Kelahiran dan Rihlah Pendidikan
Ny. Hj. Nadia Jirjis, Lc., M.S.I atau yang sering disapa dengan “Mamah Nadia” oleh para santrinya ini lahir di Bantul, 10 Desember 1980. Beliau adalah putri kedua dari pasangan KH. Jirjis Ali dengan Ny. Hj. Luthfiah. Sudah banyak diketahui bahwa KH. Jirjis adalah salah satu putra dari KH. Ali Ma’sum, Rais ‘Am PBNU tahun 1981-1984. KH. Ali Ma’sum meninggal dunia ketika Mamah Nadia menginjak umur 9 tahun (kelas 4 SD).
Dengan begitu berarti Mamah Nadia adalah cicit dari salah satu muassis NU yang lahir di Lasem, yaitu KH. Ma’sum bin Ahmad (1870-1972). Silsilah keturunan KH. Ma’sum Lasem ini bersambung dengan Sultan Minangkabau hingga Rasulullah Shalla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
Selain dididik langsung oleh orang tua dan lingkungan pesantren, Mamah Nadia juga belajar di lembaga pendidikan. Lembaga yang pertama kali adalah TK Masyitoh Ndasari Budi Jogjakarta. Kemudian, tepat pada tahun 1986 beliau mulai masuk ke jenjang pendidikan dasar, yaitu SDN Jageran II Jogjakarta dan selesai tahun 1992.
Jenjang menengahnya beliau tempuh antara tahun 1992-1995 di MTs Ali Maksum Bantul-Jogjakarta. Di jenjang MTs ini beliau mendapat satu pengalaman berharga mengenai metode pengajaran di dunia pesantren, yaitu sorogan. Pengalaman tentang sistem sorogan ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan beliau hingga saat ini khususnya tentang pendidikan. Hal tersebut dikarenakan sorogan adalah metode belajar yang mampu mengajak santri untuk aktif dan memberikan pengalaman terkait kesadaran dalam proses belajar. Dalam sorogan pula santri diberikan kebebasan dalam mengutarakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pelajaran kepada guru.
“Waktu MTs saya mempunyai kegiatan yang sangat berdampak buat saya sampai detik ini ketika saya berada di dunia pendidikan, kegiatan itu adalah sorogan. Ini bukan program wajib tapi saya berinisiatif sendiri, mencari guru sendiri, kan enak ya sorogan rasanya seperti mempunyai guru privat, kita punya permasalahan apa saja bisa kita tanyakan, kita bisa memilih ngaji kitab apa saja yang tentu dengan bimbingan gurunya, karena kan kalau di sekolah sudah kurikulum paten jadi tidak bisa request mau belajar apa. Itu yang saya seneng dan sampai sekarang ada ketertarikan” (dawuh beliau).
Pengalaman dunia organisasi mulai beliau kenal semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah. Beliau pernah menjabat sebagai ketua 1 OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Semasa sekolah beliau berusaha menanamkan prinsip bahwa sudah semestinya orang yang mencari ilmu itu bisa mencintai dan menikmati statusnya sebagai pelajar.
Tahun 1995 beliau mulai masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu Madrasah Aliyah. Tahun pertama berada di MA Ali Maksum Krapyak-Jogjakarta kemudian pada tahun 1996 memilih menimba ilmu di Tambak Beras Jombang, yaitu di MA Bahrul Ulum. Saat menempuh pendidikan tingkat Aliyah inilah beliau mukim di Pondok As-Sa’idiyah dan An-Najiyah, yang mana keduanya masih dalam naungan Yayasan Bahrul Ulum Jombang Jawa Timur.
Berangkat dari hal inilah beliau mempunyai pengalaman yang berwarna semasa sekolah dulu, seperti keikutsertaan dalam anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), klub diskusi ilmiah, klub seni tari bahkan pernah menjadi dirigen paduan suara. Beliau juga pernah memiliki pengalaman menjadi bagian dari kepengurusan Ma’arif. Sebuah kepengurusan yang lazimnya ada pada setiap pondok pesantren yang fokus mengurus pendidikan santri. Beliau juga berhasil menginisiasi adanya klub bahasa inggris dan mengaji al-Qur’an.
