Deskripsi Masalah:
Belakangan ini, muncul fenomena scan retina mata yang viral di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dani tergiur untuk melakukannya, menimbang ia juga butuh terhadap uang. Hingga ia bergegas menuju sebuah kantor di sebuah daerah. Di sana, Dani disyaratkan melakukan scan retina matanya melalui perangkat khusus yang disebut “Orb”. Scan retina tersebut merupakan syarat untuk mendaftar ke sebuah platform digital bernama World App (bagian dari proyek Worldcoin). Setelah pemindaian berhasil, pengguna dijanjikan imbalan berupa uang digital (cryptocurrency) atau bentuk insentif lainnya.
Pihak Worldcoin menyatakan bahwa tujuan dari scan retina ini adalah untuk menciptakan identitas digital yang unik dan tidak dapat digandakan. Selain itu, scan retina juga menjadi upaya mendukung sistem verifikasi global yang aman di era kecerdasan buatan. Akan tetapi, muncul kekhawatiran dari berbagai pihak tentang:
- Privasi data biometrik karena retina merupakan data sensitif dan sangat unik.
- Potensi penyalahgunaan oleh pihak ketiga.
- Ketimpangan informasi, karena sebagian masyarakat awam mungkin tidak memahami konsekuensi jangka panjang dari tindakan tersebut.
- Iming-iming uang membuat masyarakat tergiur tanpa menyadari risiko yang mungkin tidak sebanding.
- Aplikasi ini ditolak diberbagai negara, bahkan telah mendapatkan sanksi seperti di negara Jepang. Namun di Indonesia sendiri aplikasi ini masih ilegal dan belum mendapatkan izin resmi dari komdigi.
Dalam konteks fikih, muncul pertanyaan terkait keabsahan penyerahan data tubuh (biometrik) sebagai bentuk mu‘āmalah dan etika transaksi yang dilakukan atas dasar iming-iming yang tidak transparan. Apalagi ketika objek transaksi adalah bagian dari tubuh manusia yang bersifat privat dan unik.
(Sa’il: Tim Musyawarah)
Pertanyaan:
Bagaimana hukum scan retina mata untuk mendapatkan imbalan uang dalam pandangan fikih Islam?
Jawaban Mushohhih:
Fenomena scan retina mata demi imbalan berupa uang digital (cryptocurrency) memang menimbulkan polemik, terutama jika dilihat dari perspektif fikih mu‘āmalah. Pada dasarnya, transaksi semacam ini menimbulkan pertanyaan besar tentang jenis akad yang berlangsung antara pengguna dan pihak pemilik aplikasi. Apakah ini bisa disebut jual beli? Ataukah lebih tepat digolongkan ke dalam akad ju‘ālah, ijārah, atau bahkan hibah?
Menurut Dr. KH. Najib Bukhori, akad seperti ini perlu dianalisis dari sisi objek atau komoditas transaksi. Jika objeknya berupa ‘ain (barang fisik), maka itu adalah bai‘ (jual beli barang). Namun, jika yang ditransaksikan adalah manfaat, maka ada dua kemungkinan. Pertama, jika manfaatnya bersifat terus-menerus (‘alā al-ta‘bīd), maka akadnya disebut bai‘ al-manāfi‘ (jual beli manfaat). Kedua, jika tidak terus-menerus, maka bisa jatuh pada kategori ijārah (sewa-menyewa) atau ju‘ālah (sayembara).
Akan tetapi, dalam kasus scan retina, agak sulit jika langsung menyebutnya sebagai ju‘ālah. Sebab dalam ju‘ālah sebagaimana akad yang disepakati mushāwirīn, hanya pihak pertama yang memenuhi syaratlah yang mendapatkan imbalan. Sedangkan dalam praktik scan retina ini, semua orang bisa melakukannya dan mendapatkan bayaran yang sama. Bahkan, orang yang sama bisa melakukannya lagi di waktu lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang terjadi bukanlah perlombaan atau sayembara, melainkan sebuah akad yang terjadi pada momen transaksi, lebih menyerupai jual beli manfaat secara temporer.
Praktik Scan Retina
Lebih lanjut, KH. Najib menekankan bahwa dalam praktik scan retina ini, pemilik retina bukan menjual matanya. Pemilik retina mentamlīk (menyerahkan) manfaat dari retina tersebut kepada pihak penyelenggara aplikasi. Oleh karena itu, akad ini lebih tepat disebut sebagai bai‘ al-manāfi‘ karena yang diserahkan bukan benda, tapi manfaat yang bersifat temporer (akad mu’aqqat). Apalagi, pengguna masih bisa “mengambil kembali” manfaat retinanya—dalam arti, ia tidak menyerahkan sesuatu yang hilang selamanya.
