Syifa, seorang remaja berusia 18 tahun asal Rembang, telah lulus dari SMA. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan menyelesaikan pendidikannya dengan penuh perjuangan, karena ia tidak seberuntung remaja lainnya dalam hal kesehatan. Syifa mengidap penyakit pada saraf kakinya, namun meskipun demikian, ia tetap berusaha menjalani kegiatan sehari-hari seperti orang lain pada umumnya.
Dengan cita-cita yang tinggi, Syifa terus berjuang untuk belajar, baik di sekolah maupun mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya. Meskipun penyakitnya sering kali menyebabkan kegagalan dalam meraih cita-cita, tekad yang kuat membuatnya terus berusaha bangkit dan percaya bahwa suatu hari nanti ia pasti bisa mencapai impiannya.
Setelah lulus, Syifa mulai berpikir untuk melanjutkan pendidikannya, namun pikirannya berubah. Ia memutuskan untuk mondok di sebuah pesantren di Sedan, yang fokus pada hafalan al-Qur’an. Hari pertama ia tiba, seorang pengurus pondok menyambutnya dan mempersilakannya untuk masuk ke kamar.
Syifa sudah enam bulan mondok di Sedan, namun suatu hari ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia segera menyadari bahwa penyakit pada saraf kakinya kambuh kembali. Dengan kegiatan pondok yang sangat padat, ia merasa tidak mampu mengikuti semuanya. Merasa cemas, ia akhirnya menelepon orang tuanya. Orang tuanya segera datang untuk menjenguk Syifa.
Saat orang tuanya tiba, mereka berbincang tentang kondisi kesehatan Syifa. Ayahnya pun memutuskan untuk membiarkan Syifa tetap tinggal di pesantren sementara waktu. Ia dititipkan kepada salah satu pengurus pondok, Mbak Aura. Orang tua Syifa pun kembali pulang dengan harapan anaknya bisa sembuh.
Namun, hari demi hari berlalu dan Syifa masih sakit. Ia tidak bisa mengikuti kegiatan pondok, dan pengurus yang dipercayakan orang tuanya untuk menjaga Syifa justru semakin membenci dirinya. Pengurus pondok itu bahkan mengajak santri lain untuk melakukan hal yang sama. Syifa merasa sangat tertekan dan setiap malam menangis. Bahkan di pondok itu, ia kesulitan untuk menghubungi keluarganya.
Pada akhirnya, Syifa memutuskan untuk bertemu dengan pengasuh pondok dan akhirnya bisa menelepon ayahnya. Ketika ayahnya menanyakan kondisinya, Syifa mengungkapkan bahwa ia masih sakit dan sangat membutuhkan pulang karena kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk terus tinggal di pondok. Ayahnya pun memutuskan untuk menjemputnya sore itu juga.
Setibanya di rumah, Syifa langsung dipeluk ibunya yang sangat khawatir. Ibunya bertanya tentang keadaan Syifa, dan Syifa menjawab bahwa dirinya masih sakit dan akhirnya beristirahat di kamar. Namun, masalah tidak berhenti di situ. Tetangga mulai memperhatikan kepulangan Syifa dan sering bertanya-tanya, karena ayahnya adalah seorang tokoh agama yang dihormati di sana.
Suatu hari, seorang ibu-ibu bernama Bu Sari datang ke rumah Syifa dengan alasan ingin menjenguknya. Setelah itu, Bu Sari menyebarkan cerita kepada siapa saja yang ditemuinya, mengklaim bahwa Syifa tidak sakit dan hanya berpura-pura. Isu ini menyebar luas, dan tetangga mulai mengolok-olok keluarga Syifa, terutama ibunya, yang sangat terluka mendengarnya. Ibunya menangis karena olokan dan cibiran yang datang tanpa henti.
Syifa merasa bersalah karena dianggap menyusahkan keluarganya, padahal ia benar-benar sakit. Setiap hari, ibunya membuatkan obat dari kunyit yang direkomendasikan dokter, meskipun tetangga masih terus mengeluarkan gosip-gosip negatif tentang Syifa. Mereka merasa iri pada kecantikan Syifa, kemampuan menghafal al-Qur’an, dan berbagai bakat yang dimilikinya. Semua itu membuat mereka berusaha merendahkan Syifa dan keluarganya.
Akhirnya, ayah Syifa menemukan solusi dengan membawa Syifa ke dokter herbal. Dokter herbal tersebut segera mendiagnosis penyakit Syifa dan memberinya obat-obatan herbal. Setelah dua bulan menjalani perawatan di rumah, Syifa merasa kondisinya mulai membaik.
Syifa memutuskan untuk melanjutkan cita-citanya untuk kuliah di Lasem sambil tetap menghafal al-Qur’an. Ia mencari informasi melalui ponselnya dan menemukan kesempatan untuk kuliah di tempat yang sesuai dengan impiannya. Karena merasa pondok pesantren yang ia tinggali tidak lagi mendukungnya, ia memutuskan untuk keluar dan memilih jalan yang lebih baik.
Dengan dukungan penuh dari orang tuanya, Syifa mulai merasa lebih optimis dan bersemangat. Pada bulan Agustus, kondisinya semakin membaik, meskipun masih ada bekas-bekas penyakit yang dirasakannya. Ia melanjutkan hidupnya dengan semangat baru, dan akhirnya keputusan yang diambilnya membuahkan hasil. Orang tuanya pun tidak lagi dihina atau dicemooh oleh tetangganya.