Menginjak umur yang ke-19, beliau lulus dari Madrasah Aliyah dan memutuskan untuk mengambil S1 di Universitas yang digadang-gadang menjadi pusatnya pendidikan Islam dunia, yaitu Universitas Al-Azhar Cairo. Selain menjadi pusat pendidikan Islam, Universitas Al-Azhar juga dikenal sebagai benteng wasathiyah Islam. Beliau mengambil jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Fakultas Ushuluddin) dan selama menempuh pendidikan di negeri Kinanah ini beliau tinggal di asrama Madinah Al-Bu’uts Al-Islamiyyah.
Madinah Al-Bu’uts Al-Islamiyyah dan Progam Mandiri
Madinah Al-Bu’uts (Kota para delegasi) adalah nama bagi sebuah asrama yang disediakan oleh Universitas Al-Azhar bagi mahasiswa asing yang sedang menempuh studi.
Mahasiswa yang tinggal di Madinah Al-Bu’uts diberikan kebebasan dan kelonggaran oleh musyrifah (pengurus) dalam mengatur dirinya sendiri tanpa ada sistem yang menekan kepada diri mahasiswa, tentu metode seperti ini memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan pemikiran mahasiswa yang ada di dalamnya, termasuk kepada Mamah Nadia.
Ketika itu beliau memilih sebuah progam mandiri yang dijalankan atas dasar kesadaran bukan paksaan. Program tersebut adalah mendedikasikan diri sebagai penghafal Al-Qur’an. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan, mengingat disisi lain beliau harus tetap fokus dengan pendidikan kuliahnya di Universitas Al-Azhar.
Bukti keteguhan beliau dalam menghafalkan al-Qur’an juga bisa dilihat dari proses yang harus dijalani selama itu. Pasalnya setiap kali ingin setor al-Qur’an beliau harus rela naik bus dari Madinah al-Bu’uts ke Masjid Al-Azhar (tempat beliau menghafalkan Al-Qur’an) yang jaraknya kurang lebih 4 km. Menurut banyak cerita tradisi naik bus memang menjadi hal yang menarik dan mengenang bagi kalangan Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir).
Bahkan bukan menjadi hal yang aneh jika kita melihat pemandangan orang yang sedang membaca al-Qur’an di dalam bus ataupun membaca buku. Masyarakat Mesir dan mahasiswa Al-Azhar memang sudah terbiasa dengan hal demikian. Tak terkecuali dengan Mamah Nadia yang seringkali membaca Al-Qur’an ketika melakukan perjalanan di dalam bus.
Masjid Al-Azhar yang menjadi tempat talaqqi beliau dengan syaikhnya merupakan masjid yang menjelma menjadi pusat perkembangan pendidikan disamping menjadi pusat peribadatan umat muslim. Hal demikian terjadi karena banyak pengajian-pengajian dari syaikh yang digelar di ruwak-ruwak masjid tersebut. Termasuk Syaikh Abdullah ‘Atiyyah Al-Bayyumi yang tak lain adalah muqri’ di Masjid Al-Azhar sekaligus guru Mamah Nadia dalam menghafalkan al-Qur’an. Tentang gurunya ini beliau pernah bercerita:
“Syaikh Abdullah ‘Atiyyah Al-Bayyumi itu ngendikan ke saya bahwa kalau kamu siap setor al-Qur’an ya kamu datang kesini (Masjid Al-Azhar), intinya harus bisa mengatur diri sendiri, punya managemen pribadi yang bagus. Metode seperti Syaikh Abdullah inilah yang saya terapkan ke santri-santri di Al Anwar 3, dalam artian Saya pengen hafalan al-Qur’an itu menjadi program pribadi santri kedepannya”
Tahun 2003 beliau berhasil merampungkan pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar dan sempat berkeinginan untuk menempuh S2 di Universitas yang sama, walaupun pada akhirnya keinginan tersebut tidak terwujud sebab beliau lebih memilih saran yang diberikan oleh orang tua untuk tidak melanjutkan S2 di Universitas Al-Azhar, di tahun itulah beliau kembali ke tanah air kemudian menunaikan ibadah haji bersama orang tua.