Adapun mengenai imbalan berupa cryptocurrency, hal ini bisa saja menjadi ‘iwad (imbalan sah), karena sifatnya dapat diuangkan, meskipun nilainya fluktuatif. Ini tidak berbeda jauh dengan rupiah yang bisa naik-turun ketika dikonversikan ke mata uang lain.
Namun demikian, KH. Najib juga membuka kemungkinan bahwa jika manfaat dari retina itu tidak dianggap sebagai ‘iwad dalam akad, maka posisi scan retina bisa dianggap sebagai syarat untuk mengakses aplikasi, bukan objek transaksi itu sendiri. Dalam hal ini, akadnya bisa mengarah pada bentuk isti‘ārah (pinjam pakai), hibah, atau bahkan hanya izin penggunaan terbatas saja.
Potensi Bahaya Penyalahgunaan
Di sisi lain, K. Ach. Dawam Affandi mengingatkan soal potensi bahaya dan penyalahgunaan data. Menurut beliau, jika sejumlah negara seperti Jepang telah melarang proyek serupa karena alasan penyalahgunaan data dan pelanggaran privasi, maka negara seperti Indonesia pun punya dasar kuat untuk melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, jika ada indikasi kuat bahwa data retina bisa disalahgunakan, maka dari sisi fikih, hukumnya bisa menjadi haram karena adanya mafsadah (kerusakan) yang nyata.
Beliau juga menambahkan bahwa transaksi ini tidak bisa serta-merta disebut sebagai jual organ tubuh karena yang dipertukarkan hanyalah manfaat dari retina, bukan retina itu sendiri. Namun, tetap saja perlu dicermati siapa pihak yang mengelola data ini. Terlebih bila pemilik aplikasi adalah non-Muslim dan ada kemungkinan penyalahgunaan data untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai-nilai syariat.
Menutup pendapatnya, KH. Najib kembali menegaskan bahwa dlarar (bahaya) dalam fikih harus bersifat jelas, nyata, dan langsung terkait dengan akad. Jika dlarar baru muncul kemudian hari—seperti pisau yang awalnya dibeli untuk memasak, tapi sebulan kemudian digunakan membunuh—maka tidak bisa dikaitkan dengan akad awal, selama tidak ada niat jahat sejak awal. Dengan demikian, jika seseorang menyerahkan data retina secara sukarela dan tidak ada unsur penipuan atau paksaan, serta tidak ada dlarar yang nyata dan langsung saat akad dilakukan, maka akad ini secara prinsip bisa dianggap sah.
Pertimbangan Referensi:
Asal Mu’āmalah adalah Halal
القواعد الفقهية بين الأصالة والتوجيه (ج ٦ / ص ٦ )
الأصل في المعاملات الحل والإباحة كما في القاعدة الفقهية. لكن -يا شيخ- ما هي أسباب تحريم المعاملات المالية في الشريعة الإسلامية، والتي يصل بها المجتهد إلى الحكم على المعاملة الفلانية على أنها محرمة شرعًا؟ هذا يدور على ثلاثة أشياء: الظلم، والغرر، والربا، كلها تدور على هذه الثلاثة. الظلم: كالغش مثلًا، والغرر كبيع المجهول، والربا كبيع درهم بدرهمين. هذا هو أصل التحريم في المعاملات، يعني يدور على هذه القواعد الثلاث، ثم طبق كل جزئية على هذه القواعد
Akad Ju’alah (Potensi Pengarahan)
البيان في مذهب الإمام الشافعي ٧/٤٠٧ — العمراني (ت ٥٥٨)
يجوز عقد الجعالة في رد الآبق وخياطة الثوب، وكل عمل يجوز عقد الإجارة عليه. فيقول: من رد عبدي الآبق، أو خاط لي هذا القميص، أو خاط لي قميصًا. فله دينار؛ لقول تعالى: ﴿قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ﴾ [يوسف: ٧٢] [يوسف: ٧٢]
فذكر الله الجعالة في شرع من قبلنا ولم ينكرها، فدل على جوازها. ولأن بالناس حاجة إلى الجعالة؛ لأنه قد يأبق له عبد لا يعلم مكانه، ولا يقدر على رده بنفسه، ولا يجد من يتطوع بالمضي لرده، ولا تصح الإجارة على رده؛ للجهالة بمكانه، فجوز عقد الجعالة لذلك. إذا ثبت هذا: فيصح أن يكون العامل في الجعالة غير معلوم، والعمل غير معلوم؛ للآية.
