Oleh: Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, M.A
Al Quran menyebutkan bahwa Allah mencipta manusia di muka bumi agar ia memakmurkannya. “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.” QS. Hūd [11]: 61.[1] Memakmurkan bumi berarti melestarikan kebaikan yang telah ada atau menjadikannya lebih baik lagi, juga berarti mengolahnya agar lebih bermanfaat bagi kehidupan. Jika semua ini dilakukan sebagai manifestasi tugas kekhalifahan dan juga demi memudahkan pengabdian dan peribadatan kepada Gusti Allah maka semua itu adalah bagian dari ibadah. Karena itu, Ayat ini tidak bertentangan dengan QS. Aż-Żāriyyāt [51]: 56 “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Bahkan, keduanya saling menafsiri dan melengkapi. Ibadah dengan demikian tidak saja bermakna ritual ibadah mahdhah, akan tetapi mencakup segala perilaku yang disukai dan diridai Allah SWT.
Akan tetapi, tugas kekhilafahan ini tidak selamanya berjalan mulus, adakalanya ia harus tunduk pada takdir yang lain. Sakit adalah fragmen penting dalam aktifitas kekhalifahan manusia. Ia adalah penyeimbang dalam kehidupan ini. Sakit adalah bagian dari kehendak Tuhan dengan hikmah-hikmah di antaranya agar menjadi kaffarat bagi dosa-dosa manusia; agar manusia mengerti nikmat sehat; agar ia menghargai sepenuhnya nikmat-nikmat Tuhan; agar ia merasa betapa tidak berdayanya di hadapan kekuasaan Allah, penciptanya; agar ia mengerti bahwa kesehatan dan kemampuan yang ia miliki bukan sifat yang melekat pada diri; dan agar ia berhenti beberapa saat di halte-halte kehidupan untuk berfikir dan merenung ulang, untuk selanjutnya menjalakan kembali kekhilafahannya dengan lebih baik.[3]
Sakit, dalam al Quran, disebut sebagai akibat dari ulah tidak perpuji manusia. Itu artinya, sakit adalah “hukuman” dari Allah atas perbuatan tidak terpuji tersebut.[4] Akan tetapi, ini bukan berarti sakit selalu bermakna negatif, karena sakit—sebagaimana disebutkan oleh Nabi Muhammad Saw.— justru merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT. kepada hambanya. Kata beliau, “Jika Allah berkehendak baik kepada hambanya maka Ia akan mensegerakan siksaan kepadanya di dunia, sebaliknya jika Allah berkehendak buruk kepada hambanya karena dosa (yang dia lakukan) maka Dia akan menahan penyiksaannya sehingga Dia akan menyiksanya secara penuh di hari kiamat.”[5]
Nilai positif dari sakit ini dijelaskan dalam Hadis lain, bahwa sakit merupakan kaffārat atau pelebur dosa. Kata Nabi Muhammad Saw. dalam riwayat Ibunda Aisyah, “Tidak ada musibah apapun yang menimpa seorang muslim kecuali dengan itu Allah SWT. melebur (dosa-dosa)-nya, hingga pun duri yang menusuknya.”[6]
Lebih jauh, Nabi juga menjelaskan bahwa sakit merupakan sarana yang diujikan oleh Allah SWT. kepada hambanya untuk menaikkan derajatnya. Jika dia menyikapinya dengan baik, boleh jadi sesungguhnya dengan sakitnya ini ia sedang naik derajat spiritual dan kedekatannya dengan Penciptanya. Kata Nabi Muhammad Saw., “Sesungguhnya seorang hamba jika telah ditetapkan oleh Allah kepadanya sebuah kedudukan, sementara dia tak mampu menggapainya dengan amal baiknya, maka Allah akan mengujinya (dengan masibah yang menimpa) jasadnya, hartanya, atau anaknya.” [7] Dalam Hadis lain riwayat Ibunda Aisyah, beliau Saw, mengatakan, “Tidak ada seorang muslim pun yang tertusuk duri atau yang lebih kecil darinya kecuali dengan itu dianugerahkan kepadanya satu derajat dan dihilangkan dari dia satu kesalahan.”[8]
Hikmah demikian ini dapat menjelaskan kenapa bahkan para nabi pun tak lepas dari tertimpa sakit. Ibn Mas’ūd meriwayatkan, Saya sowan kepada Rasulullah Saw. saat beliau sakit. Saya menyentuh beliau dengan tanganku, lalu saya bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau pun sangat demam?” Beliau menjawab, “Iya, saya demam dengan kadar demamnya dua orang di antara kamu sekalian. Saya bertanya (lagi), “Apakah itu agar engkau mendapatkan dua pahala?” Rasul mengatakan, “Iya!”.[9]
Semua ini, kata Imam An-Nawawi, merupakan berita gembira yang besar bagi umat Islam karena jarang sekali seseorang terlepas dari sebentuk musibah setip saatnya. Itu artinya setiap saat seorang muslim punya kesempatan untuk naik derajatnya dan dihapus dosanya.[10]
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita mengetahui, apakah sakit yang kita derita murni merupakan hukuman Allah, atau merupakan tanda diampuninya dosa kita, atau bahkan tanda kita sedang diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Konon, pertanyaan ini pernah diajukan kepada Imam Al-Junaid Al Baġdādī, dan beliau menjawab:
“Jika engkau marah maka itu (sakitmu) adalah kemarahan dari Allah, jika engkau sabar maka itu adalah kaffarah atas dosamu, dan jika engkau bersikap rela dan menerima maka itu tanda engkau sedang naik derajat.”[11]
[1] هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
[2] وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
[3] https://www.albayan.ae/economy/2010-03-26-1.232642
[4] Firman Allah dalam QS. Ar-Rūm [30]: 41: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[4]; dan firman Allah dalam QS. An-Nisā` [4]: 79: مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ “Kebajikan apa pun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
[5] إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ . HR. At Turmużī
[6] مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ المُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا. HR. Al-Bukhārī
[7] إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ، لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ، أَوْ فِي مَالِهِ، أَوْ فِي وَلَدِهِ. HR. Abū Dāwūd.
[8] مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ. HR. Muslim.
[9] قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا، فَمَسِسْتُهُ بِيَدِي فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ» فَقُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَجَلْ». HR. Al- Bukhārī.
[10] Al-Imām An-Nawawī, Syarh Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 16, hal. 128.
[11] Belum terlacak sumbernya.