Tahun 2005 beliau elangsungkan pernikahan dengan Dr. KH. Abdul Ghofur, M.A, salah satu putra KH. Maimoen Zubair dengan Ny. Hj. Masti’ah. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai 3 putra-putri yang bernama:
- Ags. Nabil Abdul Ghofur (Lahir di Mesir, 01 Juni 2006)
- Ng. Afaf Abdul Ghofur (Lahir di Jogjakarta, 18 Juli 2011)
- Ng. Aida Abdul Ghofur (Lahir di Sarang, 04 Februari 2014)
Adapun keinginan untuk menempuh S2 yang sempat tertunda akhirnya beliau wujudkan di tahun 2008-2010 di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, beliau memilih Program studi Aqidah Filsafat, konsentrasi Tahqiq al-Kutub.
Pesantren dan Dunia Pendidikan
Tahun 2013 beliau bersama Dr. KH. Abdul Ghofur, M.A resmi menetap di Sarang-Rembang, yang mana sebelumnya menetap di Jogjakarta dan menjadi bagian dari pimpinan di pondok pesantren Ali Ma’sum.
Sejak saat itulah beliau berdua menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar 3, sebuah pondok pesantren yang didesain dengan paduan kurikulum perkuliahan (STAI Al-Anwar). Selain membimbing santri di Al Anwar 3, kala itu Mamah Nadia juga menjadi pengajar di Madrasah Tsanawiyyah Al Anwar 2, sebab saat pindah dari Jogjakarta beliau masih berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Mamah Nadia bukan hanya sosok pengasuh pesantren, lebih dari itu beliau adalah sosok pendidik yang sangat peduli dengan semua kalangan. Sejak kecil memang beliau mempunyai cita-cita untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan, tak heran jika hobi beliau adalah mendiskusikan serta memikirkan masa depan dunia pendidikan. Pemikiran tentang idealisme pendidikan dapat dilihat dari ungkapan beliau:
“ Diantara idealisme pendidikan bagi saya pribadi adalah jika suatu lembaga pendidikan mampu menjadi wadah dalam proses belajar bagi semua elemen yang ada di dalamnya. Pendidikan adalah memberikan kesempatan belajar kepada siapa saja. Posisi kita sebagai orang tua, sebagai guru harus memberikan kesempatan belajar. Kita sebagai siswa harus mencari, meraih kesempatan belajar. Konsep pendidikan itu adalah melakukan pembelajaran sekaligus memberikan kesempatan ke orang lain untuk belajar. Inti dari belajar adalah proses untuk mendapatkan perubahan baik. Jadi di ruang waktu dan tempat manapun kita bisa belajar. Kalau belajar kita maknai dengan proses perubahan baik, maka hal apapun, melakukan apapun, di manapun, dengan siapapun, dari apapun, sumbernya dari manapun kita bisa belajar, bahkan melakukan kesalahanpun kita juga bisa belajar, karena intinya ada di perubahan baik itu.”
Banyak sekali pengalaman yang mempengaruhi pemikiran Mamah Nadia tentang dunia pendidikan, termasuk pengalamannya dengan sang kakek, yaitu KH. Ali Ma’sum yang mana di mata beliau merupakan sosok yang penyayang, humoris, moderat dan suka memberi apresiasi terhadap capaian yang diraih oleh cucu-cucunya.
Bagi Mamah Nadia pemberian apresiasi terhadap capaian seseorang seperti yang dilakukan oleh kakeknya ini memang punya pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak.
“Saya pernah disuruh ngaji surat Al-Ikhlas oleh Mbah Kakung dan diapresiasi dengan dicium. Saya baru menyadari ketika sudah besar dan sudah mengelola pendidikan. Mungkin kalau dulu rasanya risih ketika dicium dan diketahui orang banyak. Tetapi ternyata sentuhan fisik dari orang tua seperti itu dibutuhkan oleh anak guna menjalin rasa kedekatan dengan orang tuanya. Banyak cara mendidik anak yang sebenarnya kurang tepat, seperti ketika anak melakukan kebaikan tidak pernah diapresiasi dan ketika anak melakukan kesalahan justru dibentak dan dimarahi” (ungkap beliau saat mengenang pengalaman dengan KH. Ali Ma’sum)
Mengutamakan Santri dan Memilih Resign dari PNS
Seiring berjalannya waktu, Pondok Pesantren Al Anwar 3 semakin berkembang. Perkembangan ini bisa dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Setiap tahun santri yang mendaftar mengalami peningkatan yang signifikan. Hal demikian tentu membuat Mamah Nadia semakin banyak mencurahkan waktunya untuk membimbing santri, khususnya rutinitas beliau untuk menyimak santri putri yang setoran al-Qur’an setiap harinya.