والفرق بين الجعالة والإجارة: أن الإجارة عقد لازم، فوجب تقدير العمل فيها والعامل. والجعالة عقد جائز، فجاز أن يكون العمل فيها غير معلوم، كالعارية.
Jual Beli Manfaat (Potensi Pengarahan)
حاشية إعانة الطالبين (ج ٣ / ص ٥ )
(وقوله: مقابلة إلخ) أي عقد يتضمن مقابلة مال بمال، لان البيع ليس هو المقابلة، وإنما هو العقد. والأحسن في تعريفه -كما قال بعضهم- أن يقال: هو عقد معاوضة محضة يقتضي ملك عين أو منفعة على الدوام، لا على وجه القربة. ووجه الأحسنية فيه: أنه سالم من التسمح -بحذف المضاف المذكور- وأنه يشمل بيع المنافع على التأبيد: كبيع حق البناء والخشب على جداره، وكبيع حق الممر للماء بأن لا يصل الماء إلى محله إلا بواسطة ملك غيره. والتعريف الذي ذكره المؤلف لا يشمل ذلك إلا إن أريد بالمال فيه ما يشمل المنفعة.
حاشية إعانة الطالبين (ج ٣ / ص ١٢٩ )
(قوله: وشرعا: تمليك منفعة) أي بعقد، -إلى أن قال- نعم، يرد عليه بيع حق الممر، فإنه تمليك منفعة بعوض معلوم، وهو بيع، لا إجارة. وأجيب عنه بأنه ليس بيعا محضا، بل فيه شوب إجارة. وإنما سمي بيعا، نظرا لصيغته فقط، فهو إجارة معنى. وعلم من قوله تمليك منفعة، أن مورد الإجارة، المنفعة، سواء وردت على العين، كآجرتك هذه الدابة بدينار، أو على الذمة، كألزمت ذمتك حملي إلى مكة بدينار.
حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري (ج ٥ / ص ٣٣٢)
وفي شرح حج ما نصه فرع من المنافع شرعا حق الممر بأرض أو على سطح وجاز كما يأتي في الصلح تملكه بعوض على التأبيد بلفظ البيع مع أنه محض منفعة إذ لا تملك به عين للحاجة إليه على التأبيد ولذا جاز ذلك بلفظ الإجارة أيضا دون ذكر مدة
Syarat Mabi’ (Memiliki Nilai Jual dan Manfa’at)
الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (ج ٦ / ص ١٦)
الركن الثالث: المعقود عليه: وهو ما يسمى محل العقد، وهو في عقد البيع: المبيع والثمن. ويشترط في كلِّ منهما شروط، وإليك بيانها:
١- أن يكون المبيع موجوداً عند العقد
فلا يجوز بيع ما هو معدوم، كبيع ما ستثمره أشجاره، وما ستحمل به أغنامه. وكذلك ما كان في حكم المعدوم، كبيع ما تحمله الأغنام ونحوها، أو ما في الضرع من اللبن ونحوه. -إلى أن قال-
٢- أن يكون مالاً متقوماً شرعاً
وذلك شرط في المبيع والثمن، ويخرج بذلك جميع الأعيان النجسة والمحرمة شرعاً. فلا يصح كون المبيع أو الثمن خمراً أو ميتةً أو دماً أو زبْلاً أو كلباً. -إلى أن قال-
٣- أن يكون منتفعاً به شرعاً وعرفاً
أي أن تكون له منفعة مقصودة عرفاً ومباحة شرعاً. فلا يصح بيع الحشرات أو الحيوانات المؤذية التي لا يمكن الانتفاع بها أو لا تقصد منفعتها عادة. وكذلك آلات اللهو التي يمتنع الانتفاع بها شرعاً، لأن بذل البدل مقابل مالا نفع به إضاعة للمال. -إلى أن قال-
٤ - أن يكون مقدورًا على تسليمه حسًا وشرعًا
فإن كان العاقد عاجزًا عن تسليم المبيع أو الثمن - عن كان معينًا - وقت لعقد فلا ينعقد البيع، لأن العاقد الآخر ليس على يقين في هذه الحالة أنه سيحصل على عوض عما يبذله، وبالتالي يكون في بذله له إضاعة للمال، وهو منهي عنه كما علمت. وعليه: فلا يصح بيع سيارة ضائعة، أو طائر في الهواء أو سمك في الماء، ونحو ذلك لعدم القدرة على تسليمها حسًّا.
