam, semakin ramai, dan tentu arak-arakan itu semakin kacau.
“Wo… dasar manusia tidak tahu diri!” teriak ibu-ibu, entah siapa.
“Isin-isini! Jahannam!” sahut lainnya.
“Bakar saja!” kemudian teriakan provokasi itu terdengar kencang.
Amukan masa itu turut menyahut teriakan provokasi itu, “Bakar! Bakar!”.
Para penonton TikTok dalam siaran langsung bocil tadi juga membalas dengan ribuan komentar “Bakar!”.
Dari arah yang tidak diketahui asalnya, seorang lelaki menyiram bensin ke tubuh sepasang curut yang berbaris paling belakang.
Seketika Curut Jantan terbangun dengan ketakutan yang luar biasa akut. Tubuhnya gemetar dan basah kuyup. Tangannya memeriksa seluruh tubuhnya. Matanya berlarian ke sana ke mari. Sejurus kemudian ia memeriksa gawainya dan mengecek panggilan video yang belum berakhir itu. Dari seberang, ia melihat Curut Betina sedang menangis tersedu-sedu.
“Apakah kau memimpikan hal yang sama, Dik?” ucapnya dengan getir.
Yang ditanya hanya menangis, dan menangis.