Saat itu rutinitas beliau dari pagi adalah nyimak santri putri hafalan al-Qur’an dan ketika menjelang siang beliau lanjutkan dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyyah Al Anwar 2, namun hal demikian semakin lama menjadikan beliau merasa kurang bisa membagi waktu dalam mengemban amanah pendidikan. Mengingat santri yang menghafal al-Qur’an semakin bertambah.
Berangkat dari hal demikian beliau punya keinginan untuk resign dari status PNS yang telah beliau emban sejak tahun 2011. Keinginan ini bertujuan untuk lebih fokus menyimak setoran al-Qur’an santri di pondok. Keinginan ini juga beliau konsultasikan kepada sang mertua, yaitu Syaikhina KH. Maimoen Zubair. Hingga pada akhirnya di tahun 2018 baliau resmi resign dari PNS.
Sekolah Islam Umar Harun
Salah satu bukti kontribusi yang dilakukan oleh Mamah Nadia terkait dunia pendidikan adalah adanya Sekolah Islam Umar Harun yang merupakan lembaga pendidikan (TPA-KB-TK-SD). Sekolah Islam Umar Harun didirikan oleh Dr. KH. Abdul Ghofur, M.A dan dikelola oleh Mamah Nadia pada tahun 2017.
Umar Harun adalah nama yang diambil dari salah satu masyayikh pondok Sarang yaitu KH. Umar Harun (1855 M – 1910 M). Beliau adalah menantu dari muassis pondok pesantren Sarang yaitu KH. Ghozali bin Lanah. KH. Umar Harun dikenal sebagai sosok kyai yang alim, tawadhu’ sekaligus punya wibawa yang besar.
Sekolah Islam Umar Harun ini lahir dari buah pemikiran beliau dengan suami tercinta. Pemikiran tentang berdirinya Sekolah Islam Umar Harun ini bukan berangkat dari ruang yang kosong tanpa alasan. Pengalaman beliau berdua yang begitu luas sekaligus pemikiran yang senantiasa terbuka barangkali yang menghasilkan buah pemikiran lahirnya Sekolah Islam Umar Harun dengan menggunakan prinsip “Merdeka Belajar”. Salah satu latar belakang didirikannya Sekolah Islam Umar Harun ini ditujukan kepada santri Al Anwar 3. Dengan harapan agar mendapatkan kesempatan menimba ilmu dan pengalaman menjadi guru.
Sekolah Islam Umar Harun dalam pembelajarannya menggunakan metode Blended Learning yaitu pembelajaran berbasis riset yang dilaksanakan di sekolah dan di rumah dengan pendampingan serta kerjasama dari guru dan orang tua. Dalam hal penilaian Sekolah Islam Umar Harun tidaklah menggunakan sistem ranking, sebab di sekolah ini capaian seorang murid tidaklah dibandingkan dengan orang lain, tetapi dengan dirinya sendiri.
Salah satu harapan Mamah Nadia dengan berdirinya Sekolah Islam Umar Harun adalah dapat melahirkan cendekiawan yang tetap berpegang teguh pada agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Begitulah sedikit profil Mamah Nadia dengan segala kesibukan rutinitasnya, menjadi pengasuh pesantren sekaligus orang terdepan di Sekolah Islam Umar Harun. Begitupun Dr. KH. Abdul Ghofur, MA, selain menjadi Ketua STAI Al-Anwar juga menjadi pengasuh pondok pesantren. Semoga beliau berdua senantiasa diberi kekuatan, kesehatan dan kesabaran dalam menjalakan semuanya. Amiin.