٥ - أن يكون للعاقد سلطان عليه بولاية أو ملك
فيصح بيع المالك لمال نفسه وشراؤه به، لأن الشرع جعل له سلطاناً على ماله. وكذلك يصح بيع الولي أو الوصيّ لما مَنْ تحت ولايته من القاصرين وشراؤه به، كما يصح بيع الوكيل لمال موكَّله وشراؤه به، لأن لهؤلاء جميعاً سلطاناً على المال، إما بتسليط الشرع كالأولياء والأوصياء، وإما بتسليط المالك نفسه كالوكلاء. فإذا تصرف بالمال بيعاً أو شراءً من لا سلطان له عليه - وهو الذي يسمى في رف الفقهاء الفضولي - كان تصرفه باطلاً. -إلى أن قال-
٦- أن يكون معلوماً للعاقدَيْن
فلا يصح البيع إذا كان في المبيع أو الثمن جهالة لدى العاقدين أو أحدهما، تقضي في الغالي إلى النزاع والخصومة، لأن في ذلك غرراً، وقد علمت أنه - صلى الله عليه وسلم - نهى عن بيع الغَرَرِ. فلا يصح بيع ما يجهله العاقدان أو أحدهما، ولا جعله ثمناً.
Status Cryptocurrency Adalah Hadiah Dengan Tujuan Menarik Pelanggan
أحكام الفقهاء (ج ١ص ٨٦)
ما حكم الهدية لترويج البضائع بالقرعة كأن أخفى فى ظروف القهوة ورقة مكتوبة بنمرة أو باسم الهدية ولا توجد تلك الورقة فى كل ظرف أو على طريق أخر هل هو جائز أم لا؟ أن بيعه صحيح عند استوفى شروطه اللازمة و تحل هديته كما فى كتب الفقهاء لعدم الغنم و الغرم فيه فليس من القمار المحرمة
Saddu al-Dzari‘ah
تيسير علم أصول الفقه (ص ٢٠٤)
درجات المباحات التي تفضي إلى المفاسد ثلاث
ما يكون إقضاؤه إلى المفسدة نادرا قليلا، فالحكم بالإباحة ثابت له بناء على الأصل. مثاله: زراعة العنب، فلا يمنع منها تذرعا بأن من الناس من يعصر منها الخمر، وتعليم الرجل النساء عند الحاجة، فلا يمنع منه تذرعا بالفتنة المفضية إلى الزنا، وكذا خروجهن من بيوتهن المصالحهن وشهودهن المساجد ودور العلم. فتقاس المصالح والمفاسد، فإن كان جانب المصلحة راجحا وهو الأصل في المباحات فلا تمنع بدعوى (سد الذرائع) لمجرد ظن المفسدة أو لورودها لكنها ضعيفة في مقابلة المصلحة
ما يكون إفضاؤه إلى المفسدة كثيرا غالبا، فالرجحان في جانب المفسدة فيمنع منه سد للذريعة وحسما لمادة الفساد. مثاله: بيع السلاح وقت وقوع الفتنة بين المسلمين بقتال بعضهم بعضا، وإجارة العقار لمن علم أنه يتخذه لمعصية الله، ويلاحظ في هذا أن (سد الذريعة إلى المفسدة عارض حيث يكون المباح موصلا إلى المحظور، وإلا فإن بيع السلاح وإجارة العقار لا يمتنعان في ظرف عادي
إسعاد الرفيق (ج ٢ / ص ١٢٧)
(و) منها (الإعانة على المعصية) أى على معصية من معاصى الله بقول أو فعل أو غيره ثم إن كانت المعصية كبيرة كانت الإعانة عليها كبيرة كذلك كما فى الزواجر قال فيها وذكرى لهذين أى الرضا بها والاعانة عليها
المحتاج في شرح المنهاج (ج ١٠/ ص ٦٨)
ووسيلة الطاعة طاعة كما أن وسيلة المعصية معصية ، ومن ثم أثيب عليه ثواب الواجب كما قاله القاضي وقوله تعالى { وما أنفقتم من نفقة أو نذرتم من نذر فإن الله يعلمه } أي : يجازي عليه على أن جمعا أطلقوا أنه قربة وحملوا النهي على من ظن من نفسه أنه لا يفي بالنذر ، أو اعتقد أن له تأثيرا ما وقد يوجه بأن اللجاج وسيلة لطاعة أيضا وهي الكفارة أو ما التزمه ويؤيده ما يأتي أن الملتزم بالنذرين قربة وإنما يفترقان في أن المعلق به في نذر اللجاج غير محبوب للنفس وفي أحد نوعي نذر التبرر محبوب لها وقد يجاب بأن نذر اللجاج لا يتصور فيه قصد التقرب فلم يكن وسيلة لقربة من هذه الحيثية